energi terbarukan

Energi Terbarukan di Indonesia: Mengapa Surya dan Hidro Menjadi Pilihan Utama?

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan energinya. Di tengah komitmen untuk mencapai net zero emission pada 2060, transisi ke energi terbarukan menjadi kunci penting. Di antara berbagai sumber energi terbarukan yang tersedia, energi surya (solar) dan energi air (hidro) kini menjadi pilihan utama pemerintah dan sektor swasta. Mengapa kedua sumber ini yang paling diprioritaskan? Baca Juga: Energi Terbarukan untuk Atasi Krisis Bahan Bakar Fosil Potensi Energi Terbarukan Surya di Indonesia Indonesia, yang terletak di garis khatulistiwa, memiliki potensi energi surya yang luar biasa. Menurut data Kementerian ESDM (2024), potensi teknis energi surya nasional mencapai 207,8 GW dengan rata-rata intensitas sinar matahari sekitar 4,8 kWh/m²/hari. Ini menjadikan Indonesia salah satu negara dengan potensi energi surya terbesar di dunia. Pengembangan energi surya juga semakin strategis berkat: Teknologi yang makin murah: Biaya panel surya menurun hingga 80% dalam satu dekade terakhir. Fleksibilitas instalasi: Panel surya bisa dipasang di atap rumah, gedung, lahan bekas tambang, hingga area terbuka di desa terpencil. Proyek besar yang sedang berjalan: Seperti proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung Cirata, yang akan menjadi PLTS terapung terbesar di Asia Tenggara. Energi Terbarukan Hidro: Pemanfaatan Sungai dan Bendungan Di sisi lain, Indonesia memiliki lebih dari 5.590 sungai yang mengalir sepanjang tahun, menciptakan potensi besar untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Potensi hidro nasional diperkirakan mencapai 94,5 GW. Beberapa keunggulan energi hidro: Stabilitas produksi: Berbeda dengan energi surya atau angin yang bergantung pada cuaca, PLTA bisa menghasilkan energi secara kontinu. Pendukung sistem interkoneksi: PLTA besar seperti Cirata dan Saguling menjadi tulang punggung sistem kelistrikan di Jawa-Bali. Peluang pengembangan PLTMH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro): Sangat cocok untuk daerah terpencil yang tidak terjangkau jaringan listrik nasional. Mengapa Energi Terbarukan Surya dan Hidro jadi Pilihan Utama? Ada beberapa alasan utama mengapa solar dan hidro menjadi pilihan utama dalam transisi energi Indonesia: Potensi Alam yang Besar: Indonesia diberkahi dengan sinar matahari sepanjang tahun dan jaringan sungai luas yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Biaya Investasi yang Semakin Kompetitif: Terutama untuk proyek skala menengah dan besar, biaya produksi listrik dari surya dan hidro kini bersaing dengan bahan bakar fosil. Dukungan Regulasi dan Program Pemerintah: Seperti Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Daya Tarik bagi Investor Asing: Banyak lembaga keuangan dan negara mitra yang kini lebih tertarik membiayai proyek energi terbarukan yang berbasis surya dan hidro. Dampak Sosial-Environmental Lebih Rendah: Dibandingkan dengan bioenergi atau energi panas bumi yang membutuhkan pembukaan lahan baru atau eksplorasi dalam. Meski menjanjikan, pengembangan energi surya dan hidro juga menghadapi sejumlah tantangan, seperti: Keterbatasan infrastruktur transmisi di daerah terpencil. Resistansi sosial terhadap proyek PLTA besar yang berpotensi mengubah ekosistem lokal. Kebutuhan pendanaan besar untuk proyek utility-scale. Teknologi penyimpanan energi (battery storage) masih mahal untuk mendukung intermitensi energi surya. Energi surya dan hidro menawarkan solusi nyata bagi Indonesia untuk mempercepat transisi energi bersih. Dengan memanfaatkan kekayaan alam yang tersedia dan mengatasi tantangan implementasi, Indonesia berpeluang besar untuk tidak hanya memenuhi target emisi nol bersih, tetapi juga memastikan akses energi yang adil, terjangkau, dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat. Masa depan energi Indonesia ada di tangan kita dan matahari serta air siap membantu kita mencapainya. Tentang Satuplatform Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG management, carbon accounting, dan sustainability reporting. Kami dapat membantu Anda mencapai tujuan keberlanjutan dengan menjadi yang terdepan sesuai regulasi yang berlaku.  Dengan fitur-fitur Satuplatform, Anda dapat: Mengumpulkan dan menganalisis data ESG secara akurat dan efisien Menghitung & mengelola  emisi karbon dan menetapkan target pengurangan emisi Menyusun laporan ESG yang memenuhi standar internasional dan nasional Satuplatform juga didukung oleh tim ahli yang berpengalaman di bidang keberlanjutan bisnis. Tim ahli kami akan membantu memahami kebutuhan Anda dan mengimplementasikan solusi yang tepat. Hubungi Satuplatform dan dapatkan FREE DEMO sekarang!  Wujudkan bisnis yang berkelanjutan, berdaya saing, dan bertanggung jawab bersama Satuplatform.  Similar Article Energi Terbarukan di Indonesia: Mengapa Surya dan Hidro Menjadi Pilihan Utama? Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan energinya. Di tengah komitmen untuk mencapai net zero emission pada 2060, transisi ke energi terbarukan menjadi kunci penting. Di antara berbagai sumber energi terbarukan yang tersedia, energi surya (solar) dan energi air (hidro) kini menjadi pilihan utama pemerintah dan sektor swasta. Mengapa kedua sumber ini yang paling diprioritaskan? Baca Juga: Energi Terbarukan untuk Atasi Krisis Bahan Bakar Fosil Potensi Energi Terbarukan Surya di Indonesia Indonesia, yang terletak di garis khatulistiwa, memiliki potensi energi surya yang luar biasa. Menurut data Kementerian ESDM (2024), potensi teknis energi surya nasional… Emisi Karbon Penerbangan Meningkat: Tantangan Baru bagi Industri Aviasi Emisi Karbon Sektor Penerbangan Setelah mengalami penurunan drastis selama pandemi COVID-19, industri penerbangan global kini menunjukkan pemulihan yang signifikan. Namun, kebangkitan ini disertai dengan lonjakan emisi karbon penerbangan yang mengkhawatirkan, menimbulkan tantangan baru dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. Data terbaru menunjukkan bahwa pada tahun 2024, aktivitas penerbangan di 78 negara menghasilkan emisi CO₂ lebih tinggi dibandingkan kondisi pada 2019. Secara global, emisi karbon dioksida dari sektor penerbangan mencapai 915 juta ton pada 2019, dan angka ini diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2050 jika tidak ada intervensi signifikan. Di Indonesia, sektor transportasi menyumbang sekitar 27% dari total… Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want to be left-behind. From biodegradable packaging to cruelty-free testing and vegan formulas, brands are racing …

emisi karbon penerbangan

Emisi Karbon Penerbangan Meningkat: Tantangan Baru bagi Industri Aviasi

Emisi Karbon Sektor Penerbangan Setelah mengalami penurunan drastis selama pandemi COVID-19, industri penerbangan global kini menunjukkan pemulihan yang signifikan. Namun, kebangkitan ini disertai dengan lonjakan emisi karbon penerbangan yang mengkhawatirkan, menimbulkan tantangan baru dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. Data terbaru menunjukkan bahwa pada tahun 2024, aktivitas penerbangan di 78 negara menghasilkan emisi CO₂ lebih tinggi dibandingkan kondisi pada 2019. Secara global, emisi karbon dioksida dari sektor penerbangan mencapai 915 juta ton pada 2019, dan angka ini diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2050 jika tidak ada intervensi signifikan. Di Indonesia, sektor transportasi menyumbang sekitar 27% dari total emisi karbon, dengan transportasi udara berkontribusi sebesar 5,21%. Peningkatan ini sebagian besar disebabkan oleh lonjakan permintaan perjalanan udara pasca-pandemi dan pertumbuhan pesat e-commerce yang meningkatkan volume penerbangan kargo. Baca Juga: Sustainable Aviation Fuel untuk Penerbangan Ramah Lingkungan Faktor Pendorong Peningkatan Emisi Karbon Penerbangan Pemulihan Permintaan Penumpang Menurut Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA), permintaan penumpang udara global pada tahun 2024 meningkat sebesar 10,4% dibandingkan tahun sebelumnya, melampaui tingkat sebelum pandemi. Lonjakan ini terutama didorong oleh pasar internasional yang mengalami peningkatan lalu lintas sebesar 13,6%.​ Pertumbuhan E-Commerce dan Penerbangan Kargo Booming belanja daring telah menyebabkan emisi di sektor penerbangan kargo global pada 2023 melonjak 25% dibandingkan 2019, mencapai 93,8 juta ton CO₂. Peningkatan ini dikaitkan dengan pergeseran perilaku konsumen yang menginginkan pengiriman cepat, mendorong operator angkutan udara melakukan lebih banyak penerbangan.​ Upaya dan Tantangan Menuju Penerbangan Berkelanjutan Industri penerbangan menghadapi tekanan untuk mengurangi emisi karbon dan mencapai target net-zero pada 2050. Beberapa langkah yang sedang diupayakan meliputi:​ Penggunaan Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (SAF): Maskapai seperti KLM dan United Airlines mulai meningkatkan penggunaan SAF dalam penerbangan komersial mereka. ​ Pengembangan Teknologi Pesawat Ramah Lingkungan: Airbus dan Boeing terus mengembangkan pesawat berbasis bahan bakar berkelanjutan dengan efisiensi tinggi. Inisiatif Global: Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) mendorong upaya global untuk mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim yang disebabkan oleh penerbangan. Namun, tantangan utama tetap pada ketersediaan dan biaya SAF yang masih tinggi, serta kebutuhan investasi besar dalam infrastruktur dan teknologi baru.​ Peningkatan emisi karbon dari sektor penerbangan pasca-pandemi menyoroti perlunya tindakan segera untuk mengatasi dampak lingkungan yang ditimbulkan. Kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat diperlukan untuk mendorong inovasi, investasi, dan kebijakan yang mendukung penerbangan berkelanjutan. Tentang Satuplatform Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG management, carbon accounting, dan sustainability reporting. Kami dapat membantu Anda mencapai tujuan keberlanjutan dengan menjadi yang terdepan sesuai regulasi yang berlaku.  Dengan fitur-fitur Satuplatform, Anda dapat: Mengumpulkan dan menganalisis data ESG secara akurat dan efisien Menghitung & mengelola  emisi karbon dan menetapkan target pengurangan emisi Menyusun laporan ESG yang memenuhi standar internasional dan nasional Satuplatform juga didukung oleh tim ahli yang berpengalaman di bidang keberlanjutan bisnis. Tim ahli kami akan membantu memahami kebutuhan Anda dan mengimplementasikan solusi yang tepat. Hubungi Satuplatform dan dapatkan FREE DEMO sekarang!  Wujudkan bisnis yang berkelanjutan, berdaya saing, dan bertanggung jawab bersama Satuplatform.  Similar Article Emisi Karbon Penerbangan Meningkat: Tantangan Baru bagi Industri Aviasi Emisi Karbon Sektor Penerbangan Setelah mengalami penurunan drastis selama pandemi COVID-19, industri penerbangan global kini menunjukkan pemulihan yang signifikan. Namun, kebangkitan ini disertai dengan lonjakan emisi karbon penerbangan yang mengkhawatirkan, menimbulkan tantangan baru dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. Data terbaru menunjukkan bahwa pada tahun 2024, aktivitas penerbangan di 78 negara menghasilkan emisi CO₂ lebih tinggi dibandingkan kondisi pada 2019. Secara global, emisi karbon dioksida dari sektor penerbangan mencapai 915 juta ton pada 2019, dan angka ini diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2050 jika tidak ada intervensi signifikan. Di Indonesia, sektor transportasi menyumbang sekitar 27% dari total… Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want to be left-behind. From biodegradable packaging to cruelty-free testing and vegan formulas, brands are racing to meet the growing consumer demand for environmentally responsible products. However, beneath the glossy labels and eco-marketing lies a lesser-known contradiction, that some beauty materials like synthetic silicones are presenting as a new environmental challenge. This article will explore the environmental cost of silicones in the beauty industry. Read other articles : Business Adaptation Amid Environmental Challenges Why Silicones in Beauty Products? Silicones are a group of… Unveiling the Environmental Footprint of Vaping Culture Over the past decade, vaping has been marketed as a cleaner alternative to traditional smoking. The trend of e-cigarettes and vape pens have gained favor among younger generations, tech-savvy consumers, and even smokers seeking harm reduction. However, beneath the cloud of flavored vapor lies a less publicized reality. It is about a growing environmental footprint that poses critical challenges to sustainability, waste management, and corporate responsibility. Read other articles : The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry As with any fast-moving consumer product, the business of vaping brings with it not only profits but also a complex trail of… Earth Day: Act to Love the Earth Way More Better The world commemorates Earth Day every year on April 22nd, as a global reminder to reflect on how we treat our planet and what action we could take to contribute to a better environment.  Baca juga artikel lainnya : Optimasi Potensi Sumber Energi Biomassa dengan Carbon & ESG Management Satuplatform Our planet is currently grappling with numerous environmental challenges, from ecosystem degradation and air pollution to waste management issues and climate change. These are urgent problems that demand our immediate …

8

Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi

Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah karbon dan praktik bisnis yang lebih ramah lingkungan. Dalam artikel ini akan dibahas apa saja bentuk adaptasi yang harus dipersiapkan oleh bisnis di era krisis energi saat ini. Krisis Energi dan Operasi Bisnis  Krisis energi yang saat ini terjadi telah menciptakan ketidakpastian baru dalam dunia usaha. Lonjakan harga listrik dan bahan bakar membuat biaya operasional meningkat drastis, khususnya bagi industri yang sangat tergantung pada energi, seperti manufaktur, logistik, dan pertambangan.  Tidak hanya itu, gangguan pasokan energi juga memberikan hambatan pada proses produksi dan rantai pasok, yang pada akhirnya berdampak pada performa bisnis secara keseluruhan. Sebagai respon dalam menghadapi kondisi ini, banyak perusahaan mulai melakukan audit energi dan evaluasi ulang terhadap efisiensi proses internal. Hal ini menjadi langkah awal yang penting dalam memahami titik-titik konsumsi energi terbesar serta potensi penghematan yang dapat dicapai.  Efisiensi Energi pada Bisnis Menyadari bahwa krisis energi adalah ancaman besar bagi operasional perusahaan, strategi efisiensi dapat menjadi pilihan paling realistis untuk diimplementasikan oleh bisnis. Melakukan efisiensi energi dapat dimulai dari mengganti peralatan listrik dengan teknologi hemat energi, menerapkan sistem manajemen energi, hingga mengedukasi karyawan tentang penghematan energi dalam aktivitas sehari-hari. Dalam efisiensi energi, bisnis dan perusahaan juga dapat memanfaatkan alat digital dan teknologi Internet of Things (IoT). perangkat digital tersebut akan sangat membantu perusahaan dalam memantau konsumsi energi secara real-time. Dengan sistem pemantauan ini, perusahaan bisa mendeteksi kebocoran energi, mengatur beban listrik pada jam sibuk, serta membuat keputusan berbasis data untuk efisiensi optimal.  Selain mengurangi ketergantungan terhadap energi konvensional, langkah ini juga membantu menurunkan emisi karbon dan menunjukkan komitmen terhadap praktik berkelanjutan di tengah krisis energi global. Investasi dan Diversifikasi pada Sumber Terbarukan Selanjutnya, untuk membangun resiliensi di masa krisis energi, perusahaan perlu melangkah lebih jauh dengan berinvestasi pada sumber energi terbarukan. Beberapa sumber energi yang dapat perusahaan pilih adalah seperti panel surya, energi angin, biomassa, hingga pembangkit tenaga mikrohidro. Sumber-sumber energi tersebut dapat menjadi alternatif yang semakin menarik untuk dikembangkan, baik secara mandiri maupun melalui kerja sama dengan penyedia energi hijau. Adanya strategi diversifikasi energi tidak hanya mengurangi risiko tergantung pada pasokan energi fosil, tetapi juga memberikan kepastian biaya jangka panjang karena energi terbarukan umumnya memiliki biaya operasional yang lebih stabil. Dalam jangka panjang, investasi ini juga dapat menjadi keunggulan kompetitif, terutama ketika pemerintah mulai memberlakukan insentif dan regulasi yang mendukung transisi energi bersih sebagai respons terhadap krisis energi. Indonesia sendiri memiliki target bauran energi yaitu energi terbarukan (EBT) 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050, sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014.  Model Bisnis Berkelanjutan untuk Ketahanan Energi Bentuk adaptasi bisnis yang pada akhirnya perlu diterapkan adalah dengan bertransformasi ke model bisnis berkelanjutan. Bisnis berkelanjutan berarti bahwa perusahaan melakukan operasional bisnis yang berusaha menyeimbangkan benefit ekonomi, sosial, dan lingkungan secara bertanggungjawab dalam jangka waktu yang panjang dan berkelanjutan. Bisnis berkelanjutan di era krisis energi bukan  bukan hanya pilihan etis, tetapi juga strategi adaptif yang memberikan nilai tambahan (value added) pada upaya membentuk lingkungan hijau. Dalam bertransformasi kepada model bisnis berkelanjutan, perusahaan perlu untuk mulai menyusun ulang rantai pasok dengan mempertimbangkan jejak karbon dan konsumsi energi setiap mitra kerja. Transparansi, sertifikasi lingkungan, dan pelaporan ESG (Environmental, Social, and Governance) yang merupakan bagian penting dari ekosistem bisnis modern. Kolaborasi Multi-Pihak yang Berkelanjutan Pada akhirnya, menghadapi krisis energi bukanlah tanggung jawab satu pihak saja. Kolaborasi antara sektor swasta, pemerintah, dan masyarakat sipil sangat dibutuhkan untuk menciptakan sistem energi yang adil dan berkelanjutan. Pemerintah memiliki peran kunci dalam menciptakan kebijakan insentif, menurunkan hambatan regulasi bagi energi terbarukan, serta menyediakan infrastruktur yang mendukung transformasi energi. Di sisi lain, perusahaan dapat memperkuat posisi mereka dengan bergabung forum kolaboratif energi, atau bahkan mendanai riset dan pengembangan teknologi energi bersih. Perusahaan juga dapat berkonsultasi dengan platform digital yang memberikan solusi lingkungan. Dalam hal ini Satuplatform hadir sebagai all-in-one solution yang membantu bisnis merancang strategi dan pengelolaan ESG yang terukur dan berbasis data. Coba FREE DEMO nya, sekarang! Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want to be left-behind. From biodegradable packaging to cruelty-free testing and vegan formulas, brands are racing to meet the growing consumer demand for environmentally responsible products.  However, beneath the glossy labels and eco-marketing lies a lesser-known contradiction, that some beauty materials like synthetic silicones are presenting as a new environmental challenge. This article will explore the environmental cost of silicones in the beauty industry. Read other articles : Business Adaptation Amid Environmental Challenges Why Silicones in Beauty Products? Silicones are a group of… Unveiling the Environmental Footprint of Vaping Culture Over the past decade, vaping has been marketed as a cleaner alternative to traditional smoking. The trend of e-cigarettes and vape pens have gained favor among younger generations, tech-savvy consumers, and even smokers seeking harm reduction. However, beneath the …

silicones

The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry

In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want to be left-behind. From biodegradable packaging to cruelty-free testing and vegan formulas, brands are racing to meet the growing consumer demand for environmentally responsible products. However, beneath the glossy labels and eco-marketing lies a lesser-known contradiction, that some beauty materials like synthetic silicones are presenting as a new environmental challenge. This article will explore the environmental cost of silicones in the beauty industry. Read other articles : Business Adaptation Amid Environmental Challenges Why Silicones in Beauty Products? Silicones are a group of synthetic polymers derived from a naturally abundant element found in sand and quartz. Through a complex industrial process, silicon is converted into various forms of silicones such as dimethicone, cyclopentasiloxane, and cyclohexasiloxane. This material is commonly found in moisturizers, primers, foundations, shampoos, and conditioners. Some beauty products use silicones because they provide a smooth, silky texture that enhances product feel. Besides, silicones also offer long-lasting wear for makeup products and reduce frizz in hair care.  For cosmetic chemists and marketers alike, silicones are nearly magical ingredients. But their environmental story is far more complicated. Fossil Fuel Dependency of Silicones Despite being lauded for their performance benefits in beauty products, silicones are problematic from a life-cycle sustainability perspective.  Most commercial silicones are synthesized from petrochemical derivatives, requiring large amounts of energy and fossil fuels in the production process. This contributes to carbon emissions and resource depletion which have now become two central issues in climate change. This reliance on fossil fuels extends beyond raw material extraction to the energy-intensive processes required to convert silica into usable silicone compounds. High-temperature reactions and the use of hydrocarbons like methane or ethylene demand substantial energy input, most of which is still derived from non-renewable sources.  As a result, the silicone supply chain remains tightly linked to the oil and gas industry, making it vulnerable to fluctuations in fossil fuel markets and undermining efforts to decarbonize the beauty sector. This deep-rooted dependency raises critical questions about the long-term sustainability of silicones, especially as industries worldwide face mounting pressure to transition toward low-carbon, renewable alternatives. Environmental Persistence Silicones are non-biodegradable. Once washed down the drain via shampoos or cleansers, they enter water systems where they accumulate in sediments, which potentially impacting aquatic ecosystems. Some volatile silicones (like D4 and D5) are known to bioaccumulate in wildlife and persist in the atmosphere, contributing to long-term pollution. In fact, the European Chemicals Agency (ECHA) has labeled certain cyclic silicones (especially D4 and D5) as substances of very high concern (SVHC) due to their persistence, bioaccumulation, and toxicity (PBT) characteristics. If the industry continued reliance on silicones in beauty products not only intensifies their environmental footprint but also risks regulatory repercussions as global authorities tighten restrictions on persistent pollutants.  With mounting scientific evidence and regulatory bodies like the ECHA raising alarms, the beauty industry may soon face stricter compliance demands, including potential bans or limitations on certain silicone compounds. This creates both environmental and economic risks, as companies that fail to adapt could encounter supply chain disruptions, product reformulation costs, or reputational damage.  Proactively reducing or replacing problematic silicones with safer, biodegradable alternatives is not just an environmental imperative, but it’s a strategic move for long-term resilience and regulatory alignment. Limited Waste Management Options Because silicones are synthetic polymers, they cannot be composted and are difficult to recycle. Unlike natural oils or plant-based waxes, they do not break down easily, posing a challenge for municipal wastewater treatment facilities. As a result, most silicone waste ends up in landfills or is discharged into the environment through wastewater systems, where it can persist for years without degrading. The lack of a dedicated recycling infrastructure for silicones further compounds the issue, as existing plastic recycling facilities are typically not equipped to process these materials.  Without viable end-of-life solutions, the continued use of silicones undermines broader sustainability goals within the beauty industry and highlights the urgent need for investment in alternative materials and waste management innovations. Toward a Greener Beauty Future Given the significant environmental costs associated with silicone use, the beauty industry must urgently prioritize environmental strategies backed by concrete actions. Addressing this issue requires scientific innovation to develop safer and more sustainable alternatives, and corporate responsibility to implement these solutions across product lines. These are some pathways to take by business: Beauty industry should start to invest in R&D that prioritizes biodegradable, renewable, and safe ingredients. Collaborating with sustainable suppliers and academic institutions can accelerate this transition. Beauty brands must consider the entire product lifecycle, from raw material extraction and manufacturing to packaging and post-consumer waste. This holistic view aligns with ESG goals and resonates with sustainability-minded stakeholders. Many consumers are still unaware of the silicone issue. Brands have a responsibility to raise awareness through honest communication, without fear mongering but with clarity and integrity. By this way, businesses can also promote green-beauty and stand-out among other beauty brands. As the beauty industry reimagines itself through a sustainability lens, it is not just about eliminating a single ingredient, it’s about redefining beauty to include responsibility, regeneration, and respect for the planet. By investing in cleaner formulations, embracing innovation, and prioritizing transparency, beauty brands can prove that real beauty does not come at the Earth’s expense. For beauty brands and companies who aim to integrate the ESG initiative, it has now become easier with the presence of Satuplatform.com that provides all-in-one solutions for businesses’ initiatives for a better environment. Try the FREE DEMO from Satuplatform, now! Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, …

5

Unveiling the Environmental Footprint of Vaping Culture

Over the past decade, vaping has been marketed as a cleaner alternative to traditional smoking. The trend of e-cigarettes and vape pens have gained favor among younger generations, tech-savvy consumers, and even smokers seeking harm reduction. However, beneath the cloud of flavored vapor lies a less publicized reality. It is about a growing environmental footprint that poses critical challenges to sustainability, waste management, and corporate responsibility. Read other articles : The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry As with any fast-moving consumer product, the business of vaping brings with it not only profits but also a complex trail of ecological consequences. From the manufacturing of lithium-ion batteries to the disposal of single-use cartridges and devices, the environmental cost of vaping remains largely under examination.  This article aims to explore how the vaping industry can pivot toward more sustainable practices. Environmental Threat of Disposables Vapes First of all, we should be aware that disposable vapes are among the most troubling environmental offenders. These single-use devices, often brightly colored and designed for convenience, are flooding landfills and streets. They contain valuable yet hazardous components, such as lithium batteries, circuit boards, plastic casings, and residual nicotine, a toxic substance. For instance, in the UK alone, it is estimated that over 5 million disposable vapes are thrown away each week, equivalent to more than 10 tonnes of lithium annually, this is enough to power 1,200 electric vehicle batteries. The environmental irony is stark, while one sector of the economy pushes for electrification and battery reuse, another discards them daily in toxic micro-packages. Improper disposal of these items creates risks of battery fires, chemical leaching, and long-term ecological damage. These consequences call for urgent attention from producers, consumers, and regulators alike. Supply Chains and Resource Extraction At the core of many vape devices is a lithium-ion battery, similar to those used in smartphones. It is important to know that mining for lithium, cobalt, and other rare earth elements involves significant environmental degradation, including deforestation, water depletion, and toxic runoff.  Most of these materials are sourced from countries with loose environmental regulations and complex human rights issues, especially in the Democratic Republic of Congo and regions of South America. For an industry promoting itself as a cleaner alternative, the reliance on unsustainable supply chains raises ethical and ecological red flags.  This puts pressure on vaping companies to examine and disclose their sourcing practices and consider investing in more responsible procurement strategies. Packaging Waste and Plastic Pollution Plastic is a big enemy for the environment. Vape products also contribute substantially to plastic pollution. Cartridges and pods are typically made from hard plastics and aluminum that are neither easily recyclable or biodegradable. Flavored e-liquids come in small bottles, often discarded irresponsibly. Marketing strategies exacerbate the issue. In an attempt to differentiate products, many brands rely on vibrant, colorful packaging, and much of it is unrecyclable. The proliferation of youth-targeted flavors like cotton candy or mango ice may drive sales, but it also results in an increasing volume of waste ending up in the environment. Toward a Sustainable Vaping Industry Although the outlook may appear grim, the vaping sector has significant potential to reinvent itself through sustainability-driven innovation. Companies and business can take these pathways: Integrate ESG Initiative The vaping industry, while rapidly growing as an alternative to traditional tobacco products, faces increasing scrutiny over its environmental and social impacts. This is where ESG (Environmental, Social, and Governance) integration becomes essential. ESG provides a strategic framework for companies to address these broader concerns by embedding sustainability, ethical practices, and transparent governance into their core operations. For vaping manufacturers, this means going beyond product design and nicotine delivery to prioritize eco-friendly materials, responsible supply chains, and community health initiatives, as well as ultimately driving long-term resilience and stakeholder trust. For companies and industries who aim to integrate the ESG initiative, it has now become easier with the presence of Satuplatform.com that provides all-in-one solutions for businesses’ initiatives for a better environment. Try the FREE DEMO, now! Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want to be left-behind. From biodegradable packaging to cruelty-free testing and vegan formulas, brands are racing to meet the growing consumer demand for environmentally responsible products.  However, beneath the glossy labels and eco-marketing lies a lesser-known contradiction, that some beauty materials like synthetic silicones are presenting as a new environmental challenge. This article will explore the environmental cost of silicones in the beauty industry. Read other articles : Business Adaptation Amid Environmental Challenges Why Silicones in Beauty Products? Silicones are a group of… Unveiling the Environmental Footprint of Vaping Culture Over the past decade, vaping has been marketed as a cleaner alternative to traditional smoking. The trend of e-cigarettes and vape pens have gained favor among younger generations, tech-savvy consumers, and even smokers seeking harm reduction. However, beneath the cloud of flavored vapor lies a less publicized reality. It is about a growing environmental footprint that poses critical challenges to sustainability, waste management, and corporate responsibility. Read other articles : The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry As with any fast-moving consumer product, the business of vaping brings with it not only profits but also a complex trail of… Earth Day: Act to Love the Earth Way More …

3

Earth Day: Act to Love the Earth Way More Better

The world commemorates Earth Day every year on April 22nd, as a global reminder to reflect on how we treat our planet and what action we could take to contribute to a better environment.  Baca juga artikel lainnya : Optimasi Potensi Sumber Energi Biomassa dengan Carbon & ESG Management Satuplatform Our planet is currently grappling with numerous environmental challenges, from ecosystem degradation and air pollution to waste management issues and climate change. These are urgent problems that demand our immediate attention and collective action. These circumstances clearly show that we need a more thoughtful and sustainable way to care for the Earth. In this article we will go through some new points of view on how to do action for making the earth way better. These approaches also could be implemented every year when celebrating the Earth Day! Loving the Earth in the Age of Crisis In this era of environmental crisis, truly loving the Earth requires more than symbolic gestures like planting trees once a year or sharing picturesque nature shots on social media. It demands consistent and meaningful action such as rethinking our consumption habits, advocating for sustainable policies, supporting eco-conscious businesses, and making daily choices that prioritize the planet’s long-term health.  Real love for the Earth means actively engaging in its protection and restoration. It also calls for widespread awareness which is an essential foundation for building a more sustainable future. Only through this shared understanding can we inspire meaningful, lasting actions that truly make a difference Towards Green Lifestyle Adopting a green lifestyle is one of the most practical and impactful ways individuals can contribute to a healthier planet. It doesn’t require grand gestures, this action might seem small but consistent changes in our daily lives can collectively make a significant difference.  Green lifestyle can start from reducing single-use plastics, conserving energy, and minimizing food waste, to choosing public transport or cycling over driving. These choices help reduce our ecological footprint. A green lifestyle also involves being mindful consumers. This means supporting products that are ethically sourced, environmentally friendly, and produced by businesses that prioritize sustainability. By shifting our purchasing decisions, we can drive demand for greener alternatives and encourage companies to adopt more responsible practices. Moreover, embracing minimalism (buying less unnecessary products) can help cut down on unnecessary consumption and waste. Living simply and sustainably not only benefits the environment but also promotes a healthier, more intentional way of life. Business Presence for Green Consumers Today’s consumers play a pivotal role in shaping both market trends and environmental progress. As awareness of ecological issues continues to rise, so does the influence of green consumerism. In this situation, businesses can take a role to be present in terms of making a sustainable future. For business, nowadays sustainability is no longer an optional add-on, but  it’s becoming a core business strategy. Companies can rethink everything from product design and supply chains to packaging and corporate commitments, also embracing initiatives like carbon neutrality, circular economy models, and eco-friendly innovations, are some of the sustainable practices that business can put attention on. These practices now showed through some adaptation in some business fields, not only businesses which operated directly in nature like oil and gas or mining companies. But now some businesses like FMCG, fashion, technology, are also adapting to green initiatives.  ESG: Environmental, Social, and Governance Factors In today’s pursuit of sustainability, ESG has emerged as a vital framework of business for evaluating corporate responsibility and long-term impact. ESG factors guide how businesses measure and manage their non-financial performance, particularly in terms of environmental stewardship, social responsibility, and transparent governance. For individuals and institutions wanting to act in support of Earth Day, supporting ESG-aligned businesses is a tangible way to encourage responsible corporate behavior and promote systemic change.  To support the ESG, technology plays a crucial role as a catalyst for sustainable transformation. It serves as an enabler that helps businesses reduce their environmental impact while enhancing efficiency and innovation. Smart grids and energy management systems powered by AI and IoT (Internet of Things) are optimizing electricity usage and minimizing waste. Meanwhile, sustainable manufacturing practices are being driven by automation and precision technologies that reduce material consumption and emissions. Earth Day as a New Starting Point, Not a One-Day Event After all, celebrating Earth Day should not be a once-a-year ritual, but rather a spark that ignites long-term commitment. While events and campaigns on April 22nd raise valuable awareness, what matters most is what happens after the spotlight fades. The true celebration of Earth Day lies in daily actions, by choosing sustainable alternatives, raising awareness within communities, and holding both individuals and institutions accountable. Earth Day can be a meaningful starting point for new habits and fresh perspectives. It reminds us that loving the Earth isn’t a passive feeling, but an active, ongoing responsibility. Whether you’re an individual, a community leader, or a business owner, every step taken in the direction of sustainability matters. For companies and industries who aim to contribute more to make a better environment, it has now become easier with the presence of Satuplatform.com that provides all-in-one solutions for businesses’ initiatives related with SDGs. Try the FREE DEMO, now! Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want …

1

Manfaatkan Ayam, Perancis Garap Program Solusi Sampah Rumah Tangga

Permasalahan sampah merupakan salah satu ‘pekerjaan rumah’ yang hampir dimiliki oleh seluruh negara. Tiap negara memiliki caranya masing-masing dalam menanggulangi sampah yang menumpuk di lingkungan. Salah satu sumber sampah yang banyak ditemukan adalah berasal dari sampah rumah tangga. Di tengah kondisi ini, Perancis memiliki langkah yang unik dan sangat inovatif dalam hal menanggulangi permasalahan sampah rumah tangga di negaranya. Cara yang Perancis tempuh juga mungkin merupakan satu-satunya langkah visioner karena baru pertama kalinya di dunia ada upaya mengelola sampah dengan memanfaatkan ayam ternak!Mari simak lebih lanjut bagaimana Perancis melakukan hal tersebut. Baca juga artikel lainnya : Waste to Energy: Solusi Inovatif untuk Mengatasi Krisis Sampah di Indonesia Begini Kondisi Sampah Rumah Tangga di Perancis Di Perancis, ada sekitar 30% dari sejumlah sampah rumah tangga yang merupakan sampah organik. Data dari agence de transition écologique (ADEME) tersebut menunjukkan bahwa sampah sisa makanan dan bahan mentah dapur masih banyak ditemukan di lingkungan. Sebagian besar sampah tersebut hingga saat ini masih berakhir di incinerator sebagai tempat pembuangan akhir (TPA). Kondisi tersebut membuat Perancis menyumbang kontribusi terhadap terbentuknya gas metana dari dekomposisi organik di TPA yang berujung ke emisi karbon.  Di samping itu, banyaknya sampah rumah tangga juga mengindikasikan adanya inefisiensi dalam sistem konsumsi di dalam masyarakat. Sementara Uni Eropa tengah berambisi untuk mencapai target pengurangan limbah sampai 50% di 2030, maka pemerintah Perancis perlu untuk melakukan strategi pengelolaan sampah rumah tangga di negaranya. Distribusi Ayam ke Rumah Tangga  Dalam upaya mengelola sampah rumah tangga, Perancis menggarap program solusi sampah dengan memanfaatkan ayam peliharaan. Program ini dimulai dengan menggarap percontohan di beberapa kota seperti Pincé dan Rennes. Dalam menjalankan program tersebut, pemerintah daerah menjalin kerjasama dengan berbagai organisasi lingkungan lokal, khususnya dalam mendistribusikan sejumlah 2 ekor ayam kepada setiap rumah yang bersedia untuk ikut serta pada program pengurangan sampah rumah tangga. Ayam dipilih sebagai hewan yang dapat membantu ‘daur ulang’ sampah rumah tangga dalam lingkaran siklus hidup. Per 1 ekor ayam, mampu mengkonsumsi sekitar 150 kilogram sampah organik per tahun, yang di dalamnya termasuk sampah sisa rumah tangga seperti sampah sayuran, kulit buah-buahan, sisa roti dan nasi. Memanfaatkan ayam untuk pengelolaan sampah rumah tangga juga memberikan hasil tambahan. Ayam-ayam tersebut bisa menghasilkan telur segar yang dapat dikonsumsi oleh keluarga. Sehingga, nilai yang dihasilkan dari program ini bukan hanya dari segi lingkungan, namun program ini juga bernilai ekonomi.  Dampak Lingkungan yang Signifikan Secara lebih lanjut, dampak lingkungan dari dijalankannya program solusi sampah rumah tangga dengan memanfaatkan ayam setidaknya dapat dilihat dari 2 aspek berikut: Sisa sampah rumah tangga yang berakhir di lingkungan secara berangsur-angsur akan berkurang. Sebab ayam ternak dapat mengkonsumsi sisa-sisa makanan tersebut. Sehingga beban yang ditanggung lingkungan akan lebih sedikit. Jika sampah yang berakhir di atas permukaan tanah berkurang, maka sampah organik yang membusuk dan melepaskan gas metana pun ikut berkurang. Dengan kondisi ini, jumlah emisi karbon yang naik ke atmosfer akan menurun dan menekan laju gas rumah kaca. Dampak Ekonomi dan Inovasi Bisnis Dari ekonomi, adanya inisiatif program ini dapat memberikan beberapa dampak yang bagus, termasuk untuk membuka peluang bisnis. Sebagai contoh, permintaan (demand) untuk telur ayam tentu tidak pernah habis, setiap harinya ada banyak masyarakat yang membutuhkan telur ayam untuk dikonsumsi. Ketika setiap keluarga dibekali dengan ayam petelur di desa, maka ketersediaan telur ayam akan meningkat. Hal ini mungkin bisa mendorong masyarakat desa untuk menjual telur ayam ke daerah perkotaan. Peluang berikutnya juga dapat datang dari segi alat-alat perlengkapan ternak. Ketika setiap rumah tangga di desa memelihara ayam, maka dalam jangka panjang tentu diperlukan kandang, alat kebersihan, dan peralatan pendukung lainnya agar ayam ternak yang diberikan dalam program ini dapat bermanfaat secara berkelanjutan. Hal ini memunculkan peluang bagi para UMKM dan pengrajin untuk memasarkan kandang ayam dan peralatan lainnya kepada para rumah tangga.  Inspirasi Solusi Sampah Bagi Negara Lain Program solusi pengelolaan sampah rumah tangga dengan memanfaatkan ayam ternak merupakan inovasi yang patut diapresiasi dan dapat menjadi inspirasi menarik bagi berbagai negara, termasuk Indonesia. Sampah rumah tangga selama ini menjadi persoalan yang tak kunjung usai, baik di negara maju maupun berkembang. Pendekatan yang dilakukan melalui integrasi sektor peternakan dengan pengelolaan limbah domestik menunjukkan bahwa solusi atas permasalahan lingkungan tidak selalu harus bergantung pada teknologi canggih yang mahal. Justru, pendekatan yang bersifat lokal, terjangkau, dan mudah diterapkan sering kali lebih efektif dan berkelanjutan. Dari program ini, kita belajar bahwa kreativitas dan pemanfaatan potensi sekitar dapat menjadi kunci dalam menyelesaikan masalah lingkungan. Ayam ternak yang selama ini hanya dianggap sebagai sumber pangan, ternyata juga memiliki peran strategis dalam mengurangi volume sampah organik rumah tangga. Pendekatan semacam ini membuka cakrawala baru dalam melihat hubungan antara manusia, lingkungan, dan hewan ternak. Jika dikelola dengan baik, solusi berbasis kearifan lokal ini tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga dapat meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk menjadikan inisiatif seperti ini sebagai inspirasi dalam merancang kebijakan pengelolaan sampah yang inovatif, inklusif, dan berbasis pada potensi lokal.Jika Anda tertarik untuk menerapkan solusi inovatif dalam pengelolaan sampah dan mencari pendekatan yang tepat bagi kebutuhan lingkungan di komunitas atau bisnis Anda, kunjungi halaman Satuplatform disini!. Sebagai all-in-one solution untuk konsultasi lingkungan, Satuplatform menyediakan layanan terpadu mulai dari asesmen, perencanaan, hingga implementasi solusi berkelanjutan yang sesuai dengan potensi lokal. Dapatkan panduan langsung dari para ahli dan dapatkan FREE DEMO untuk wujudkan program lingkungan yang berdampak nyata bersama Satuplatform! Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend …

energi biomassa

Jenis Energi Biomassa yang Lebih Ramah Lingkungan: Solusi dari Limbah, Bukan dari Hutan

Tidak semua jenis sumber energi biomassa memberikan dampak lingkungan yang positif. Penggunaan biomassa yang berasal dari penebangan pohon secara langsung berpotensi memperparah deforestasi dan degradasi ekosistem.  Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk memfokuskan pemanfaatan biomassa yang bersumber dari limbah organik agar bisa mendukung tujuan keberlanjutan dan energi hijau. Bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan momentum ini untuk memajukan biomassa yang ramah lingkungan? Baca Juga: Berbagai Jenis Sumber Energi Biomassa dan Proses Konversinya Klasifikasi Energi Biomassa: Dari Limbah ke Energi Biomassa merupakan bahan organik yang dapat digunakan sebagai sumber energi dan berasal dari berbagai sumber seperti limbah pertanian, limbah industri, limbah hewani, alga, serta residu hutan.  Klasifikasi biomassa ini penting untuk menentukan dampak lingkungannya, terutama dalam menghindari eksploitasi hutan yang berlebihan. Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, biomassa yang berasal dari limbah pertanian dan sampah organik industri banyak dikembangkan sebagai alternatif energi yang berkelanjutan. 3 Jenis Sumber Energi Biomassa yang Lebih Ramah Lingkungan Penggunaan kayu utuh sebagai bahan energi biomassa perlu dikurangi dan dihindari. Penebangan pohon untuk menyediakan pasokan seperti ini dapat memperburuk deforestasi yang tentu akan merusak keseimbangan ekosistem alami. Jenis energi biomassa yang lebih ramah lingkungan bisa didapatkan dari berbagai jenis limbah dan organisme laut.  1. Limbah Pertanian Limbah pertanian seperti jerami, sekam padi, dan ampas tebu merupakan jenis biomassa yang paling banyak tersedia dan relatif ramah lingkungan. Penggunaannya sebagai sumber energi tidak menambah tekanan terhadap lahan atau hutan karena merupakan produk sampingan dari kegiatan pertanian.  Konversi sumber limbah ini dapat dilakukan dengan cara yang efisien dan bersih, misalnya melalui proses pembakaran termal atau anaerobik digestion. 2. Sisa Industri  dan Hewani Biomassa juga dapat diperoleh dari limbah industri seperti sisa pengolahan kayu, limbah makanan, serta kotoran ternak dan dinilai sangat cocok untuk dikembangkan di kawasan industri dan pertanian karena mendukung ekonomi sirkular dan pengelolaan limbah yang lebih bertanggung jawab. Dengan memanfaatkan teknologi seperti gasifikasi dan pirolisis, limbah ini dapat dikonversi menjadi bioenergi dengan nilai kalor tinggi dan jejak karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil. 3. Alga & Mikroalga Alga dan mikroalga muncul sebagai sumber energi biomassa masa depan yang menjanjikan karena tidak memerlukan lahan daratan yang luas. Di samping itu, organisme laut ini dapat tumbuh dengan cepat di lingkungan perairan yang sesuai. Wilayah pesisir Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan biomassa dari mikroalga sebagai energi terbarukan yang efisien dan ramah lingkungan secara masal.  Tren Global: Fokus pada Biomassa Berbasis Limbah Di kawasan Uni Eropa, sejumlah negara mulai memperbarui kriteria keberlanjutan bioenergi mereka agar lebih selaras dengan prinsip ekonomi sirkular dan target dekarbonisasi jangka panjang.  Kebijakan ini mengutamakan sumber biomassa yang rendah emisi dan tidak bersaing dengan kebutuhan pangan maupun konservasi ekosistem hutan. Upaya tersebut mencerminkan keseriusan untuk mengintegrasikan biomassa ke dalam kerangka ekonomi rendah karbon tanpa memperparah kerusakan lingkungan. Selain dari sisi kebijakan, dinamika teknologi dan investasi juga menunjukkan pergeseran yang serupa. REN21 mencatat adanya peningkatan investasi dalam teknologi bioenergi canggih yang mampu mengolah limbah pertanian, sampah organik dari rumah tangga, serta residu industri menjadi energi.  Inovasi ini menciptakan peluang baru bagi pemanfaatan sumber daya lokal yang sebelumnya tidak termanfaatkan, sekaligus membantu mengurangi emisi dari sektor limbah dan energi secara bersamaan. Kebijakan dan inovasi di atas memperlihatkan bahwa trend pendekatan energi biomassa berbasis limbah tidak hanya lebih berkelanjutan secara ekologis, tetapi juga makin layak secara ekonomi dan teknologi.  Peluang untuk Indonesia dan Kawasan Asia Tenggara Sebuah studi berjudul “ Biomass Energy: An Overview of Biomass Sources, Energy Potential, and Management in Southeast Asian Countries” menjelaskan bahwa Indonesia dan Asia Tenggara memiliki posisi yang unik untuk memanfaatkan sumber energi biomassa dari limbah pertanian yang melimpah.  Kawasan ini menghasilkan limbah yang melimpah seperti sekam padi, batang jagung, dan limbah kelapa sawit, yang dapat berfungsi sebagai bahan baku berkelanjutan untuk bioenergi.  Meskipun potensinya menjanjikan, tantangan seperti kapasitas teknologi, logistik rantai pasokan, dan manajemen keberlanjutan perlu ditangani. Kebijakan saat ini menunjukkan dukungan yang makin besar terhadap energi biomassa, tetapi investasi dalam infrastruktur dan teknologi pemrosesan yang inovatif tetap penting untuk mewujudkan potensi ini sepenuhnya.  Masa Depan Sumber Energi Biomassa dari Limbah, Bukan Hutan Pengembangan energi biomassa yang berkelanjutan harus memprioritaskan penggunaan limbah organik dan sumber yang tidak merusak hutan. Dengan dukungan kebijakan dan ekosistem inovasi yang tepat, biomassa berbasis limbah berpotensi menjadi elemen kunci dalam bauran energi bersih masa depan, terutama di negara-negara yang memiliki volume limbah pertanian dan organik yang tinggi.  Indonesia dapat berkontribusi nyata pada target dekarbonisasi sambil mengembangkan industri energi hijau yang kompetitif. Saatnya bagi pelaku industri dan pembuat kebijakan untuk fokus pada biomassa dari limbah, membuka peluang baru bagi energi terbarukan yang ramah lingkungan. Gunakan FREE DEMO Satuplatform untuk mengoptimalkan strategi sustainability perusahaan Anda. Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want to be left-behind. From biodegradable packaging to cruelty-free testing and vegan formulas, brands are racing to meet the growing consumer demand for environmentally responsible products.  However, beneath the glossy labels and eco-marketing lies a lesser-known contradiction, that some beauty materials like synthetic silicones are presenting as a new environmental challenge. This article will explore the environmental cost of silicones in the beauty industry. Read other articles : Business Adaptation Amid Environmental Challenges Why Silicones in Beauty Products? Silicones are a group of… Unveiling the Environmental Footprint of Vaping Culture Over the past decade, vaping has been marketed as a cleaner alternative to traditional smoking. The trend of e-cigarettes and vape …

industri hijau

Produk Berbasis Alam: Dasar Transformasi Industri Hijau di Sektor Kosmetika

Kesadaran konsumen terhadap dampak lingkungan dari produk sehari-hari mendorong perubahan besar di berbagai sektor, termasuk industri kosmetik. Makin banyak pelaku industri yang beralih ke solusi berbasis alam (nature-based solutions) untuk menciptakan produk keseluruhan yang tidak hanya aman bagi kulit, tetapi juga ramah bagi bumi. Transformasi ini menandai bagian dari pergeseran yang lebih luas menuju industri hijau. Baca Juga: 5 Brand Kosmetik yang Mendukung ESG Tren Industri yang Menggerakkan Kosmetik Hijau Industri kosmetik kini menjadi bagian dari transformasi industri hijau dengan meningkatnya permintaan konsumen akan produk yang bersih, transparan, dan berkelanjutan.  Faktor utama yang mendorong perubahan ini adalah kepedulian konsumen terhadap kesehatan dan etika, serta meningkatnya kesadaran akan jejak lingkungan dari produk kecantikan  Konsumen kini lebih cermat dalam memilih merek yang menawarkan bahan alami, klaim keberlanjutan yang kredibel, serta komitmen terhadap pelestarian lingkungan. Perubahan pilihan konsumen ini mendorong jenama (brand) untuk menyesuaikan strategi pemasaran dan produksinya agar lebih selaras dengan nilai-nilai keberlanjutan. Bahan Alami dan Praktik Sumber Daya Berkelanjutan di Industri Kosmetik Hijau Solusi berbasis alam memainkan peran sentral dalam strategi sustainability industri kosmetik, terutama melalui penggunaan bahan-bahan alami yang diperoleh dari praktik pertanian berkelanjutan.  Salah satu pelaku ternama di industri ini, Garnier, telah mengadopsi praktik agroforestri dan pertanian regeneratif untuk mendapatkan bahan-bahan seperti argan dan lidah buaya, yang membantu mengurangi deforestasi dan meningkatkan kualitas tanah. Pendekatan ini tidak hanya menjaga ekosistem hutan, tetapi juga mendukung komunitas lokal yang terlibat dalam rantai pasok. Namun, meningkatnya permintaan terhadap bahan alami juga membawa tantangan dalam memastikan keberlanjutan jangka panjang. Walaupun bahan alami seperti minyak esensial, ekstrak tumbuhan, dan fermentasi mikroba makin populer, rantai pasok yang tidak terkendali berisiko menyebabkan over eksploitasi.  Oleh karena itu, diperlukan sistem pemantauan dan sertifikasi untuk menjamin praktik pengambilan sumber daya yang bertanggung jawab. Inovasi Industri Hijau dalam Sustainability dan Ekonomi Sirkular Inovasi dalam industri kosmetik kini diarahkan untuk mengurangi dampak lingkungan melalui pendekatan ekonomi sirkular, yang berfokus pada pengurangan limbah dan optimalisasi siklus hidup produk.  Strategi utama adalah pengembangan produk kosmetik nol limbah (zero waste cosmetics), yang tidak hanya mencakup pengurangan bahan berbahaya. Perusahaan juga perlu mengintegrasikannya dengan pemilihan bahan alami yang mudah terurai, pengurangan volume kemasan, dan desain yang memungkinkan penggunaan ulang.  Berbagai jenama terkemuka mulai mengintegrasikan prinsip design for longevity dengan membuat produk dan kemasan yang dapat digunakan kembali, diisi ulang, atau didaur ulang.  Tidak sedikit yang sudah memanfaatkan inovasi bahan biodegradable, seperti pengganti plastik dari bahan berbasis tumbuhan.  Proses produksi juga diarahkan untuk meminimalkan limbah industri, baik dalam bentuk cairan, padat, maupun emisi, melalui efisiensi energi dan manajemen sisa bahan. Perusahaan juga berusaha mengurangi jejak karbon mereka melalui pengolahan bahan baku yang lebih efisien dan penggunaan energi terbarukan dalam proses produksi.  Pendekatan ini mencerminkan meningkatnya kesadaran terhadap dampak tidak langsung (Scope 3 emissions) yang selama ini sulit dikendalikan. Strategi ini tidak hanya berdampak positif terhadap lingkungan, tetapi juga memperkuat posisi merek di mata konsumen yang mengutamakan nilai keberlanjutan. Tantangan Industri Hijau Sektor Kosmetika: Greenwashing dan Regulasi Peningkatan permintaan konsumen terhadap produk yang ramah lingkungan diiringi dengan makin mencuatnya tantangan greenwashing dalam industri kosmetika. Banyak perusahaan  mengklaim praktik sustainability tanpa transparansi yang memadai dengan menggunakan istilah seperti “natural“, “eco-friendly“, atau “green” tanpa bukti atau standar yang jelas.  Fenomena ini telah menyebabkan kebingungan konsumen dan mengikis kepercayaan terhadap klaim industri hijau yang beredar di pasaran. Menanggapi persoalan ini, Uni Eropa telah mengambil langkah konkret dengan memperkenalkan proposal Green Claims Directive melalui European Parliament Think Tank. Proposal tersebut menjadi dasar aturan bagi produsen untuk membuktikan secara ilmiah semua klaim lingkungan yang mereka ajukan, diverifikasi oleh pihak ketiga independen, dan dijelaskan dengan transparan kepada publik. Tujuan utamanya adalah memerangi praktik misleading dan memastikan bahwa hanya produk dengan dampak lingkungan yang benar-benar terbukti yang dapat diklaim sebagai ramah lingkungan. Inisiatif ini juga merupakan bentuk perlindungan bagi konsumen.  Tantangan bagi pelaku bisnis di sektor industri kosmetika tidak hanya berasal dari pemerintah dan regulator, tetapi juga dari konsumen dan investor yang makin kritis terhadap integritas strategi keberlanjutan.  Mereka menginginkan transparansi data lingkungan, termasuk perhitungan jejak karbon, sumber bahan baku, dan proses manufaktur, untuk menilai sejauh mana komitmen merek terhadap pengurangan dampak ekologis. Secara garis besar, industri kosmetik tengah menjalani transformasi menuju praktik yang lebih ramah lingkungan melalui integrasi solusi berbasis alam, desain sirkular, dan keterbukaan informasi.  Namun, untuk memastikan dampak positif yang berkelanjutan, dibutuhkan sinergi antara inovasi industri, regulasi yang kuat, dan kesadaran konsumen yang terus tumbuh sebagai monitor pendampingan perkembangan industri hijau di sektor ini.  Tentang Satuplatform   Satuplatform hadir sebagai solusi end-to-end yang memandu perusahaan dalam penerapan solusi sustainability yang tepat dengan berbagai fitur yang disesuaikan kebutuhan perusahaan. Manfaatkan  FREE DEMO Satuplatform dan tentukan strategi sustainability yang tepat untuk perusahaan dan industri Anda. Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want to be left-behind. From biodegradable packaging to cruelty-free testing and vegan formulas, brands are racing to meet the growing consumer demand for environmentally responsible products.  However, beneath the glossy labels and eco-marketing lies a lesser-known contradiction, that some beauty materials like synthetic silicones are presenting as a new environmental challenge. This article will explore the environmental cost of silicones in the beauty industry. Read other articles : Business Adaptation Amid Environmental Challenges Why Silicones in Beauty Products? Silicones are a group of… Unveiling the Environmental Footprint of Vaping Culture Over the past decade, vaping has been marketed as a cleaner alternative to traditional smoking. …

deforestasi

Apakah Deforestasi Dapat Memicu Krisis Pangan Berikutnya Melalui Perubahan Iklim?

Perubahan iklim menjadi salah satu ancaman terbesar bagi ketahanan pangan global. Deforestasi, yaitu penggundulan hutan yang masif, berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim dan langsung memengaruhi produksi pangan.  Pertanyaannya, apakah penggundulan hutan memperburuk ancaman ketahanan pangan yang sedang dihadapi berbagai belahan dunia  melalui dampaknya terhadap lingkungan dan iklim? Baca Juga: Ribuan Hektar Hutan Hilang Akibat Deforestasi Setiap Tahunnya! Deforestasi dan Dampaknya terhadap Ketahanan Pangan  Menurut World Economic Forum (2025), hutan yang sehat membantu menstabilkan iklim lokal dan mendukung siklus air penting bagi pertanian.  Penggundulan hutan menyebabkan degradasi tanah melalui hilangnya tutupan pohon yang menjaga kesuburan dan mencegah erosi.  Kondisi tersebut menurunkan curah hujan dan kualitas air, serta meningkatkan limpasan air yang membawa tanah, bahan kimia, dan limbah ke sungai hingga menimbulkan pencemaran pada sumber air.  Ketika hutan dibuka, manusia dan hewan liar makin sering berinteraksi dan meningkatkan penyebaran penyakit zoonosis seperti Ebola dan malaria.  Hilangnya habitat juga mendorong migrasi hewan pembawa penyakit ke area pemukiman dan meningkatkan ancaman kepunahan karena berkurangnya sumber makanan, air, dan tempat berlindung bagi satwa. Lebih buruk lagi, penebangan hutan menghilangkan kemampuan alami pohon untuk menyerap karbon dioksida dan menyaring polutan udara, sehingga meningkatkan emisi gas rumah kaca seperti CO₂, metana, dan nitrous oxide.  Akibatnya, suhu lokal meningkat tajam dan memperparah pemanasan global. Sebagian besar deforestasi dipicu oleh ekspansi pertanian komoditas, terutama di negara tropis seperti Indonesia dan Madagaskar. Kombinasi dampak-dampak tersebut dapat mengarah pada menurunnya variasi dan ketersediaan ragam hewan dan tumbuhan untuk makanan.  Mengamati peran utama hutan dan dampak dari penggundulan hutan, penggundulan hutan berperan sebagai pemicu perubahan iklim yang berkontribusi pada ancaman ketahanan pangan di daerah terdampak. Studi Kasus WWF Brazil Pada tahun 2022, WWF Brazil dalam publikasi berjudul A Technical Note by WWF-Brazil gathers studies that show how deforestation impairs productivity in the field mengungkapkan studi kasus dampak deforestasi pada rantai produksi.  Penggundulan hutan menyebabkan penurunan produktivitas pertanian dan kerugian ekonomi signifikan bagi agribisnis. Di Brasil, produktivitas kedelai turun 12% di Amazon dan 6% di Cerrado (1985–2012), dengan potensi kerugian hingga 26% untuk kedelai dan 32% untuk padang rumput pada 2050. Pendapatan kotor per hektar kedelai turun rata-rata US$158,50 per tahun akibat hilangnya fungsi regulasi iklim. Kerugian akibat penggundulan hutan tak hanya berdampak pada petani, tetapi juga pada seluruh rantai nilai. Perusahaan Brasil terancam kehilangan hingga BRL 24 miliar akibat kerusakan reputasi, kehilangan pasar, dan gangguan ekosistem. Di Mato Grosso saja, potensi kerugian bisa mencapai US$1,8 miliar pada 2050. Studi ini menunjukkan bahwa makin tinggi tingkat penggundulan hutan (10–40%), makin besar pula penurunan pendapatan dari kedelai dan daging sapi. Jika tidak ditangani, deforestasi akan terus melemahkan ketahanan pasokan dan keberlanjutan bisnis jangka panjang. Solusi dan Langkah-Langkah Mitigasi  Untuk memitigasi dampak dari praktik deforestasi, perlindungan dan restorasi hutan serta kombinasi penanaman pohon di lahan pertanian adalah solusi yang terus digalakan.  1. Restorasi Hutan untuk Menjaga Air dan Tanah Hutan berperan penting dalam menjaga kualitas air dan kesuburan tanah. Daerah aliran sungai berhutan menyediakan air bersih bagi lebih dari 85% kota besar dunia dan mendukung ketahanan pangan 1,7 miliar orang.  Hutan menyerap curah hujan dan menjaga aliran air secara konsisten, sekaligus memperkaya tanah melalui daur ulang nutrisi. Namun, sepertiga tanah global mengalami degradasi, sehingga restorasi hutan dan pengelolaan berkelanjutan sangat krusial untuk menjaga produktivitas pertanian dan ekosistem. 2. Konservasi Hutan Konservasi hutan penting untuk mengurangi emisi karbon, menjaga keanekaragaman hayati, dan mencegah degradasi lahan. Inisiatif global seperti 1t.org mengajak sektor swasta berkomitmen menanam dan merestorasi milyaran pohon.  Contohnya, program “JUNTOS” dari Fresh Del Monte berhasil melakukan reboisasi, melindungi habitat satwa, dan mengedukasi komunitas lokal, menunjukkan peran strategis konservasi dalam keberlanjutan bisnis. 3. Agroforestri  Praktik mengintegrasikan penanaman pohon ke dalam sistem pertanian ini menawarkan solusi berkelanjutan untuk mengatasi ancaman deforestasi dan perubahan iklim.  Dengan menanam pohon bersama tanaman pangan, agroforestri meningkatkan kesuburan tanah, menyimpan karbon, dan menjaga siklus air. Selain itu, agroforestri dapat membantu bisnis mengelola risiko iklim sekaligus memenuhi standar ESG (Environmental, Social, Governance) dengan praktik yang ramah lingkungan. Beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sudah mengadopsi model ini untuk mengurangi deforestasi sekaligus meningkatkan produktivitas pangan lokal. Bagaimana Pemangku Kepentingan Dapat Berkontribusi? World Economic Forum merekomendasikan kolaborasi pemerintah, pelaku bisnis, peneliti, LSM, dan masyarakat harus dalam langkah-langkah strategis berikut ini. Kebijakan global dan inisiatif seperti komitmen pengurangan deforestasi dan promosi ESG mendukung upaya ini dengan mendorong transparansi pelaporan emisi dan restorasi hutan.Dukung kebijakan sustainability dengan transparansi pengelolaan karbon yang sistematis. Manfaatkan FREE DEMO Satuplatform untuk kontribusi pada ketahanan rantai pasok dan pangan di masa depan. Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want to be left-behind. From biodegradable packaging to cruelty-free testing and vegan formulas, brands are racing to meet the growing consumer demand for environmentally responsible products.  However, beneath the glossy labels and eco-marketing lies a lesser-known contradiction, that some beauty materials like synthetic silicones are presenting as a new environmental challenge. This article will explore the environmental cost of silicones in the beauty industry. Read other articles : Business Adaptation Amid Environmental Challenges Why Silicones in Beauty Products? Silicones are a group of… Unveiling the Environmental Footprint of Vaping Culture Over the past decade, vaping has been marketed as a cleaner alternative to traditional smoking. The trend of e-cigarettes and vape pens have gained favor among younger generations, tech-savvy consumers, and even smokers seeking harm reduction. However, beneath the cloud of flavored vapor lies a less …