3 Ancaman Terbesar terhadap Ketahanan Pangan Global Di Masa Sekarang

Ketahanan pangan merupakan salah satu elemen penting yang wajib diperhatikan sebab berhubungan langsung dengan kesehatan, kesejahteraan, dan stabilitas sosial-ekonomi suatu negara. 

Baca Juga: Ketahanan Pangan: Pengertian dan Tantangannya

Di Indonesia sendiri, pemenuhan akan pangan merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin UUD 1945. Negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang. Kondisi pangan yang kritis dapat membahayakan stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional.

Akan tetapi, mengutip dari Earth.org, dengan terjadinya berbagai kondisi saat ini, salah satunya adalah perubahan iklim, dunia disebut berada di ambang krisis pangan global. Berbagai negara terancam menghadapi kelaparan dan kerawanan pangan. Menyebabkan kekhawatiran bagi banyak pihak.

Ketahanan pangan adalah fondasi bagi pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan manusia. Setiap negara perlu untuk menyiapkan diri menghadapi berbagai potensi ancaman yang mungkin terjadi terhadap ketahanan pangan yang umumnya melibatkan berbagai faktor.

Earth.org menjelaskan bahwa secara umum, kerawanan pangan bisa terjadi disebabkan oleh guncangan ekonomi, permasalahan lingkungan hidup, serta konflik dan krisis kemanusiaan. Namun, berikut adalah tiga potensi ancaman terhadap ketahanan pangan global yang dapat terjadi di masa sekarang.

Baca Juga: Bagaimana Perubahan Iklim Berdampak Pada Ketahanan Pangan Global?

1. Perubahan Iklim dan Masalah Lingkungan

Terjadinya krisis iklim memberikan pengaruh dalam perubahan pola cuaca sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kondisi ekstrem seperti banjir, kekeringan, dan lainnya.

Kondisi tersebut dapat berpotensi mengubah dan merusak ekosistem, mengancam keanekaragaman hayati dan menghancurkan hasil panen. Rangkaian peristiwa tersebut berdampak besar pada produksi pangan, karena secara signifikan membatasi kualitas, ketersediaan, dan aksesibilitas sumber daya, serta membahayakan stabilitas sistem pangan di seluruh dunia.

Dalam artikelnya, Earth mencantumkan studi baru NASA yang menemukan bahwa tanaman jagung termasuk yang paling terancam akibat peningkatan emisi gas rumah kaca. Hasil panen jagung di seluruh dunia diperkirakan akan menurun sampai dengan 24 persen pada tahun 2030 jika kondisi tersebut tidak segera dibenahi. Hal ini disebut dapat berdampak pula pada beras dan gandum yang pasokannya akan menyusut secara signifikan.

Selain itu, banjir, kekeringan, kebakaran hutan juga merupakan bencana yang dapat menimbulkan ancaman terhadap ketahanan pangan. Bencana tersebut dapat merusak lahan pertanian secara signifikan yang berdampak pada rusaknya tanaman dan berkurangnya produksi pangan. 

2. Pertambahan Penduduk dan Sistem Pangan Modern

Pertumbuhan populasi global meningkatkan permintaan pangan yang dapat memicu tekanan pada sistem produksi pangan. 

Diperkirakan bahwa jumlah populasi akan mencapai hampir 10 miliar pada 2050. Semakin banyak manusia berarti dibutuhkan semakin banyak sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan global.

Untuk dapat memenuhi permintaan pangan yang tinggi, manusia terus berupaya mengembangkan teknik intensif pertanian yang memungkinkan mereka memproduksi pangan dalam jumlah besar dengan harga yang lebih murah. Sayangnya beberapa dilakukan dengan cara yang kurang tepat.

Belum lagi dengan keterbatasan petani di negara berkembang ke teknologi pertanian modern. Selain itu, sekitar dua pertiga emisi dari sistem pangan global berasal dari sektor berbasis lahan, yang terdiri dari pertanian, penggunaan lahan, dan perubahan penggunaan lahan. 

Ditambah dengan masalah terkait sampah makanan. Dunia diyakini menciptakan sekitar 1,3 miliar ton atau senilai hampir USD$1 triliun makanan yang terbuang atau hilang setiap tahunnya. Jumlah yang cukup untuk memberi makan 3 miliar orang atau hampir 40% populasi global. 

Akan tetapi, sampah makanan berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca. Ketika makanan terbuang dan akhirnya membusuk di tempat pembuangan sampah, proses pembusukan tersebut menghasilkan metana, gas rumah kaca yang memiliki potensi pemanasan global 25 kali lebih besar dibandingkan dengan karbon dioksida (CO2) dalam jangka waktu 100 tahun.

Hilangnya sumber daya yang berharga ini menyebabkan perubahan iklim tanpa meningkatkan ketahanan pangan atau nutrisi. Mengurangi jumlah sampah makanan yang berakhir di TPA dapat secara signifikan mengurangi emisi metana. Selain itu, memanfaatkan makanan yang ada dengan lebih efisien dapat mengurangi tekanan pada sistem produksi pangan global.

3. Gangguan pada Rantai Makanan

Terdapat banyak cara dan faktor yang bisa menimbulkan bahaya bagi rantai pangan global. Dua peristiwa bencana belakangan ini bisa disebut menjadi faktor utama yang mengganggu ketahanan pangan, yakni pandemi COVID-19 dan terjadinya konflik di Ukraina.

Pandemi tidak hanya memicu krisis kesehatan tetapi juga krisis ekonomi. Secara keseluruhan, kejadian kemarin menimbulkan ancaman serius terhadap ketahanan pangan global. Lockdown yang ketat, penutupan bisnis, dan perjalanan hidup memberikan beban pada perekonomian dunia.

Dikutip dari Earth.org, Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menekankan bahwa dunia berada di kondisi yang memprihatinkan. Diperkirakan 928 juta orang – hampir dua kali lipat jumlah tahun sebelumnya – mengalami masalah pangan parah. ketidakamanan dan kelaparan. Pada saat yang sama, gangguan pada rantai pasokan di negara-negara maju menyebabkan limbah makanan dalam jumlah besar.

Kemudian, konflik bersenjata juga menjadi salah satu penyebab utama kelaparan secara global. Beberapa tanaman yang menjadi komoditas di sana mengalami kelangkaan akibat tidak tersedianya kesempatan untuk bertani. Menurut New York Times , sejak invasi Ukraina pada Maret 2022, harga gandum meningkat sebesar 21% dan jelai sebesar 33%.

Berdasarkan data World Bank, Outlook Oktober 2023 secara tentatif menunjukkan bahwa puncak prevalensi kerawanan pangan parah secara global mencapai 11,9% secara global pada tahun 2020-2022, dengan hanya sedikit perbaikan dalam jangka pendek menjadi 11,8% (2021-2023) dan 11,6% (2022-2023). Meski begitu, World Bank menyampaikan bahwa pemulihan global dari COVID-19 dan konflik Rusia-Ukraina mulai terjadi, meskipun berjalan lambat. 

Ketahanan pangan adalah isu kompleks yang memerlukan pendekatan multidimensi dan kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan komunitas internasional. 

Pelaku usaha, bisnis, perusahaan juga dapat turut serta dalam melakukan pengukuran dan pemantauan emisi karbon secara teratur serta melaporkannya secara transparan kepada publik untuk dapat membantu perusahaan memahami dampak lingkungan dari operasinya dan menetapkan target-target pengurangan emisi.

Agar kegiatan pengukuran dan analisa emisi gas rumah kaca dapat dikerjakan secara lebih efektif, lakukan semua prosesnya bersama Satuplatform!

Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG Management, Carbon Accounting, dan Sustainability Reporting. Kami dapat membantu Anda mencapai tujuan keberlanjutan dengan menjadi yang terdepan sesuai regulasi yang berlaku. 

Dengan fitur-fitur Satuplatform, Anda dapat:

  1. Mengumpulkan dan menganalisis data ESG secara akurat dan efisien
  2. Melacak emisi karbon dan menetapkan target pengurangan emisi
  3. Menyusun laporan ESG yang memenuhi standar internasional dan nasional

Satuplatform juga didukung oleh tim ahli yang berpengalaman di bidang keberlanjutan bisnis. Tim ahli kami akan membantu memahami kebutuhan Anda dan mengimplementasikan solusi yang tepat. Hubungi Satuplatform dan dapatkan FREE DEMO sekarang! 

Wujudkan bisnis yang berkelanjutan, berdaya saing, dan bertanggung jawab bersama Satuplatform.

Similar Article

5 Brand Kosmetik yang Dukung ESG

Berbagai jenis dan varian dari produk kosmetik yang tersebar luas, menimbulkan potensi sampah kemasan yang menumpuk di landfill. Tidak hanya…