How Businesses Can Navigate COP30 for Strategic ESG Sustainability

The UN Climate Change Conference (COP30), set for November 2025 in Belém, Brazil, represents a pivotal moment for global climate action. Occurring amid complex geopolitical shifts, this summit signifies a crucial transition from negotiation to the tangible implementation of climate commitments.  For businesses, understanding and proactively aligning with the anticipated outcomes and pressures from COP30 is essential for a robust ESG sustainability strategy. Unpacking COP30 Strategic Importance and ESG Risks for Businesses COP30 is undeniably a strategic inflection point with significant implications for a company’s regulatory compliance, stakeholder engagement, supply chain resilience, brand reputation, and long-term competitiveness.  Despite increasing global climate ambition, the fracturing of multilateralism suggests a potential for widening regulatory divergence, creating new implementation risks for companies.  Furthermore, Brazil’s dual role as host, balancing Amazon protection with oil and gas expansion, demands heightened ESG due diligence. Thus, businesses operating in or sourcing from Brazil must prepare for increased scrutiny on supply chains linked to deforestation and reputational fallout from projects contradicting the summit’s goals. Key Agenda Areas at COP30 and Their ESG Implications for Business  Anticipated discussions at COP30 will directly shape the ESG Sustainability for business through these agendas.  1. Climate Finance Reform Expect intensified pressure on private capital. Businesses must align with emerging financial mechanisms to meet the new $300 billion annual climate finance goal by 2035 and contribute to the aspirational $1.3 trillion roadmap for developing economies. 2. National Climate Action Plans (NDCs) & Global Stocktake (GST) Implementation 2025 is critical for countries to submit updated, more ambitious NDCs. Businesses should prepare for regulatory shifts aligning with Global Stocktake outcomes, which call for tripling renewables, phasing down fossil fuels, and enhancing energy efficiency.  3. Evolving Carbon Market Developments in Article 6 of the Paris Agreement may unlock fresh pathways for both mandatory and voluntary carbon trading. However, this progress will coincide with heightened examination of environmental claims, making robust governance essential to uphold market integrity and corporate trustworthiness. 4. Safeguarding Biodiversity and Adapting to Climate Impacts Capital flowing into biodiversity initiatives and climate adaptation efforts is set to increase. Businesses engaging in projects connected to carbon credits or forest conservation, especially in ecologically sensitive areas, must exercise meticulous due diligence to ensure their integrity 5. Advancing a Just Transition Integrating justice, equity, and inclusion is crucial for Net Zero success. This means addressing social impacts on workers and communities during the climate transition. Neglecting this imperative carries significant social, reputational, and legal risks. Key Strategies for Business’ ESG Leadership Alignment to COP30 Businesses’ strategic engagement to adopt and align with the COP30 agendas is crucial for future-proofing operations and becoming climate solution providers. 1. Engage early in relevant discussions to influence climate finance mechanisms and demonstrate scalable decarbonization and adaptation solutions. 2. Embed just transition principles into climate plans, authentically aligning them with global policy signals for long-term viability. 3. Shape a positive narrative by building trust with stakeholders, including negotiators, regulators, civil society, and the media. 4. Strengthen collaboration and innovation opportunities by exploring green investments, technology integration, and multi-stakeholder partnerships for scalable solutions. 5. Be mindful of operational risks, including logistical challenges and potential protests, particularly in the summit’s host city. Seizing the COP30 Moment for Enduring ESG Sustainability  COP30 marks a pivotal opportunity for businesses to solidify their commitment to ESG sustainability. Proactive alignment with its emerging expectations helps businesses build resilience and secure a competitive advantage amidst the global uncertainty. Evaluate your internal ESG data readiness to translate COP30 into seamless, actionable ESG strategies. Satuplatform’s all-in-one ESG solutions, ready to assist you in your journey. Access our free demo right away. 

Pembaruan Standar Iklim GRI untuk Sustainability Reporting Global yang Efisien

Global Reporting Initiative (GRI) telah mengambil langkah signifikan dengan merilis pembaruan standar iklim dan energi, yaitu GRI 102: Climate Change dan GRI 103: Energy, pada 26 Juni 2025.  Sebagai kerangka kerja global yang paling banyak digunakan untuk sustainability reporting, pembaruan ini menjadi sangat penting dalam mendorong akuntabilitas korporat dan mengakselerasi aksi iklim (climate action), terutama bagi sektor-sektor dengan emisi karbon yang tinggi.  Baca Juga: 3 Ragam Standar Kerangka Sustainability Report Upaya Harmonisasi Sustainability Reporting Global yang Efisien  GRI secara proaktif bekerja sama dengan badan penetap standar global lainnya untuk memastikan kesalinglengkapan dan antar keteroperasian standar. Dalam aspek pembaruan standar iklim dan energi ini, kolaborasi erat antara GRI dan IFRS Foundation menghasilkan pernyataan bersama terkait bagaimana GRI 102 dan standar terkait iklim IFRS S2 dapat digunakan secara sinergis.  Pengungkapan emisi GRK Scope 1, 2, dan 3 yang setara dalam IFRS S2 dapat diterima untuk memenuhi persyaratan GRI 102 dengan syarat pengukuran dilakukan sesuai GHG Protocol dan direferensikan dalam indeks konten GRI.  Dengan demikian, perusahaan dapat menyiapkan satu set pengungkapan emisi GRK untuk memenuhi kedua standar. Praktik ini secara signifikan meningkatkan efisiensi dan mengurangi duplikasi pelaporan.  GRI juga telah mencapai tingkat antar keteroperasian yang tinggi dengan European Sustainability Reporting Standards (ESRS) melalui kolaborasi dengan EFRAG, dan selaras dengan Science Based Targets initiative (SBTi).  Pendekatan kolaboratif ini bertujuan menciptakan ekosistem standar iklim yang lebih kohesif untuk membuat laporan keberlanjutan lebih lancar dan efektif. GRI 102 dan 103 Sebagai Standar Baru untuk Akuntabilitas Iklim yang Lebih Dalam  Kebutuhan transparansi stakeholder yang berkembang telah melampaui pelaporan emisi dan konsumsi energi dan mendasari pembaruan standar iklim dan energi GRI. Revisi ini disusun berdasarkan instrumen ilmiah dan otoritatif global, serta selaras penuh dengan GHG Protocol, memastikan kredibilitas pelaporan.  1. GRI 102 Climate Change menekankan bahwa pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) adalah langkah mitigasi utama yang harus diambil perusahaan. Standar ini secara unik mengintegrasikan prinsip ‘transisi adil’, menuntut pengungkapan dampak terhadap pekerja, komunitas lokal, dan masyarakat adat yang mungkin terpengaruh oleh rencana transisi atau adaptasi iklim korporat.  Selain itu, GRI 102 mencakup pengungkapan mendetail mengenai rencana transisi mitigasi iklim, strategi adaptasi, target pengurangan emisi GRK, serta transparansi dalam penggunaan penghapusan GRK dan kredit karbon. 2. GRI 103: Energy  Secara komprehensif mengulas dampak dan aktivitas terkait aspek energi sebuah bisnis, mencakup pengungkapan upaya dekarbonisasi, pemanfaatan energi terbarukan dan non-terbarukan, serta peningkatan efisiensi energi di sepanjang rantai nilai.  GRI 103 menempatkan penggunaan energi yang bertanggung jawab sebagai elemen sentral dalam pendekatan mitigasi perubahan iklim suatu entitas.  Implikasi Nyata bagi Industri Padat Emisi  Standar GRI yang diperbarui memiliki relevansi yang sangat tinggi bagi industri-industri dengan tingkat emisi yang signifikan, seperti sektor manufaktur, agribisnis, energi, pertambangan, serta minyak dan gas.  Standar ini menuntut peningkatan transparansi operasional melalui pengungkapan data yang lebih rinci, termasuk rencana transisi dan adaptasi iklim sektor yang spesifik. Perusahaan diwajibkan untuk melaporkan emisi GRK mereka dari Scope 1, 2, dan 3, termasuk konsumsi energi di seluruh rantai nilai mereka.  Standar baru ini juga akan diintegrasikan dengan sectoral standard dari GRI dan efektif diwajibkan per 1 Januari 2027 untuk memperkuat akurasi sustainability reporting yang selaras dengan kebutuhan industri.  Tantangan dan Solusi Penerapan Standar GRI Terbaru Implementasi standar baru ini tentu menghadirkan tantangan tersendiri, mulai dari kompleksitas persyaratan, pengumpulan data yang akurat di seluruh rantai nilai, hingga adaptasi terhadap tanggal efektif 1 Januari 2027.  Untuk mengatasi kompleksitas ini, layanan Sustainability Report & GHG Report dari Satuplatform menjadi solusi esensial. Layanan ini dirancang untuk mendukung korporasi dalam menghasilkan laporan keberlanjutan yang mematuhi standar global dan internasional. Layanan ini memfasilitasi  pelaporan standar global dan nasional yang komprehensif dan memungkinkan pengkondisian laporan sesuai kebutuhan spesifik setiap perusahaan.  Fitur integrasi data dari berbagai sumber, dilengkapi dengan visualisasi yang jelas dan penyajian akurat, memastikan pemahaman mendalam dan akses jauh lebih mudah, dengan melalui pemantauan dan pembaruan berkala perusahaan dapat mengakses data yang relevan dan terkini.  Keunggulan dari layanan Sustainability Report Satuplatform adalah mampu menyusun secara lebih cepat dan terintegrasi dengan platform yang kami miliki, dengan menjaga keamanan data, serta memfasilitasi akses dan kolaborasi yang efektif dan efisien.  Di sisi lain,GRI akan terus menyediakan dukungan praktis, termasuk kursus dan FAQ, untuk membantu implementasi standar terbaru. Pentingnya Sustainability Disclosure yang Efektif dan Proaktif  Pembaruan standar iklim dan energi yang GRI lakukan merupakan langkah maju yang signifikan dalam keselarasan dan efisiensi sustainability reporting, khususnya bagi industri padat emisi. Pelaporan yang solid adalah fondasi esensial untuk aksi iklim yang efektif dan bertanggung jawab.Proaktivitas korporat dalam mengadopsi standar ini secara proaktif akan memperkuat posisi strategis dan akuntabilitas perusahaan di tengah urgensi krisis iklim. Pastikan pengungkapan upaya iklim dan energi perusahaan Anda memiliki akurasi dan kualitas tinggi dan selaras dengan standar terbaru. Konsultasikan strategi pelaporan dengan tenaga ahli Satuplatform melalui situs web kami. 

Pengaruh Panduan IFRS Terbaru Terhadap Climate-Transition dan Sustainability Reporting Perusahaan

Pada tanggal 23 Juni 2025, IFRS Foundation telah merilis panduan baru yang signifikan untuk mendukung pengungkapan transisi iklim perusahaan di bawah standar iklim International Sustainability Standards Board (ISSB), IFRS S2. Langkah ini merupakan tonggak penting dalam upaya harmonisasi persyaratan sustainability reporting secara global. Peluncuran panduan ini bertujuan mengatasi standar yang terpecah dan kurang harmonis serta membebani perusahaan maupun investor selama ini, sekaligus respons terhadap meningkatnya urgensi informasi mengenai rencana transisi iklim dalam strategi bisnis yang lebih luas. Kenyataan ini turut menandai era baru dalam transparansi korporat.  Related Article: Risk Assessment of Climate Change As A Strategic Approach for Business to Stay Resilient and Relevant Panduan Transisi Iklim IFRS S2 untuk Kebutuhan Sustainability Reporting Perusahaan Panduan baru dari IFRS Foundation hadir untuk mendukung penerapan IFRS S2 Climate-related Disclosures. Pada asalnya, tujuan utama IFRS S2 adalah menyediakan informasi yang relevan dan berguna bagi investor.  Informasi ini mencakup risiko dan peluang terkait iklim yang secara wajar dapat mempengaruhi arus kas entitas, akses terhadap pembiayaan, atau biaya modal dalam jangka pendek, menengah, maupun panjang. Di sisi lain, transisi Iklim (climate transition) didefinisikan sebagai proses di mana suatu entitas, dalam konteks strategi keseluruhannya, menetapkan target, melakukan tindakan, atau mengerahkan sumber daya untuk merespons risiko dan peluang terkait iklim. Proses ini termasuk upaya transisi menuju ekonomi rendah karbon dan/atau ekonomi yang berketahanan iklim. Konteks ini menuntut perusahaan untuk memahami tentang Perencanaan Transisi dan Rencana Transisi.  Perlu digaris bawahi bahwa IFRS S2 tidak secara eksplisit mewajibkan entitas untuk memiliki rencana transisi. Namun, jika suatu entitas telah menetapkan strategi transisi, maka informasi material terkait strategi tersebut wajib diungkapkan sesuai standar.  Strategi Pengungkapan Transisi Iklim yang Efektif sesuai IFRS S2  Panduan baru ini dirancang untuk memungkinkan entitas menyediakan informasi berkualitas tinggi dan relevan mengenai transisi iklim mereka, mencakup upaya mitigasi (pengurangan emisi) dan adaptasi (penyesuaian terhadap dampak iklim). Struktur disclosure  mengikuti pilar IFRS S2 berikut ini. 1. Tata Kelola (Governance) Mengungkapkan bagaimana perusahaan merespons dan merencanakan respons terhadap risiko dan peluang terkait iklim. 2. Strategi (Strategy) Menjelaskan perubahan atau harapan perubahan model bisnis, upaya mitigasi/adaptasi langsung dan tidak langsung, dan detail rencana transisi jika ada (termasuk asumsi dan ketergantungan). 3. Metrik dan Target (Metrics & Targets) Memaparkan bagaimana perusahaan berencana mencapai target terkait iklim, termasuk target emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Panduan ini dibangun dari materi Transition Plan Taskforce (TPT), memfasilitasi integrasi upaya pelaporan yang sudah ada (TPT, Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ)) ke pengungkapan IFRS S2.  Fokus utamanya adalah materialitas untuk memastikan perusahaan mengungkapkan informasi relevan yang memengaruhi keputusan investor. Panduan ini juga memberi fleksibilitas yurisdiksi untuk menambah persyaratan pelaporan lokal dengan syarat bahwa pengungkapan keuangan inti perusahaan jelas. Pentingnya Pengungkapan Transisi Iklim bagi Bisnis  Proses pengungkapan perencanaan dan rencana terkait penanganan iklim  mendorong perusahaan mengidentifikasi risiko dan mengelola peluang pasar hijau. Adopsi panduan IFRS menciptakan standar global harmonis juga mengurangi pelaporan yang terfragmentasi (tidak utuh) dan berbiaya tinggi sehingga meningkatkan kredibilitas secara lebih luas.  Kepatuhan terhadap standar ISSB yang makin diadopsi juga memperkuat reputasi entitas bisnis sebagai kontributor maupun pemimpin di bidang bisnis yang berkelanjutan. Sustainability Reporting Terpadu untuk Mengatasi Tantangan dan Perubahan di Masa Depan Panduan terbaru IFRS memang memberikan kejelasan bagi perusahaan dalam memproses upaya sustainability. Akan tetapi, tantangan yang mengancam konsistensi pelaporan keuangan tetap ada, diantaranya adalah deregulasi dan kebutuhan ketersediaan data yang akurat dan lengkap.  Layanan Carbon & ESG Management Satuplatform menjadi solusi yang dapat perusahaan andalkan untuk memfasilitasi adaptasi strategi. Layanan ini menyediakan pemantauan emisi karbon dan data ESG real-time yang akurat dan secara efektif membantu mengatasi masalah ketersediaan data dan fragmentasi pelaporan. Dengan fitur sustainability reporting yang dapat disesuaikan dengan standar global (GRI, ISSB) dan nasional, perusahaan dapat memenuhi persyaratan IFRS S2 lebih efisien.  Fitur dukungan data-driven insights turut memberdayakan perusahaan mengelola emisi dan strategi ESG secara bertanggung jawab untuk menghasilkan keunggulan kompetitif. Memperkuat Strategi Bisnis dengan Pelaporan yang Solid Mengutip Green Central Banking, IFRS Foundation akan terus memantau pengungkapan yang diberikan entitas dan mempertimbangkan peningkatan panduan di masa mendatang. Mereka juga berencana memperluas panduan spesifik sektor (SASB) dan meneliti area baru seperti keanekaragaman hayati dan modal manusia. Oleh sebab itu,  pengelola dan melaporkan data keberlanjutan akurat adalah investasi strategis yang sangat berharga bagi perusahaan di berbagai industri hari ini. Konsultasikan kebutuhan perusahaan untuk memahami dan mengimplementasikan panduan pelaporan transisi iklim terbaru secara efisien dengan solusi terintegrasi Satuplatform. Segera jadwalkan demo gratis melalui situs web utama kami hari ini.

4

Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global

Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya terhadap jejak karbon global sangat besar.  Scientific American menyebutkan bahwa militer global bertanggung jawab atas sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Jika dianggap sebagai entitas negara, angka tersebut menempati posisi keempat terbesar di dunia Baca Juga: Menekan Dampak Jejak Karbon: Panduan bagi Perusahaan di Indonesia Sumber Emisi Langsung dan Tidak Langsung sebagai Kontributor Jejak Karbon dalam Konflik Bersenjata Konflik bersenjata menghasilkan emisi karbon melalui berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung: 1. Operasi Militer Langsung Mencakup pembakaran bahan bakar jet dan diesel oleh pesawat, tank, serta kapal perang,produksi senjata, amunisi, dan peralatan militer, serta pembangunan benteng dan instalasi militer yang berkontribusi besar terhadap emisi. 2. Perusakan Infrastruktur dan Kebakaran Kebakaran besar dan tumpahan minyak akibat serangan ke infrastruktur utama melepaskan GRK. Perusakan bangunan dan kota juga menghasilkan puing yang penanganannya padat energi, sementara kebakaran vegetasi, baik disengaja maupun tidak, turut membebaskan karbon yang tersimpan 3. Perubahan Penggunaan Lahan Penghancuran vegetasi seperti hutan atau lahan pertanian untuk tujuan militer atau akibat konflik, mengakibatkan pelepasan karbon yang terperangkap dalam biomassa dan tanah. 4. Dampak Krisis Kemanusiaan Logistik pengiriman bantuan kemanusiaan membutuhkan konsumsi bahan bakar yang tinggi. Selain itu, dampak lingkungan dari kamp-kamp pengungsi, seperti Deforestasi di area sekitarnya, juga menambah jejak karbon. Emisi Terkunci dan Dampak Pasca-Konflik yang Berkelanjutan Emisi karbon dapat menjadi “terkunci” dalam situasi konflik yang berkepanjangan dan bahkan setelah konflik mereda. 1. Teknologi Usang dan Infrastruktur Rusak Konflik menghambat investasi dan pemeliharaan, menyebabkan terus digunakannya teknologi lama yang lebih berpolusi. Infrastruktur vital yang tidak terawat, seperti sistem pengelolaan limbah dan air, juga melepaskan emisi tambahan . 2. Dampak Rekonstruksi Upaya pembangunan kembali pasca-konflik, terutama kota-kota yang hancur, sangat padat energi dan bahan. Estimasi menunjukkan bahwa rekonstruksi Gaza dan Ukraina akan menghasilkan puluhan hingga ratusan juta ton emisi karbon, dengan produksi bahan seperti semen menjadi kontributor utama jejak karbon yang besar. 3. Perubahan Penggunaan Lahan Pasca-Konflik Peningkatan deforestasi akibat pemulihan ekonomi atau relokasi populasi, terutama di wilayah dengan tata kelola yang lemah. 4. Sisa Perang Proses pembersihan ranjau dan sisa-sisa perang lainnya juga merupakan proses yang padat energi dan berkontribusi pada emisi selama beberapa dekade. Tantangan dalam Pengukuran dan Akuntabilitas Emisi Militer Mengukur dan melaporkan emisi militer menghadapi hambatan signifikan berikut ini. 1. Minimnya Transparansi dan Data Sektor militer cenderung tertutup, membuat data sulit diakses. Hanya segelintir negara yang secara sukarela melaporkan emisi ini. 2. Kerangka Pelaporan yang Lemah Perjanjian iklim internasional tidak mewajibkan pelaporan emisi militer secara eksplisit, menjadikannya opsional. 3. Pengukuran yang Rumit  Metodologi yang ada seringkali tidak mencakup emisi dari rantai pasokan militer, industri senjata, atau dampak tidak langsung dari konflik. Terdapat kebutuhan untuk kategori perhitungan yang lebih komprehensif seperti “Scope 3 Plus”. 4. Akuntabilitas Hingga kini, belum ada mekanisme internasional yang jelas untuk meminta pertanggungjawaban atas kerusakan iklim yang diakibatkan oleh perang. Pentingnya Kondisi Ini bagi Bisnis dan Agenda Iklim Global Memahami emisi dari perang dan militer sebagai kontributor jejak karbon global sangat relevan bagi perusahaan dan agenda iklim secara luas. 1. Integritas Tujuan Iklim Global Target iklim global tidak dapat dicapai secara efektif tanpa menghitung dan mengatasi seluruh sumber emisi, termasuk dari militer dan konflik sehingga perusahaan yang sungguh berkomitmen pada keberlanjutan perlu berkontribusi. 2. Manajemen Risiko Bisnis Ketidakstabilan global yang diakibatkan oleh konflik bersenjata dan dampak lingkungannya memengaruhi rantai pasokan, pasar energi, dan prioritas investasi. Mengidentifikasi dan mengelola risiko-risiko ini menjadi penting bagi strategi bisnis yang tangguh. 3. Transparansi dan Tanggung Jawab  Terdapat desakan yang berkembang dari masyarakat sipil dan ilmuwan untuk transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar terkait emisi militer. Dunia usaha yang berinvestasi pada keberlanjutan perlu menyadari lanskap yang berubah ini. 4. Peluang Investasi Hijau Konflik menciptakan peluang untuk transisi yang lebih berkelanjutan dalam produksi energi, penggunaan lahan, dan pembangunan urban pasca-konflik. Sektor swasta memiliki peran potensial dalam mendukung inisiatif pembangunan kembali dengan pendekatan ramah lingkungan tersebut. Menghadapi Realitas Perang sebagai Kontributor Jejak Karbon  Kesadaran mendalam dan pengukuran yang lebih baik terhadap dampak  kontributor jejak karbon global  ini sangat penting untuk mencapai target iklim global dan membangun masa depan yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan. Untuk memahami dan mengelola jejak karbon organisasi Anda secara komprehensif, termasuk yang terkait dengan faktor-faktor global yang kompleks, jadwalkan demo gratis dengan pakar Satuplatform melalui situs web utama kami hari ini.   Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya terhadap jejak karbon global sangat besar.  Scientific American menyebutkan bahwa militer global bertanggung jawab atas sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Jika dianggap sebagai entitas negara, angka tersebut menempati posisi keempat terbesar di dunia Baca Juga: Menekan Dampak Jejak Karbon: Panduan bagi Perusahaan di Indonesia Sumber Emisi Langsung dan Tidak Langsung dalam Konflik Bersenjata Konflik bersenjata menghasilkan emisi karbon melalui berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung:… Why Product Lifespan Is the Next Frontier for Sustainable Business Embracing product longevity and extending product lifespan emerges as a current and indispensable strategic priority for cultivating sustainable business growth and securing a responsible future for modern enterprises. Longer product life span represents a fundamental shift in how businesses approach sustainability, moving decisively from a conventional linear consumption model (single use) to a circular one.  This strategy is vital for minimizing environmental strain, preserving valuable inputs, and fostering both innovation and financial viability within organizations.  Related Article: The Next Era of Sustainable Business: Going from Circular to Regenerative Model How Product Longevity Becomes a Core Strategic Shift in the Circular… Green Building sebagai Cara Mengurangi Jejak Karbon, Ini yang Perlu Dilakukan! Di tengah isu perubahan iklim yang semakin mendesak, bisnis dan masyarakat global mulai sadar pentingnya pembangunan yang lebih ramah lingkungan. Salah satu langkah konkret yang semakin banyak diadopsi adalah konsep green building atau bangunan hijau. Tidak hanya menghemat …

1

Why Product Lifespan Is the Next Frontier for Sustainable Business

Embracing product longevity and extending product lifespan emerges as a current and indispensable strategic priority for cultivating sustainable business growth and securing a responsible future for modern enterprises. Longer product life span represents a fundamental shift in how businesses approach sustainability, moving decisively from a conventional linear consumption model (single use) to a circular one.  This strategy is vital for minimizing environmental strain, preserving valuable inputs, and fostering both innovation and financial viability within organizations.  Related Article: The Next Era of Sustainable Business: Going from Circular to Regenerative Model How Product Longevity Becomes a Core Strategic Shift in the Circular Economy (Sustainable Business) Product Longevity signifies a product’s extended usable life, defined by its durability, effectiveness, and continued repairability over time. This concept positions itself as a direct strategic lever for businesses operating within a Circular Economy.  It shifts companies beyond merely selling new items to actively retaining the embedded value in existing ones, fundamentally transforming how resources flow and enabling systemic business resilience.  This strategic choice compels businesses to compete on the basis of long-term value delivery and resource efficiency, rather than perpetuating continuous material extraction and disposal. It fosters a paradigm where value is maximized through extended use and comprehensive recovery throughout the product lifecycle. Sustainable Business Practical Strategies for Extending Product Lifespans  Maximizing product longevity requires integrating sustainability across the entire product lifecycle through the three steps below.  1. Design for Durability & Circularity Applying eco-design principles like biomimicry (emulating nature), the cradle-to-cradle philosophy (ensuring infinite recyclability), and systems thinking (considering broad ecosystem impact).  In material selection, prioritize recycled, renewable, bio-based, and low-impact resources, with local sourcing also reducing environmental footprints. Designing products with modular, easy-to-replace components also further enhances their lifespan  2. Use Phase & Maintenance Businesses can offer accessible maintenance and repair services, including spare parts, repair guides, and service centers. Encouraging consumer mindset shifts through education and incentives (like warranties or trade-ins) promotes valuing quality over quantity. Furthermore, fostering intense and shared product use through models like bike sharing optimizes resource utilization. 3. End-of-Life Management Refurbishment and remanufacturing restore used products to a like-new state, creating valuable secondary markets. Implementing product take-back and recycling programs enables the reclaiming of materials, encouraging consumer participation. Reverse logistics streamlines the handling of returns, repairs, and end-of-life collection, maximizing resource recovery. Recognizing Challenges in Embracing Product Longevity (Sustainable Business) Implementing product longevity strategies for sustainable business comes with specific challenges in diverse aspects, tied to circular business models. 1. Consumer Culture of Convenience A prevalent preference for cheap, disposable products often requires strategic shifts in consumer education and effective incentives to promote durability. 2. Technological Obsolescence Rapid advancements, particularly in electronics, can quickly render products outdated. Mitigating this involves designing for modularity and providing consistent software updates. 3. Supply Chain Complexity Circular practices demand robust management for reverse logistics, refurbishment, and recycling. Collaboration across the supply chain and leveraging technologies like blockchain are critical enablers 4. Data Scarcity & Measurement Nuances Limited data on actual product lifespans and the complexities of measuring multi-dimensional sustainability impacts (environmental, social, economic) pose hurdles for accurately quantifying success.   Such measurement often requires methodologies like Lifecycle Assessment (LCA), which analyzes impacts from raw material extraction to end-of-life, alongside other vital metrics like material footprint, waste generation, and repair rates. Considering Product Lifespan for Circular Consumption Practice (Sustainable Business) Product longevity is a powerful strategic choice for businesses, propelling them towards greater sustainability and seamless circular economy integration. By reducing resource consumption and waste, companies may unlock new revenue streams through innovative models like remanufacturing and build supply chain resilience, which secures competitive advantage and future-proof operations. Accelerate your sustainable business contribution to the circular economy using an integrated digital solution for carbon management from Satuplatform. Schedule a free demo via our main website today.    Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya terhadap jejak karbon global sangat besar.  Scientific American menyebutkan bahwa militer global bertanggung jawab atas sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Jika dianggap sebagai entitas negara, angka tersebut menempati posisi keempat terbesar di dunia Baca Juga: Menekan Dampak Jejak Karbon: Panduan bagi Perusahaan di Indonesia Sumber Emisi Langsung dan Tidak Langsung dalam Konflik Bersenjata Konflik bersenjata menghasilkan emisi karbon melalui berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung:… Why Product Lifespan Is the Next Frontier for Sustainable Business Embracing product longevity and extending product lifespan emerges as a current and indispensable strategic priority for cultivating sustainable business growth and securing a responsible future for modern enterprises. Longer product life span represents a fundamental shift in how businesses approach sustainability, moving decisively from a conventional linear consumption model (single use) to a circular one.  This strategy is vital for minimizing environmental strain, preserving valuable inputs, and fostering both innovation and financial viability within organizations.  Related Article: The Next Era of Sustainable Business: Going from Circular to Regenerative Model How Product Longevity Becomes a Core Strategic Shift in the Circular… Green Building sebagai Cara Mengurangi Jejak Karbon, Ini yang Perlu Dilakukan! Di tengah isu perubahan iklim yang semakin mendesak, bisnis dan masyarakat global mulai sadar pentingnya pembangunan yang lebih ramah lingkungan. Salah satu langkah konkret yang semakin banyak diadopsi adalah konsep green building atau bangunan hijau. Tidak hanya menghemat energi, konsep ini juga menjadi cara efektif untuk menurunkan jejak karbon dan mendukung keberlanjutan jangka panjang. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang peran green building dalam pengurangan emisi karbon serta langkah-langkah penting yang bisa dilakukan. Apa Itu Green Building? Baca juga artikel lainnya : Green Building: Pengertian, Konsep, Kriteria, dan Manfaat  Green building adalah konsep bangunan yang dirancang, dibangun, dioperasikan, dan… Unveiling the Environmental Impact of Children’s Toys Industry The global toy industry plays a significant role in early childhood development, creativity, and education. Toys bring joy, imagination, and learning into a child’s life. From soft …

1

Green Building sebagai Cara Mengurangi Jejak Karbon, Ini yang Perlu Dilakukan!

Di tengah isu perubahan iklim yang semakin mendesak, bisnis dan masyarakat global mulai sadar pentingnya pembangunan yang lebih ramah lingkungan. Salah satu langkah konkret yang semakin banyak diadopsi adalah konsep green building atau bangunan hijau. Tidak hanya menghemat energi, konsep ini juga menjadi cara efektif untuk menurunkan jejak karbon dan mendukung keberlanjutan jangka panjang. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang peran green building dalam pengurangan emisi karbon serta langkah-langkah penting yang bisa dilakukan. Apa Itu Green Building? Baca juga artikel lainnya : Green Building: Pengertian, Konsep, Kriteria, dan Manfaat  Green building adalah konsep bangunan yang dirancang, dibangun, dioperasikan, dan dirawat dengan mempertimbangkan efisiensi sumber daya, kesehatan penghuni, dan dampak lingkungan. Tujuannya adalah meminimalkan penggunaan energi, air, dan material serta mengurangi polusi dan limbah selama siklus hidup bangunan tersebut. Konsep Green Building menjadi penting karena sektor bangunan menyumbang emisi karbon yang sangat besar. Di banyak negara, termasuk Indonesia, bangunan menyumbang lebih dari 30% konsumsi energi dan emisi karbon secara keseluruhan. Dengan menerapkan prinsip green building, kita bisa menekan angka ini secara signifikan. Tidak hanya berdampak positif bagi lingkungan, green building juga membawa manfaat ekonomi. Misalnya, pengurangan biaya operasional, nilai jual bangunan yang lebih tinggi, dan kenyamanan serta produktivitas penghuni yang meningkat. Secara Bertahap Terapkan Green Building Menerapkan konsep green building bukan berarti harus membongkar dan membangun ulang dari nol. Banyak langkah yang bisa dilakukan secara bertahap, bahkan untuk bangunan yang sudah berdiri. Berikut beberapa cara penting yang bisa diterapkan secara bertahap: Desain adalah tahap paling awal dan paling krusial. Dengan merancang bangunan yang memaksimalkan pencahayaan alami, sirkulasi udara, dan orientasi terhadap matahari, konsumsi energi bisa ditekan sejak awal. Penggunaan kaca hemat energi, insulasi termal pada dinding dan atap, serta ventilasi silang alami adalah beberapa contoh desain efisien energi. Jika dilakukan dengan baik, bangunan bisa mengurangi kebutuhan akan AC dan lampu hingga 30–50%. Pilih bahan bangunan yang rendah emisi karbon dan mudah didaur ulang. Kayu bersertifikat, bata ringan, beton ramah lingkungan, dan cat berbasis air adalah beberapa contoh material yang mendukung konsep green building. Selain itu, menggunakan material lokal juga mengurangi emisi dari proses transportasi. Ini bukan hanya lebih ramah lingkungan, tapi juga mendukung ekonomi lokal. Air adalah sumber daya yang seringkali terlupakan dalam desain bangunan. Padahal, pengelolaan air yang baik bisa menghemat konsumsi dan mencegah pemborosan. Penerapan sistem rainwater harvesting (penampungan air hujan), penggunaan alat sanitasi hemat air, dan sistem daur ulang air limbah bisa menurunkan jejak air dan energi yang digunakan untuk memompa serta mengolah air. Pemasangan panel surya di atap bangunan kini menjadi pilihan yang semakin populer. Meski investasi awal bisa terasa besar, dalam jangka panjang penggunaannya akan mengurangi tagihan listrik dan ketergantungan pada energi fosil. Selain itu, menggunakan sistem pengatur energi cerdas seperti smart grid atau sensor otomatis bisa membuat konsumsi listrik menjadi lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan aktual bangunan. Peroleh Sertifikat Green Building Untuk memastikan bahwa sebuah bangunan benar-benar ramah lingkungan, banyak negara termasuk Indonesia telah mengadopsi sistem sertifikasi green building. Di Indonesia, sistem yang paling dikenal adalah Greenship, yang dikembangkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI). Sertifikasi ini bertujuan untuk menilai dan mendorong penerapan prinsip-prinsip bangunan hijau sejak tahap perencanaan hingga operasional. Memiliki sertifikat green building seperti Greenship bukan hanya menjadi bentuk pengakuan terhadap komitmen lingkungan sebuah perusahaan, tetapi juga dapat meningkatkan reputasi bisnis. Sertifikasi ini menjadi nilai tambah di mata konsumen yang semakin sadar akan pentingnya keberlanjutan. Selain itu, bangunan yang efisien secara energi dan ramah lingkungan juga berpotensi mengurangi biaya operasional dalam jangka panjang. Mengapa Bisnis Harus Ikut Berperan Aktif? Penerapan green building bukan hanya menjadi tanggung jawab arsitek atau pengembang, tetapi juga merupakan bagian penting dari strategi bisnis yang berkelanjutan. Berbagai jenis usaha, mulai dari kantor, restoran, pabrik, hingga ruang ritel, dapat mengadopsi prinsip bangunan ramah lingkungan untuk mendukung operasional yang lebih efisien dan bertanggung jawab. Partisipasi aktif dunia usaha dalam green building menunjukkan kesadaran akan pentingnya kontribusi terhadap isu lingkungan. Di samping itu, sebetulnya ada banyak sekali keuntungan yang bisa didapatkan bisnis dari keterlibatan ini. Pertama, pengurangan biaya operasional melalui efisiensi energi, air, dan perawatan. Kedua, peningkatan citra perusahaan, karena konsumen semakin menghargai brand yang peduli terhadap keberlanjutan. Ketiga, mendukung target ESG (Environmental, Social, and Governance) yang kini menjadi standar penting dalam penilaian kinerja bisnis. Kemudian yang tak kalah penting, banyak lembaga keuangan menawarkan pembiayaan lebih mudah atau bunga rendah untuk proyek-proyek hijau, membuka peluang lebih luas bagi bisnis untuk tumbuh secara berkelanjutan. Bangunan Ramah Lingkungan, Langkah Menuju Masa Depan ‘Hijau’ Green building bukan hanya tren sesaat. Ini adalah jawaban nyata terhadap kebutuhan dunia akan pembangunan yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan. Di tengah tantangan krisis iklim dan meningkatnya tuntutan konsumen terhadap bisnis yang peduli lingkungan, konsep ini memberikan solusi yang win-win, baik untuk bumi maupun untuk keberlangsungan bisnis. Dengan menerapkan desain hemat energi, memilih bahan ramah lingkungan, memanfaatkan energi terbarukan, serta mendapatkan sertifikasi bangunan hijau, perusahaan bisa berkontribusi langsung dalam menurunkan jejak karbon.  Jika perusahaan Anda ingin menerapkan prinsip green building ke dalam strategi keberlanjutan, mari konsultasikan bersama satuplatform dan mulai perjalanan hijau bisnis Anda sekarang! Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya terhadap jejak karbon global sangat besar.  Scientific American menyebutkan bahwa militer global bertanggung jawab atas sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Jika dianggap sebagai entitas negara, angka tersebut menempati posisi keempat terbesar di dunia Baca Juga: Menekan Dampak Jejak Karbon: Panduan bagi Perusahaan di Indonesia Sumber Emisi Langsung dan Tidak Langsung dalam Konflik Bersenjata Konflik bersenjata menghasilkan emisi karbon melalui berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung:… Why Product Lifespan Is the Next Frontier for Sustainable Business Embracing product longevity and extending product lifespan emerges as a current and indispensable strategic priority for cultivating sustainable business growth and securing a responsible future for modern enterprises. Longer product life span represents a fundamental shift in how businesses approach sustainability, moving decisively from a conventional linear consumption model (single …

2

Unveiling the Environmental Impact of Children’s Toys Industry

The global toy industry plays a significant role in early childhood development, creativity, and education. Toys bring joy, imagination, and learning into a child’s life. From soft plush animals to blinking plastic robots, the toy industry continues to grow rapidly as global consumer demand rises. But while toys are made for fun, the environmental impact they leave behind is no child’s play. Let’s explore this further in the article as we uncover the hidden impact behind the fun. A World of Play, A Hidden Footprint The children’s toy industry is a multi-billion-dollar market, with millions of new products hitting the shelves every year. However, many of these toys are made from plastic and synthetic materials, wrapped in layers of packaging, and often designed for short-term use. Behind the bright colors and cheerful branding lies a long chain of production, transportation, and disposal. Each step is leaving a carbon and ecological footprint. The problem isn’t just how toys are made, but also how they’re used and discarded. Most toys are not biodegradable, and many end up in landfills or the ocean. It’s time we look deeper into how this industry affects our environment and what businesses and consumers can do to change it for the better. The Plastic Problem in Toy Production One of the biggest environmental concerns in the toy industry is plastic. It is estimated up to 90% of toys on the market are made from plastic, especially types like PVC (polyvinyl chloride), which are not easily recyclable and can release harmful chemicals during production or breakdown. Read other article : Reducing Carbon Footprint: A Comprehensive Guide for Companies to Begin Plastic is chosen because it’s cheap, colorful, durable, and moldable into endless shapes. But the downside is significant, plastic is a fossil-fuel-based material, and its production contributes to greenhouse gas emissions. Moreover, plastic waste doesn’t degrade naturally; instead, it breaks down into microplastics that pollute ecosystems and harm marine life. In many cases, even wooden or fabric toys are treated with paints, coatings, or synthetic fillers that reduce their sustainability. The combination of these materials often makes recycling difficult, meaning most toys are destined for landfills after a short period of use. Packaging Waste and Overproduction Toys are often marketed through attractive packaging, such as bright boxes, plastic windows, zip ties, and foil wraps. While these elements make products eye-catching on store shelves, they significantly contribute to environmental waste. In fact, the packaging for toys can sometimes weigh more than the toy itself. Additionally, the toy industry is known for seasonal trends and short product life cycles. Think about how many toys are released to match holiday seasons, movie tie-ins, or trending characters. These toys are produced in large quantities, sometimes with overstocked inventory that ends up unsold and discarded. This cycle of overproduction and short-term demand leads to resource waste, energy use, and increased emissions from transportation and disposal. When toys are discarded, they rarely get recycled. Most municipal recycling centers aren’t equipped to handle mixed materials or small, intricate parts. As a result, a large percentage of toys end up in trash bins rather than recycling facilities. The Human and Environmental Cost of Manufacturing Many toys are manufactured in developing countries, where labor is cheaper and regulations may be less strict. While this helps companies keep prices low, it also raises concerns about environmental practices and workers’ welfare. Toy factories may use outdated machinery, emit pollutants, or improperly dispose of waste. Toxic chemicals such as phthalates or heavy metals used in certain plastic toys can also pose health risks, not only to children who play with them but to the workers who produce them. In regions where environmental laws are weak, rivers and soil near factories may become polluted, affecting local communities and ecosystems. The carbon footprint of transporting toys across the globe, from manufacturing centers to consumer markets is another contributor to climate change that is often overlooked. These issues highlight how the environmental impact of toys is not only about the physical product, but also about the global systems of production and labor that support them. Moving Toward Greener Toys Despite the challenges, the toy industry holds significant potential to drive innovation and set a positive example in sustainable manufacturing. Encouragingly, more companies are beginning to adopt environmentally responsible practices, a trend that must continue to gain momentum. To move in this direction, businesses can start by designing toys for durability and reuse, ensuring they last longer and can be passed down rather than discarded.  Choosing eco-friendly materials is also key, such as replacing petroleum-based plastics with bioplastics, recycled content, sustainably sourced wood, or organic fabrics, while avoiding mixed materials that are difficult to recycle. In addition, companies should simplify packaging by eliminating excess layers and opting for recyclable or compostable alternatives. Offering recycling or take-back programs can further reduce waste, giving consumers a responsible option for disposing of old toys. ESG in Toys Industry In this situation, integrating Environmental, Social, and Governance (ESG) principles into the toy industry is becoming increasingly essential as stakeholders demand more accountability and sustainability from brands. By embedding ESG into core strategies, toy manufacturers not only enhance their long-term resilience but also align with the growing expectations of today’s socially conscious market. If you’re a business aiming to transition toward greener practices, consult with satuplatform. Together, we can build an industry that brings joy not just to children, but to the planet as well. Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya terhadap jejak karbon global sangat besar.  Scientific American menyebutkan bahwa militer global bertanggung jawab atas sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Jika dianggap sebagai entitas negara, angka tersebut menempati posisi keempat terbesar di dunia Baca Juga: Menekan Dampak Jejak Karbon: Panduan bagi Perusahaan di Indonesia Sumber Emisi Langsung dan …

2

ESG as Sustainability Initiatives for Modern Industry

In today’s world, sustainability is no longer just a “nice-to-have”, but it’s a must. With rising concerns about climate change, environmental degradation, and social inequality, businesses are being called to do more than just make profits. They are expected to take responsibility for their impact on people and the planet. One of the most powerful tools that companies now use to align with this expectation is ESG, short for Environmental, Social, and Governance. Read other article : Sustainability as a Competitive Advantage: An Investment in Your Business’s Future This article will explore what ESG really means, why it matters for modern industry, and how companies can start or strengthen their ESG journey in practical and meaningful ways. Understanding ESG ESG stands for Environmental, Social, and Governance, three fundamental pillars used to evaluate a company’s broader impact beyond just profits. The Environmental component assesses how a business affects the planet, including its carbon footprint, energy consumption, water use, and waste management. The Social aspect examines how a company interacts with people, focusing on employee welfare, diversity and inclusion, community involvement, and customer relations. Meanwhile, Governance evaluates how a business is run, emphasizing transparency, ethical leadership, anti-corruption efforts, and clear decision-making structures. At its core, ESG is about embedding sustainable and ethical values into the daily operations of a business. By aligning with ESG principles, companies can build stronger trust with stakeholders, reduce potential risks, and enhance long-term resilience. In an era of growing global challenges, adopting ESG practices isn’t just good ethics, but it’s also smart business. Why ESG Matters in Modern Industry For many years, business success was primarily measured by profit margins and shareholder returns. However, that mindset is shifting. Today’s consumers, investors, and regulators expect more from the companies they support. They want assurance that businesses are contributing positively to society and the environment. This growing demand for corporate responsibility is making Environmental, Social, and Governance (ESG) practices more important than ever. Consumer expectations are a major driving force behind this change. People, especially younger generations, are more selective about the brands they support, often favoring those that align with their values. A strong ESG track record can attract loyal customers who care deeply about sustainability, ethical labor practices, and social fairness. On the investor side, ESG performance is increasingly seen as a marker of long-term stability and reduced risk. Many investors now prioritize companies that are transparent and responsible, leading to a surge in “green” or “sustainable” investment funds. At the same time, regulatory pressures are increasing. Governments and international organizations are setting stricter rules on emissions, human rights, and corporate accountability. Businesses that adopt ESG frameworks early can stay ahead of these regulations and avoid legal pitfalls.  Beyond compliance, strong ESG practices also enhance a company’s ability to handle crises, whether environmental, operational, or social. Companies that prioritize ESG tend to build stronger brands, gain public trust, and create more resilient, future-proof operations. ESG in Action: Real-World Practices ESG doesn’t have to be complicated or costly. In fact, many companies may already be practicing ESG principles without even realizing it. Across various industries, businesses are finding practical, meaningful ways to integrate Environmental, Social, and Governance elements into their operations, often resulting in both positive impact and improved efficiency. For example, on the environmental front, a manufacturing company might install solar panels to cut electricity costs and reduce emissions. A coffee shop could partner with local farmers for sustainable sourcing, while a tech company redesigns its packaging to minimize plastic use and incorporate recycled materials. Social initiatives might include a retail brand hiring from underserved communities and offering training, a logistics company improving worker safety and wages, or a startup providing mental health resources to employees. Governance improvements are just as critical. Companies can update anti-bribery policies, diversify their leadership, or ensure suppliers meet ethical labor standards. Others publish annual sustainability reports to maintain transparency with stakeholders. While the approach may vary depending on industry and scale, each of these efforts strengthens a company’s ESG profile and demonstrates a commitment to doing business responsibly. Starting an ESG Strategy: Step-by-Step If your business hasn’t adopted ESG yet, don’t worry, it’s never too late to start. Here’s a simple guide to help companies begin their ESG journey: ESG Is a Long-Term Commitment, Not a One-Time Project Business should be clear, ESG is not about greenwashing or doing something for show. It’s about building a better, more responsible business for the long run. That means it requires continuous effort, honest reflection, and a willingness to improve. Some businesses may feel overwhelmed or unsure where to start, but the key is to begin with intention and take consistent steps. Even small changes, when done collectively and consistently, can have a significant impact. Whether you’re a startup, a growing SME, or a large corporation, now is the time to make ESG part of your business strategy. Need help building or refining your ESG strategy? Visit satuplatform to connect with our team of sustainability consultants. We’re here to guide your business toward a more responsible and resilient future! Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya terhadap jejak karbon global sangat besar.  Scientific American menyebutkan bahwa militer global bertanggung jawab atas sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Jika dianggap sebagai entitas negara, angka tersebut menempati posisi keempat terbesar di dunia Baca Juga: Menekan Dampak Jejak Karbon: Panduan bagi Perusahaan di Indonesia Sumber Emisi Langsung dan Tidak Langsung dalam Konflik Bersenjata Konflik bersenjata menghasilkan emisi karbon melalui berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung:… Why Product Lifespan Is the Next Frontier for Sustainable Business Embracing product longevity and extending product lifespan emerges as a current and indispensable strategic priority for cultivating sustainable business growth and securing a responsible future for modern enterprises. Longer product life span …

3

ESG Strategies for Business Growth in Developing Countries

In today’s fast-changing world, businesses are no longer only measured by profits. Companies are now expected to be responsible for their impact on people and the planet. This is where ESG comes in, aspects of Environmental, Social, and Governance. Especially for businesses in developing countries, adopting ESG strategies isn’t just about doing good, it’s a smart way to grow sustainably, earn trust, and attract investment. Read other article : Understanding the Risk Assessment in the ESG Framework for Business In this article, we’ll explore five practical ESG strategies that can help businesses in developing countries grow stronger while also making a positive difference. Start with Environmental Responsibility In many developing countries, environmental issues such as pollution, deforestation, and water scarcity are serious challenges. Businesses can play a big role in creating solutions. One of the easiest places to start is by managing waste and using resources more efficiently. For example, manufacturers can reduce emissions by upgrading to energy-efficient machines. Restaurants or food businesses can minimize food waste by improving inventory management or donating unsold food. Retailers can switch to eco-friendly packaging to reduce plastic use. Another impactful step is to track your carbon footprint, like how much carbon dioxide your operations release into the air. There are many free or low-cost tools to help with this. Even small changes, like switching to LED lighting or sourcing local materials, can reduce your environmental impact and save money in the long run. Furthermore, environmental responsibility is not only about nature, it’s also about business resilience. Companies that prepare for environmental risks, like floods or droughts, are more likely to survive and grow in the future. Support and Empower Local Communities The “S” in ESG stands for Social, which focuses on how a business treats people, employees, customers, and the wider community. In developing countries, strong social strategies can help businesses grow faster and gain local support. For example, offering fair wages, safe working conditions, and training opportunities for employees creates a loyal and motivated workforce. Hiring locally and promoting from within can also boost team morale and reduce turnover costs. Going beyond employees, businesses can also support their communities. This might mean partnering with local farmers, sponsoring school programs, or supporting women-owned small businesses in the supply chain. These efforts build goodwill and show that your business cares about more than just profit. Build Good Governance from the Ground Up Governance is about how a company is run, its values, leadership, decision-making, and transparency. In developing countries, where issues like corruption or weak regulation can be a challenge, strong governance builds trust with investors, partners, and customers. Good governance starts with having clear policies and values. This means defining what your business stands for, honesty, accountability, fairness, or sustainability. These values should guide your daily operations and decision-making. Creating transparent reporting systems is also important. Regularly share updates on company performance, employee welfare, or environmental impact, especially with stakeholders like investors or government agencies. Even if your business is small, showing you take accountability seriously will boost your reputation. Also, ensure that leadership is inclusive and diverse. Companies with diverse leadership often make better decisions because they bring more perspectives to the table. Use ESG to Attract Investors and Customers Many international investors are now looking to fund businesses that follow ESG principles. For developing countries, this opens up new opportunities for funding, partnerships, and market access. If your business wants to attract investors, clearly communicate your ESG goals. Have written policies, track your progress, and share reports, even simple ones. You don’t need to be perfect, but you should show commitment and transparency. The same goes for customers, especially in export markets. More global buyers now require proof of ethical sourcing, fair labor, and environmental care. If your company can show that it meets ESG standards, you’ll be more competitive and trusted. For example, a textile business that uses organic cotton and treats its workers well can appeal to global fashion brands looking for responsible suppliers. A coffee producer with a fair-trade certificate can access premium markets and better prices. Adapt ESG to Local Realities One of the most important things for businesses in developing countries is to apply ESG in a way that fits their local context. What works in a big European company might not make sense for a small Indonesian farm or a Nigerian tech startup, and that’s okay. Start small. Business can focus on areas where you can make real change. If water is a local issue, find ways to use or recycle water wisely. If unemployment is high, invest in training young workers. Tailoring your ESG strategy to local needs shows your business is both practical and purpose-driven. You don’t have to do this alone. There are many NGOs, consultants, and government programs ready to support small businesses in building ESG capacity. Platforms likesatuplatform can also connect you with tools, partners, and advice to make your journey easier! The key is to take the first step, stay consistent, and always keep improving. ESG is not a one-time project—it’s a long-term mindset. Final Thoughts: ESG as a Pathway to a Better Future For businesses in developing countries, ESG is more than just a buzzword. It’s a powerful framework to grow responsibly, attract opportunities, and create long-term value for both business and society. Whether you’re running a small local enterprise or aiming for international expansion, applying ESG strategies will help you stand out and stay strong in the face of global challenges. Remember, you don’t have to do everything at once. Start with what you can, learn along the way, and stay committed. Sustainable growth is possible—and with ESG, it’s within your reach. Need help designing your ESG strategy? Visit Satuplatform to connect with experts and tools tailored to your business and local context. Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan …

3

Matcha’s Hype and Its Environmental Cost

Environmental – Matcha has rapidly emerged as a global phenomenon, making its way from traditional tea ceremonies in Japan to premium cafés and wellness brands around the world. Its presence extends beyond beverages, appearing in a wide range of consumer products including desserts, skincare, and health supplements.  Read other article : Unveiling the Environmental Impact of Children’s Toys Industry However, like many fast-growing global trends, the matcha industry carries environmental implications that are often overlooked. As demand continues to rise, it is crucial for businesses and consumers alike to examine the sustainability challenges associated with matcha production, and to consider actionable steps toward more responsible sourcing and consumption. What Is Matcha and Why Is It So Popular? Matcha is a finely ground powder made from specially grown green tea leaves. Unlike regular green tea, which you steep and then discard the leaves, with matcha people consume the entire leaf, which means more nutrients and a stronger flavor. Health-wise, matcha is celebrated for being rich in antioxidants, especially a compound called EGCG, which may help with inflammation, metabolism, and heart health. It also contains caffeine, but because of the presence of L-theanine (an amino acid), the energy boost is calmer and more sustained compared to coffee. For businesses, matcha has become a golden ingredient. Its striking color looks great on social media. Its association with wellness appeals to health-conscious consumers. As demand continues to grow, matcha is becoming a must-have menu item in cafés and restaurants around the world. Read other article : The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry The Environmental Footprint of Matcha Farming Despite its traditional roots and artisanal image, the production of matcha comes with notable environmental challenges. The farming process demands substantial resources, including significant water usage, skilled labor, and, in many cases, synthetic fertilizers to meet increasing global demand. While tea plants can be cultivated sustainably, the push for mass production has led to practices that risk degrading soil health and over-relying on chemical inputs. Additionally, in key producing countries such as Japan and China, the expansion of tea plantations sometimes involves clearing natural landscapes, resulting in habitat loss and a decline in local biodiversity. Beyond production, the environmental impact of matcha is further compounded by its global distribution. As most matcha is cultivated in Asia, transporting it to major consumer markets in Europe, North America, and beyond contributes to a growing carbon footprint through air and maritime shipping. These cumulative effects reveal a more complex reality, although matcha appears small and sustainable on the surface, its environmental footprint tells a much heavier story. Business Growth Comes with a Responsibility The global matcha market is experiencing rapid growth, with cafés, food and beverage companies, cosmetics brands, and even pharmaceutical firms tapping into its rising popularity. As demand increases across sectors, businesses must take a closer look at how their sourcing and production practices align with ethical and sustainable standards. Capitalizing on a trend is one thing; ensuring long-term responsibility and integrity is another. To maintain credibility and meet the expectations of today’s conscientious consumers, companies must move beyond superficial marketing claims. Labels such as “natural” or “organic” are no longer sufficient. Businesses that aim to build a sustainable and reputable brand must invest in traceability, fair trade practices, and partnerships that prioritize both environmental stewardship and social responsibility throughout the supply chain. Toward a Greener Cup: What Can Be Done? Both businesses and consumers have meaningful roles to play in minimizing the environmental impact of matcha. For companies, this begins with responsible sourcing, partnering with certified organic or fair-trade farms that prioritize sustainable agricultural practices. Transparency is also essential; sharing the story behind the product, from cultivation to processing, helps build consumer trust. Reducing packaging waste through the use of minimal, recyclable materials is another practical step, especially for retail and e-commerce. Additionally, businesses can further mitigate their environmental footprint by investing in verified carbon offset programs to address emissions from production and global distribution. On the consumer side, mindful purchasing habits can make a significant difference. Opting for high-quality matcha from ethical producers rather than low-cost, mass-produced alternatives supports more sustainable supply chains. Supporting local cafés that prioritize responsible sourcing is another way to encourage better practices. Consumers should also approach matcha-related trends with a critical eye, not every new product infused with matcha is necessary or beneficial. By questioning overconsumption and prioritizing quality over novelty, individuals can help reduce unnecessary demand and the waste that often accompanies it. Rethinking Trendy Ingredients in a Climate-Conscious World Matcha isn’t the only trendy ingredient with a hidden environmental cost. The same applies to items like avocados, quinoa, or almond milk. Just because something is “plant-based” or “superfood” doesn’t automatically make it sustainable. Businesses and marketers often ride the wave of health and wellness trends without fully considering the consequences. That’s why it’s important to build environmental responsibility into business models, not as an afterthought, but as a foundation. Matcha can be part of a sustainable lifestyle, but only if approached mindfully. Businesses have a responsibility to source and market it ethically, while consumers have the power to support those who do it right. Looking for guidance on building an environmentally responsible business? Visit satuplatform, your partner in sustainability-driven growth. Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya terhadap jejak karbon global sangat besar.  Scientific American menyebutkan bahwa militer global bertanggung jawab atas sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Jika dianggap sebagai entitas negara, angka tersebut menempati posisi keempat terbesar di dunia Baca Juga: Menekan Dampak Jejak Karbon: Panduan bagi Perusahaan di Indonesia Sumber Emisi Langsung dan Tidak Langsung dalam Konflik Bersenjata Konflik bersenjata menghasilkan emisi karbon melalui berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung:… Why Product Lifespan Is the Next Frontier for Sustainable Business Embracing product longevity …