Benarkah Polusi Udara Berdampak terhadap Tingkat Depresi?

Masyarakat umumnya tahu bahwa polusi udara dapat berdampak buruk terhadap kesehatan tubuh. Lebih dari itu, tanpa kita sadari pencemaran udara juga punya andil mempengaruhimemengaruhi kesehatan mental kita.

Polusi udara seringkali dikaitkan dengan penyakit pernapasan juga kardiovaskular. Namun, berbagai penelitian menunjukkan bahwa menghirup udara yang tercemar polutan berbahaya juga dapat meningkatkan potensi gangguan kecemasan dan depresi pada masyarakat.

Polusi Udara Mempengaruhi Usia Harapan Hidup

2

Pencemaran udara menjadi satu dari sekian banyak isu lingkungan yang patut dibahas sebab kondisinya bisa dibilang sangat mengancam kelestarian lingkungan dan kesehatan masyarakat di Indonesia.

Baca juga artikel lainnya : Solusi Digital untuk Bisnis Berkelanjutan: Transformasi Layanan yang Meningkatkan Efisiensi

Berdasarkan laporan Kualitas Udara Dunia IQAir tahun 2022, Indonesia menjadi negara di urutan ke-17 yang memiliki tingkat polusi udara tertinggi di dunia. Tercatat konsentrasi PM2,5 sering mencapai 34,3 μg per meter kubik. Angka ini juga turut menjadikan Indonesia negara dengan tingkat polusi tertinggi di Asia Tenggara.

Dengan kondisi kualitas udara yang buruk, masyarakat Indonesia dihadapkan pada ancaman kesehatan yang memengaruhi kualitas hidup. Penduduk Indonesia disebut-sebut terancam kehilangan 2,5 tahun dari usia harapan hidup mereka karena menghirup udara yang tidak sehat, menurut Air Quality Life Index (AQLI).

Polusi Udara Mengancam Kesehatan Mental

Tidak hanya berdampak pada kesehatan tubuh, menghirup udara yang tercemar polutan juga dapat membahayakan kesehatan mental. Dimulai sejak masa kanak-kanak.

Dilansir dari IQAir, beberapa penelitian semakin banyak menunjukkan adanya keterkaitan antara dampak udara kotor terhadap meningkatnya risiko gangguan mental seperti depresi dan skizofrenia.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan ada lebih dari 90 persen anak-anak di seluruh dunia yang berada dalam kondisi memprihatinkan akibat terpapar zat berbahaya dari menghirup udara tercemar.

Sebuah studi tahun 2019 yang terbit di laman Environmental Health Perspectives, mempelajari paparan jangka pendek PM2,5 terhadap 6.800 anak-anak sampai remaja usia 18 tahun yang dikirim ke UGD di Cincinnati Children’s Hospital Medical Center, di Cincinnati, Ohio, karena gejala seperti keadaan darurat psikiatris. 

Studi tersebut mendapati bahwa peningkatan kecil dan jangka pendek pada PM2,5 sebesar 10 µg/m3 dapat menyebabkan peningkatan signifikan jumlah anak yang dibawa ke rumah sakit karena mengalami stress berat, kesedihan, atau kecemasan. 

Partikulat halus PM2,5 yang merupakan polusi berukuran sangat kecil dan sulit diamati oleh mata telanjang, disebut menjadi salah satu polutan yang dapat sangat berbahaya jika masuk dan menumpuk di dalam tubuh. 

Stres Oksidatif Akibat Polusi Udara

Kemudian, pembahasan tentang masalah ini juga turut diteliti dan telah dipublikasikan dalam Jurnal Ilmu Lingkungan terbitan peneliti Universitas Diponegoro berjudul “Pengaruh Paparan Pencemar Udara Terhadap Stres Oksidatif: Sistematik Review”.

Stres oksidatif merupakan kondisi terjadinya ketidakseimbangan antara jumlah molekul radikal bebas dan antioksidan yang dapat berdampak pada kerusakan lipid, protein, dan DNA. 

Akibat dari kondisi ini adalah berkurangnya kemampuan tubuh dalam melawan radikal bebas dan dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit.

Menurut jurnal di atas, ada banyak jenis pencemar udara yang berperan dalam meningkatkan stres oksidatif. Paparan polutan udara terhadap tubuh ditandai dengan adanya peningkatan produksi spesies oksigen reaktif, penurunan antioksidan, dan 8-OHDG yang merupakan penanda kerusakan basa DNA oksidatif yang mendeteksi dini penyakit dan penuaan dini.

Dengan hadirnya beragam penelitianpenelitan yang dilakukan, pencemaran udara perlu ditangani segera untuk dapat mendukung terciptanya lingkungan yang aman dan sehat bagi manusia. 

Similar Article