3

Earth Day: Act to Love the Earth Way More Better

The world commemorates Earth Day every year on April 22nd, as a global reminder to reflect on how we treat our planet and what action we could take to contribute to a better environment.  Baca juga artikel lainnya : Optimasi Potensi Sumber Energi Biomassa dengan Carbon & ESG Management Satuplatform Our planet is currently grappling with numerous environmental challenges, from ecosystem degradation and air pollution to waste management issues and climate change. These are urgent problems that demand our immediate attention and collective action. These circumstances clearly show that we need a more thoughtful and sustainable way to care for the Earth. In this article we will go through some new points of view on how to do action for making the earth way better. These approaches also could be implemented every year when celebrating the Earth Day! Loving the Earth in the Age of Crisis In this era of environmental crisis, truly loving the Earth requires more than symbolic gestures like planting trees once a year or sharing picturesque nature shots on social media. It demands consistent and meaningful action such as rethinking our consumption habits, advocating for sustainable policies, supporting eco-conscious businesses, and making daily choices that prioritize the planet’s long-term health.  Real love for the Earth means actively engaging in its protection and restoration. It also calls for widespread awareness which is an essential foundation for building a more sustainable future. Only through this shared understanding can we inspire meaningful, lasting actions that truly make a difference Towards Green Lifestyle Adopting a green lifestyle is one of the most practical and impactful ways individuals can contribute to a healthier planet. It doesn’t require grand gestures, this action might seem small but consistent changes in our daily lives can collectively make a significant difference.  Green lifestyle can start from reducing single-use plastics, conserving energy, and minimizing food waste, to choosing public transport or cycling over driving. These choices help reduce our ecological footprint. A green lifestyle also involves being mindful consumers. This means supporting products that are ethically sourced, environmentally friendly, and produced by businesses that prioritize sustainability. By shifting our purchasing decisions, we can drive demand for greener alternatives and encourage companies to adopt more responsible practices. Moreover, embracing minimalism (buying less unnecessary products) can help cut down on unnecessary consumption and waste. Living simply and sustainably not only benefits the environment but also promotes a healthier, more intentional way of life. Business Presence for Green Consumers Today’s consumers play a pivotal role in shaping both market trends and environmental progress. As awareness of ecological issues continues to rise, so does the influence of green consumerism. In this situation, businesses can take a role to be present in terms of making a sustainable future. For business, nowadays sustainability is no longer an optional add-on, but  it’s becoming a core business strategy. Companies can rethink everything from product design and supply chains to packaging and corporate commitments, also embracing initiatives like carbon neutrality, circular economy models, and eco-friendly innovations, are some of the sustainable practices that business can put attention on. These practices now showed through some adaptation in some business fields, not only businesses which operated directly in nature like oil and gas or mining companies. But now some businesses like FMCG, fashion, technology, are also adapting to green initiatives.  ESG: Environmental, Social, and Governance Factors In today’s pursuit of sustainability, ESG has emerged as a vital framework of business for evaluating corporate responsibility and long-term impact. ESG factors guide how businesses measure and manage their non-financial performance, particularly in terms of environmental stewardship, social responsibility, and transparent governance. For individuals and institutions wanting to act in support of Earth Day, supporting ESG-aligned businesses is a tangible way to encourage responsible corporate behavior and promote systemic change.  To support the ESG, technology plays a crucial role as a catalyst for sustainable transformation. It serves as an enabler that helps businesses reduce their environmental impact while enhancing efficiency and innovation. Smart grids and energy management systems powered by AI and IoT (Internet of Things) are optimizing electricity usage and minimizing waste. Meanwhile, sustainable manufacturing practices are being driven by automation and precision technologies that reduce material consumption and emissions. Earth Day as a New Starting Point, Not a One-Day Event After all, celebrating Earth Day should not be a once-a-year ritual, but rather a spark that ignites long-term commitment. While events and campaigns on April 22nd raise valuable awareness, what matters most is what happens after the spotlight fades. The true celebration of Earth Day lies in daily actions, by choosing sustainable alternatives, raising awareness within communities, and holding both individuals and institutions accountable. Earth Day can be a meaningful starting point for new habits and fresh perspectives. It reminds us that loving the Earth isn’t a passive feeling, but an active, ongoing responsibility. Whether you’re an individual, a community leader, or a business owner, every step taken in the direction of sustainability matters. For companies and industries who aim to contribute more to make a better environment, it has now become easier with the presence of Satuplatform.com that provides all-in-one solutions for businesses’ initiatives related with SDGs. Try the FREE DEMO, now! Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want …

1

Manfaatkan Ayam, Perancis Garap Program Solusi Sampah Rumah Tangga

Permasalahan sampah merupakan salah satu ‘pekerjaan rumah’ yang hampir dimiliki oleh seluruh negara. Tiap negara memiliki caranya masing-masing dalam menanggulangi sampah yang menumpuk di lingkungan. Salah satu sumber sampah yang banyak ditemukan adalah berasal dari sampah rumah tangga. Di tengah kondisi ini, Perancis memiliki langkah yang unik dan sangat inovatif dalam hal menanggulangi permasalahan sampah rumah tangga di negaranya. Cara yang Perancis tempuh juga mungkin merupakan satu-satunya langkah visioner karena baru pertama kalinya di dunia ada upaya mengelola sampah dengan memanfaatkan ayam ternak!Mari simak lebih lanjut bagaimana Perancis melakukan hal tersebut. Baca juga artikel lainnya : Waste to Energy: Solusi Inovatif untuk Mengatasi Krisis Sampah di Indonesia Begini Kondisi Sampah Rumah Tangga di Perancis Di Perancis, ada sekitar 30% dari sejumlah sampah rumah tangga yang merupakan sampah organik. Data dari agence de transition écologique (ADEME) tersebut menunjukkan bahwa sampah sisa makanan dan bahan mentah dapur masih banyak ditemukan di lingkungan. Sebagian besar sampah tersebut hingga saat ini masih berakhir di incinerator sebagai tempat pembuangan akhir (TPA). Kondisi tersebut membuat Perancis menyumbang kontribusi terhadap terbentuknya gas metana dari dekomposisi organik di TPA yang berujung ke emisi karbon.  Di samping itu, banyaknya sampah rumah tangga juga mengindikasikan adanya inefisiensi dalam sistem konsumsi di dalam masyarakat. Sementara Uni Eropa tengah berambisi untuk mencapai target pengurangan limbah sampai 50% di 2030, maka pemerintah Perancis perlu untuk melakukan strategi pengelolaan sampah rumah tangga di negaranya. Distribusi Ayam ke Rumah Tangga  Dalam upaya mengelola sampah rumah tangga, Perancis menggarap program solusi sampah dengan memanfaatkan ayam peliharaan. Program ini dimulai dengan menggarap percontohan di beberapa kota seperti Pincé dan Rennes. Dalam menjalankan program tersebut, pemerintah daerah menjalin kerjasama dengan berbagai organisasi lingkungan lokal, khususnya dalam mendistribusikan sejumlah 2 ekor ayam kepada setiap rumah yang bersedia untuk ikut serta pada program pengurangan sampah rumah tangga. Ayam dipilih sebagai hewan yang dapat membantu ‘daur ulang’ sampah rumah tangga dalam lingkaran siklus hidup. Per 1 ekor ayam, mampu mengkonsumsi sekitar 150 kilogram sampah organik per tahun, yang di dalamnya termasuk sampah sisa rumah tangga seperti sampah sayuran, kulit buah-buahan, sisa roti dan nasi. Memanfaatkan ayam untuk pengelolaan sampah rumah tangga juga memberikan hasil tambahan. Ayam-ayam tersebut bisa menghasilkan telur segar yang dapat dikonsumsi oleh keluarga. Sehingga, nilai yang dihasilkan dari program ini bukan hanya dari segi lingkungan, namun program ini juga bernilai ekonomi.  Dampak Lingkungan yang Signifikan Secara lebih lanjut, dampak lingkungan dari dijalankannya program solusi sampah rumah tangga dengan memanfaatkan ayam setidaknya dapat dilihat dari 2 aspek berikut: Sisa sampah rumah tangga yang berakhir di lingkungan secara berangsur-angsur akan berkurang. Sebab ayam ternak dapat mengkonsumsi sisa-sisa makanan tersebut. Sehingga beban yang ditanggung lingkungan akan lebih sedikit. Jika sampah yang berakhir di atas permukaan tanah berkurang, maka sampah organik yang membusuk dan melepaskan gas metana pun ikut berkurang. Dengan kondisi ini, jumlah emisi karbon yang naik ke atmosfer akan menurun dan menekan laju gas rumah kaca. Dampak Ekonomi dan Inovasi Bisnis Dari ekonomi, adanya inisiatif program ini dapat memberikan beberapa dampak yang bagus, termasuk untuk membuka peluang bisnis. Sebagai contoh, permintaan (demand) untuk telur ayam tentu tidak pernah habis, setiap harinya ada banyak masyarakat yang membutuhkan telur ayam untuk dikonsumsi. Ketika setiap keluarga dibekali dengan ayam petelur di desa, maka ketersediaan telur ayam akan meningkat. Hal ini mungkin bisa mendorong masyarakat desa untuk menjual telur ayam ke daerah perkotaan. Peluang berikutnya juga dapat datang dari segi alat-alat perlengkapan ternak. Ketika setiap rumah tangga di desa memelihara ayam, maka dalam jangka panjang tentu diperlukan kandang, alat kebersihan, dan peralatan pendukung lainnya agar ayam ternak yang diberikan dalam program ini dapat bermanfaat secara berkelanjutan. Hal ini memunculkan peluang bagi para UMKM dan pengrajin untuk memasarkan kandang ayam dan peralatan lainnya kepada para rumah tangga.  Inspirasi Solusi Sampah Bagi Negara Lain Program solusi pengelolaan sampah rumah tangga dengan memanfaatkan ayam ternak merupakan inovasi yang patut diapresiasi dan dapat menjadi inspirasi menarik bagi berbagai negara, termasuk Indonesia. Sampah rumah tangga selama ini menjadi persoalan yang tak kunjung usai, baik di negara maju maupun berkembang. Pendekatan yang dilakukan melalui integrasi sektor peternakan dengan pengelolaan limbah domestik menunjukkan bahwa solusi atas permasalahan lingkungan tidak selalu harus bergantung pada teknologi canggih yang mahal. Justru, pendekatan yang bersifat lokal, terjangkau, dan mudah diterapkan sering kali lebih efektif dan berkelanjutan. Dari program ini, kita belajar bahwa kreativitas dan pemanfaatan potensi sekitar dapat menjadi kunci dalam menyelesaikan masalah lingkungan. Ayam ternak yang selama ini hanya dianggap sebagai sumber pangan, ternyata juga memiliki peran strategis dalam mengurangi volume sampah organik rumah tangga. Pendekatan semacam ini membuka cakrawala baru dalam melihat hubungan antara manusia, lingkungan, dan hewan ternak. Jika dikelola dengan baik, solusi berbasis kearifan lokal ini tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga dapat meningkatkan ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk menjadikan inisiatif seperti ini sebagai inspirasi dalam merancang kebijakan pengelolaan sampah yang inovatif, inklusif, dan berbasis pada potensi lokal.Jika Anda tertarik untuk menerapkan solusi inovatif dalam pengelolaan sampah dan mencari pendekatan yang tepat bagi kebutuhan lingkungan di komunitas atau bisnis Anda, kunjungi halaman Satuplatform disini!. Sebagai all-in-one solution untuk konsultasi lingkungan, Satuplatform menyediakan layanan terpadu mulai dari asesmen, perencanaan, hingga implementasi solusi berkelanjutan yang sesuai dengan potensi lokal. Dapatkan panduan langsung dari para ahli dan dapatkan FREE DEMO untuk wujudkan program lingkungan yang berdampak nyata bersama Satuplatform! Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend …

energi biomassa

Jenis Energi Biomassa yang Lebih Ramah Lingkungan: Solusi dari Limbah, Bukan dari Hutan

Tidak semua jenis sumber energi biomassa memberikan dampak lingkungan yang positif. Penggunaan biomassa yang berasal dari penebangan pohon secara langsung berpotensi memperparah deforestasi dan degradasi ekosistem.  Oleh karena itu, penting bagi Indonesia untuk memfokuskan pemanfaatan biomassa yang bersumber dari limbah organik agar bisa mendukung tujuan keberlanjutan dan energi hijau. Bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan momentum ini untuk memajukan biomassa yang ramah lingkungan? Baca Juga: Berbagai Jenis Sumber Energi Biomassa dan Proses Konversinya Klasifikasi Energi Biomassa: Dari Limbah ke Energi Biomassa merupakan bahan organik yang dapat digunakan sebagai sumber energi dan berasal dari berbagai sumber seperti limbah pertanian, limbah industri, limbah hewani, alga, serta residu hutan.  Klasifikasi biomassa ini penting untuk menentukan dampak lingkungannya, terutama dalam menghindari eksploitasi hutan yang berlebihan. Di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, biomassa yang berasal dari limbah pertanian dan sampah organik industri banyak dikembangkan sebagai alternatif energi yang berkelanjutan. 3 Jenis Sumber Energi Biomassa yang Lebih Ramah Lingkungan Penggunaan kayu utuh sebagai bahan energi biomassa perlu dikurangi dan dihindari. Penebangan pohon untuk menyediakan pasokan seperti ini dapat memperburuk deforestasi yang tentu akan merusak keseimbangan ekosistem alami. Jenis energi biomassa yang lebih ramah lingkungan bisa didapatkan dari berbagai jenis limbah dan organisme laut.  1. Limbah Pertanian Limbah pertanian seperti jerami, sekam padi, dan ampas tebu merupakan jenis biomassa yang paling banyak tersedia dan relatif ramah lingkungan. Penggunaannya sebagai sumber energi tidak menambah tekanan terhadap lahan atau hutan karena merupakan produk sampingan dari kegiatan pertanian.  Konversi sumber limbah ini dapat dilakukan dengan cara yang efisien dan bersih, misalnya melalui proses pembakaran termal atau anaerobik digestion. 2. Sisa Industri  dan Hewani Biomassa juga dapat diperoleh dari limbah industri seperti sisa pengolahan kayu, limbah makanan, serta kotoran ternak dan dinilai sangat cocok untuk dikembangkan di kawasan industri dan pertanian karena mendukung ekonomi sirkular dan pengelolaan limbah yang lebih bertanggung jawab. Dengan memanfaatkan teknologi seperti gasifikasi dan pirolisis, limbah ini dapat dikonversi menjadi bioenergi dengan nilai kalor tinggi dan jejak karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan bahan bakar fosil. 3. Alga & Mikroalga Alga dan mikroalga muncul sebagai sumber energi biomassa masa depan yang menjanjikan karena tidak memerlukan lahan daratan yang luas. Di samping itu, organisme laut ini dapat tumbuh dengan cepat di lingkungan perairan yang sesuai. Wilayah pesisir Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan biomassa dari mikroalga sebagai energi terbarukan yang efisien dan ramah lingkungan secara masal.  Tren Global: Fokus pada Biomassa Berbasis Limbah Di kawasan Uni Eropa, sejumlah negara mulai memperbarui kriteria keberlanjutan bioenergi mereka agar lebih selaras dengan prinsip ekonomi sirkular dan target dekarbonisasi jangka panjang.  Kebijakan ini mengutamakan sumber biomassa yang rendah emisi dan tidak bersaing dengan kebutuhan pangan maupun konservasi ekosistem hutan. Upaya tersebut mencerminkan keseriusan untuk mengintegrasikan biomassa ke dalam kerangka ekonomi rendah karbon tanpa memperparah kerusakan lingkungan. Selain dari sisi kebijakan, dinamika teknologi dan investasi juga menunjukkan pergeseran yang serupa. REN21 mencatat adanya peningkatan investasi dalam teknologi bioenergi canggih yang mampu mengolah limbah pertanian, sampah organik dari rumah tangga, serta residu industri menjadi energi.  Inovasi ini menciptakan peluang baru bagi pemanfaatan sumber daya lokal yang sebelumnya tidak termanfaatkan, sekaligus membantu mengurangi emisi dari sektor limbah dan energi secara bersamaan. Kebijakan dan inovasi di atas memperlihatkan bahwa trend pendekatan energi biomassa berbasis limbah tidak hanya lebih berkelanjutan secara ekologis, tetapi juga makin layak secara ekonomi dan teknologi.  Peluang untuk Indonesia dan Kawasan Asia Tenggara Sebuah studi berjudul “ Biomass Energy: An Overview of Biomass Sources, Energy Potential, and Management in Southeast Asian Countries” menjelaskan bahwa Indonesia dan Asia Tenggara memiliki posisi yang unik untuk memanfaatkan sumber energi biomassa dari limbah pertanian yang melimpah.  Kawasan ini menghasilkan limbah yang melimpah seperti sekam padi, batang jagung, dan limbah kelapa sawit, yang dapat berfungsi sebagai bahan baku berkelanjutan untuk bioenergi.  Meskipun potensinya menjanjikan, tantangan seperti kapasitas teknologi, logistik rantai pasokan, dan manajemen keberlanjutan perlu ditangani. Kebijakan saat ini menunjukkan dukungan yang makin besar terhadap energi biomassa, tetapi investasi dalam infrastruktur dan teknologi pemrosesan yang inovatif tetap penting untuk mewujudkan potensi ini sepenuhnya.  Masa Depan Sumber Energi Biomassa dari Limbah, Bukan Hutan Pengembangan energi biomassa yang berkelanjutan harus memprioritaskan penggunaan limbah organik dan sumber yang tidak merusak hutan. Dengan dukungan kebijakan dan ekosistem inovasi yang tepat, biomassa berbasis limbah berpotensi menjadi elemen kunci dalam bauran energi bersih masa depan, terutama di negara-negara yang memiliki volume limbah pertanian dan organik yang tinggi.  Indonesia dapat berkontribusi nyata pada target dekarbonisasi sambil mengembangkan industri energi hijau yang kompetitif. Saatnya bagi pelaku industri dan pembuat kebijakan untuk fokus pada biomassa dari limbah, membuka peluang baru bagi energi terbarukan yang ramah lingkungan. Gunakan FREE DEMO Satuplatform untuk mengoptimalkan strategi sustainability perusahaan Anda. Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want to be left-behind. From biodegradable packaging to cruelty-free testing and vegan formulas, brands are racing to meet the growing consumer demand for environmentally responsible products.  However, beneath the glossy labels and eco-marketing lies a lesser-known contradiction, that some beauty materials like synthetic silicones are presenting as a new environmental challenge. This article will explore the environmental cost of silicones in the beauty industry. Read other articles : Business Adaptation Amid Environmental Challenges Why Silicones in Beauty Products? Silicones are a group of… Unveiling the Environmental Footprint of Vaping Culture Over the past decade, vaping has been marketed as a cleaner alternative to traditional smoking. The trend of e-cigarettes and vape …

industri hijau

Produk Berbasis Alam: Dasar Transformasi Industri Hijau di Sektor Kosmetika

Kesadaran konsumen terhadap dampak lingkungan dari produk sehari-hari mendorong perubahan besar di berbagai sektor, termasuk industri kosmetik. Makin banyak pelaku industri yang beralih ke solusi berbasis alam (nature-based solutions) untuk menciptakan produk keseluruhan yang tidak hanya aman bagi kulit, tetapi juga ramah bagi bumi. Transformasi ini menandai bagian dari pergeseran yang lebih luas menuju industri hijau. Baca Juga: 5 Brand Kosmetik yang Mendukung ESG Tren Industri yang Menggerakkan Kosmetik Hijau Industri kosmetik kini menjadi bagian dari transformasi industri hijau dengan meningkatnya permintaan konsumen akan produk yang bersih, transparan, dan berkelanjutan.  Faktor utama yang mendorong perubahan ini adalah kepedulian konsumen terhadap kesehatan dan etika, serta meningkatnya kesadaran akan jejak lingkungan dari produk kecantikan  Konsumen kini lebih cermat dalam memilih merek yang menawarkan bahan alami, klaim keberlanjutan yang kredibel, serta komitmen terhadap pelestarian lingkungan. Perubahan pilihan konsumen ini mendorong jenama (brand) untuk menyesuaikan strategi pemasaran dan produksinya agar lebih selaras dengan nilai-nilai keberlanjutan. Bahan Alami dan Praktik Sumber Daya Berkelanjutan di Industri Kosmetik Hijau Solusi berbasis alam memainkan peran sentral dalam strategi sustainability industri kosmetik, terutama melalui penggunaan bahan-bahan alami yang diperoleh dari praktik pertanian berkelanjutan.  Salah satu pelaku ternama di industri ini, Garnier, telah mengadopsi praktik agroforestri dan pertanian regeneratif untuk mendapatkan bahan-bahan seperti argan dan lidah buaya, yang membantu mengurangi deforestasi dan meningkatkan kualitas tanah. Pendekatan ini tidak hanya menjaga ekosistem hutan, tetapi juga mendukung komunitas lokal yang terlibat dalam rantai pasok. Namun, meningkatnya permintaan terhadap bahan alami juga membawa tantangan dalam memastikan keberlanjutan jangka panjang. Walaupun bahan alami seperti minyak esensial, ekstrak tumbuhan, dan fermentasi mikroba makin populer, rantai pasok yang tidak terkendali berisiko menyebabkan over eksploitasi.  Oleh karena itu, diperlukan sistem pemantauan dan sertifikasi untuk menjamin praktik pengambilan sumber daya yang bertanggung jawab. Inovasi Industri Hijau dalam Sustainability dan Ekonomi Sirkular Inovasi dalam industri kosmetik kini diarahkan untuk mengurangi dampak lingkungan melalui pendekatan ekonomi sirkular, yang berfokus pada pengurangan limbah dan optimalisasi siklus hidup produk.  Strategi utama adalah pengembangan produk kosmetik nol limbah (zero waste cosmetics), yang tidak hanya mencakup pengurangan bahan berbahaya. Perusahaan juga perlu mengintegrasikannya dengan pemilihan bahan alami yang mudah terurai, pengurangan volume kemasan, dan desain yang memungkinkan penggunaan ulang.  Berbagai jenama terkemuka mulai mengintegrasikan prinsip design for longevity dengan membuat produk dan kemasan yang dapat digunakan kembali, diisi ulang, atau didaur ulang.  Tidak sedikit yang sudah memanfaatkan inovasi bahan biodegradable, seperti pengganti plastik dari bahan berbasis tumbuhan.  Proses produksi juga diarahkan untuk meminimalkan limbah industri, baik dalam bentuk cairan, padat, maupun emisi, melalui efisiensi energi dan manajemen sisa bahan. Perusahaan juga berusaha mengurangi jejak karbon mereka melalui pengolahan bahan baku yang lebih efisien dan penggunaan energi terbarukan dalam proses produksi.  Pendekatan ini mencerminkan meningkatnya kesadaran terhadap dampak tidak langsung (Scope 3 emissions) yang selama ini sulit dikendalikan. Strategi ini tidak hanya berdampak positif terhadap lingkungan, tetapi juga memperkuat posisi merek di mata konsumen yang mengutamakan nilai keberlanjutan. Tantangan Industri Hijau Sektor Kosmetika: Greenwashing dan Regulasi Peningkatan permintaan konsumen terhadap produk yang ramah lingkungan diiringi dengan makin mencuatnya tantangan greenwashing dalam industri kosmetika. Banyak perusahaan  mengklaim praktik sustainability tanpa transparansi yang memadai dengan menggunakan istilah seperti “natural“, “eco-friendly“, atau “green” tanpa bukti atau standar yang jelas.  Fenomena ini telah menyebabkan kebingungan konsumen dan mengikis kepercayaan terhadap klaim industri hijau yang beredar di pasaran. Menanggapi persoalan ini, Uni Eropa telah mengambil langkah konkret dengan memperkenalkan proposal Green Claims Directive melalui European Parliament Think Tank. Proposal tersebut menjadi dasar aturan bagi produsen untuk membuktikan secara ilmiah semua klaim lingkungan yang mereka ajukan, diverifikasi oleh pihak ketiga independen, dan dijelaskan dengan transparan kepada publik. Tujuan utamanya adalah memerangi praktik misleading dan memastikan bahwa hanya produk dengan dampak lingkungan yang benar-benar terbukti yang dapat diklaim sebagai ramah lingkungan. Inisiatif ini juga merupakan bentuk perlindungan bagi konsumen.  Tantangan bagi pelaku bisnis di sektor industri kosmetika tidak hanya berasal dari pemerintah dan regulator, tetapi juga dari konsumen dan investor yang makin kritis terhadap integritas strategi keberlanjutan.  Mereka menginginkan transparansi data lingkungan, termasuk perhitungan jejak karbon, sumber bahan baku, dan proses manufaktur, untuk menilai sejauh mana komitmen merek terhadap pengurangan dampak ekologis. Secara garis besar, industri kosmetik tengah menjalani transformasi menuju praktik yang lebih ramah lingkungan melalui integrasi solusi berbasis alam, desain sirkular, dan keterbukaan informasi.  Namun, untuk memastikan dampak positif yang berkelanjutan, dibutuhkan sinergi antara inovasi industri, regulasi yang kuat, dan kesadaran konsumen yang terus tumbuh sebagai monitor pendampingan perkembangan industri hijau di sektor ini.  Tentang Satuplatform   Satuplatform hadir sebagai solusi end-to-end yang memandu perusahaan dalam penerapan solusi sustainability yang tepat dengan berbagai fitur yang disesuaikan kebutuhan perusahaan. Manfaatkan  FREE DEMO Satuplatform dan tentukan strategi sustainability yang tepat untuk perusahaan dan industri Anda. Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want to be left-behind. From biodegradable packaging to cruelty-free testing and vegan formulas, brands are racing to meet the growing consumer demand for environmentally responsible products.  However, beneath the glossy labels and eco-marketing lies a lesser-known contradiction, that some beauty materials like synthetic silicones are presenting as a new environmental challenge. This article will explore the environmental cost of silicones in the beauty industry. Read other articles : Business Adaptation Amid Environmental Challenges Why Silicones in Beauty Products? Silicones are a group of… Unveiling the Environmental Footprint of Vaping Culture Over the past decade, vaping has been marketed as a cleaner alternative to traditional smoking. …

deforestasi

Apakah Deforestasi Dapat Memicu Krisis Pangan Berikutnya Melalui Perubahan Iklim?

Perubahan iklim menjadi salah satu ancaman terbesar bagi ketahanan pangan global. Deforestasi, yaitu penggundulan hutan yang masif, berkontribusi signifikan terhadap perubahan iklim dan langsung memengaruhi produksi pangan.  Pertanyaannya, apakah penggundulan hutan memperburuk ancaman ketahanan pangan yang sedang dihadapi berbagai belahan dunia  melalui dampaknya terhadap lingkungan dan iklim? Baca Juga: Ribuan Hektar Hutan Hilang Akibat Deforestasi Setiap Tahunnya! Deforestasi dan Dampaknya terhadap Ketahanan Pangan  Menurut World Economic Forum (2025), hutan yang sehat membantu menstabilkan iklim lokal dan mendukung siklus air penting bagi pertanian.  Penggundulan hutan menyebabkan degradasi tanah melalui hilangnya tutupan pohon yang menjaga kesuburan dan mencegah erosi.  Kondisi tersebut menurunkan curah hujan dan kualitas air, serta meningkatkan limpasan air yang membawa tanah, bahan kimia, dan limbah ke sungai hingga menimbulkan pencemaran pada sumber air.  Ketika hutan dibuka, manusia dan hewan liar makin sering berinteraksi dan meningkatkan penyebaran penyakit zoonosis seperti Ebola dan malaria.  Hilangnya habitat juga mendorong migrasi hewan pembawa penyakit ke area pemukiman dan meningkatkan ancaman kepunahan karena berkurangnya sumber makanan, air, dan tempat berlindung bagi satwa. Lebih buruk lagi, penebangan hutan menghilangkan kemampuan alami pohon untuk menyerap karbon dioksida dan menyaring polutan udara, sehingga meningkatkan emisi gas rumah kaca seperti CO₂, metana, dan nitrous oxide.  Akibatnya, suhu lokal meningkat tajam dan memperparah pemanasan global. Sebagian besar deforestasi dipicu oleh ekspansi pertanian komoditas, terutama di negara tropis seperti Indonesia dan Madagaskar. Kombinasi dampak-dampak tersebut dapat mengarah pada menurunnya variasi dan ketersediaan ragam hewan dan tumbuhan untuk makanan.  Mengamati peran utama hutan dan dampak dari penggundulan hutan, penggundulan hutan berperan sebagai pemicu perubahan iklim yang berkontribusi pada ancaman ketahanan pangan di daerah terdampak. Studi Kasus WWF Brazil Pada tahun 2022, WWF Brazil dalam publikasi berjudul A Technical Note by WWF-Brazil gathers studies that show how deforestation impairs productivity in the field mengungkapkan studi kasus dampak deforestasi pada rantai produksi.  Penggundulan hutan menyebabkan penurunan produktivitas pertanian dan kerugian ekonomi signifikan bagi agribisnis. Di Brasil, produktivitas kedelai turun 12% di Amazon dan 6% di Cerrado (1985–2012), dengan potensi kerugian hingga 26% untuk kedelai dan 32% untuk padang rumput pada 2050. Pendapatan kotor per hektar kedelai turun rata-rata US$158,50 per tahun akibat hilangnya fungsi regulasi iklim. Kerugian akibat penggundulan hutan tak hanya berdampak pada petani, tetapi juga pada seluruh rantai nilai. Perusahaan Brasil terancam kehilangan hingga BRL 24 miliar akibat kerusakan reputasi, kehilangan pasar, dan gangguan ekosistem. Di Mato Grosso saja, potensi kerugian bisa mencapai US$1,8 miliar pada 2050. Studi ini menunjukkan bahwa makin tinggi tingkat penggundulan hutan (10–40%), makin besar pula penurunan pendapatan dari kedelai dan daging sapi. Jika tidak ditangani, deforestasi akan terus melemahkan ketahanan pasokan dan keberlanjutan bisnis jangka panjang. Solusi dan Langkah-Langkah Mitigasi  Untuk memitigasi dampak dari praktik deforestasi, perlindungan dan restorasi hutan serta kombinasi penanaman pohon di lahan pertanian adalah solusi yang terus digalakan.  1. Restorasi Hutan untuk Menjaga Air dan Tanah Hutan berperan penting dalam menjaga kualitas air dan kesuburan tanah. Daerah aliran sungai berhutan menyediakan air bersih bagi lebih dari 85% kota besar dunia dan mendukung ketahanan pangan 1,7 miliar orang.  Hutan menyerap curah hujan dan menjaga aliran air secara konsisten, sekaligus memperkaya tanah melalui daur ulang nutrisi. Namun, sepertiga tanah global mengalami degradasi, sehingga restorasi hutan dan pengelolaan berkelanjutan sangat krusial untuk menjaga produktivitas pertanian dan ekosistem. 2. Konservasi Hutan Konservasi hutan penting untuk mengurangi emisi karbon, menjaga keanekaragaman hayati, dan mencegah degradasi lahan. Inisiatif global seperti 1t.org mengajak sektor swasta berkomitmen menanam dan merestorasi milyaran pohon.  Contohnya, program “JUNTOS” dari Fresh Del Monte berhasil melakukan reboisasi, melindungi habitat satwa, dan mengedukasi komunitas lokal, menunjukkan peran strategis konservasi dalam keberlanjutan bisnis. 3. Agroforestri  Praktik mengintegrasikan penanaman pohon ke dalam sistem pertanian ini menawarkan solusi berkelanjutan untuk mengatasi ancaman deforestasi dan perubahan iklim.  Dengan menanam pohon bersama tanaman pangan, agroforestri meningkatkan kesuburan tanah, menyimpan karbon, dan menjaga siklus air. Selain itu, agroforestri dapat membantu bisnis mengelola risiko iklim sekaligus memenuhi standar ESG (Environmental, Social, Governance) dengan praktik yang ramah lingkungan. Beberapa negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sudah mengadopsi model ini untuk mengurangi deforestasi sekaligus meningkatkan produktivitas pangan lokal. Bagaimana Pemangku Kepentingan Dapat Berkontribusi? World Economic Forum merekomendasikan kolaborasi pemerintah, pelaku bisnis, peneliti, LSM, dan masyarakat harus dalam langkah-langkah strategis berikut ini. Kebijakan global dan inisiatif seperti komitmen pengurangan deforestasi dan promosi ESG mendukung upaya ini dengan mendorong transparansi pelaporan emisi dan restorasi hutan.Dukung kebijakan sustainability dengan transparansi pengelolaan karbon yang sistematis. Manfaatkan FREE DEMO Satuplatform untuk kontribusi pada ketahanan rantai pasok dan pangan di masa depan. Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want to be left-behind. From biodegradable packaging to cruelty-free testing and vegan formulas, brands are racing to meet the growing consumer demand for environmentally responsible products.  However, beneath the glossy labels and eco-marketing lies a lesser-known contradiction, that some beauty materials like synthetic silicones are presenting as a new environmental challenge. This article will explore the environmental cost of silicones in the beauty industry. Read other articles : Business Adaptation Amid Environmental Challenges Why Silicones in Beauty Products? Silicones are a group of… Unveiling the Environmental Footprint of Vaping Culture Over the past decade, vaping has been marketed as a cleaner alternative to traditional smoking. The trend of e-cigarettes and vape pens have gained favor among younger generations, tech-savvy consumers, and even smokers seeking harm reduction. However, beneath the cloud of flavored vapor lies a less …

industri hijau

Perkembangan Industri Hijau Indonesia: Menavigasi Transisi, Memperkuat Daya Saing

Tekanan global terhadap dekarbonisasi mendorong negara-negara untuk menata ulang strategi industrinya menuju pendekatan yang lebih berkelanjutan. Dengan struktur ekonomi yang masih sangat bergantung pada sektor padat energi fosil, tantangan transisi menuju industri hijau (green industry) menjadi pendekatan krusial bagi Indonesia. Tahun 2025 ini merupakan momentum strategis domestik dengan keputusan Pemerintah Indonesia  untuk memprioritaskan kebijakan hijau. Adopsi pendekatan hijau bagi bisnis di Indonesia membuka peluang transformasi industri nasional. Kebijakan ini menuntut pelaku industri lebih adaptif dalam mengadopsi strategi dekarbonisasi. Baca Juga: Hadapi Krisis Energi, Apa Saja yang Perlu Dilakukan? Mengapa Green Industry Penting bagi Indonesia? Industri hijau didefinisikan sebagai pendekatan manufaktur dan produksi yang mengintegrasikan efisiensi sumber daya dan pengurangan dampak lingkungan secara sistematis. Dalam konteks global, green industry policy dipandang sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, sekaligus alat meningkatkan daya saing jangka panjang. Kondisi ini selaras dengan kebutuhan Indonesia saat ini dan di masa mendatang, terutama dalam sektor ekonomi. Dengan ambisi untuk mencapai nol emisi karbon pada tahun 2025 dan sumber daya yang melimpah, Indonesia berada di persimpangan strategis dalam upaya dekarbonisasi dan pertumbuhan ekonomi.  Jika mampu menyelaraskan transformasi industrinya dengan prinsip hijau, negara ini berpotensi menjadi pemain kunci di kawasan ASEAN. Oleh karena itu, pemerintah memiliki peran krusial dalam memastikan transisi yang adil dan terarah, termasuk melalui intervensi kebijakan yang memperkuat ekosistem green industry nasional. Kebijakan dan Dukungan Pemerintah: Pilar Penggerak Transformasi Pemerintah Indonesia mulai menunjukkan komitmennya melalui peluncuran peta jalan Net Zero Emission dan kebijakan turunan seperti standar industri hijau (SIH) untuk 17 jenis industri serta GISCO (Green Industry Service Company) dari Kementerian Perindustrian.  GISCO berfungsi sebagai agregator antara industri dan penyedia green financing yang diharapkan dapat membantu memperkuat kelembagaan untuk kebutuhan green industry. Sedangkah SIH menjadi kerangka pendukung akuntabilitas pelaku industri dalam upaya operasional yang berprinsip sustainability. Selain itu, dorongan pembiayaan hijau makin dikuatkan dengan diversifikasi pendanaan melalui kolaborasi lintas sektor pada sektor energi terbarukan dan alat berat. Inisiatif-inisiatif ini menunjukkan peran regulasi dan kebijakan fiskal dalam mempercepat transformasi green industry di Indonesia.  Tren dan Praktik Hijau dalam Rantai Pasok Industri Selain green industry policy dan green financing, konsep green supply chain kini turut menjadi sorotan utama. Dengan meningkatnya tuntutan pasar internasional terhadap produk berkelanjutan, regulasi seperti CBAM mulai berdampak signifikan pada strategi ekspor negara berkembang, termasuk Indonesia.  CBAM mengharuskan produsen menelusuri dan melaporkan emisi produk yang mereka ekspor, terutama ke pasar Eropa. Integrasi praktik ramah lingkungan dalam rantai pasok menjadi krusial. Green supply chain dinilai memiliki potensi untuk meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi emisi, serta memperkuat akses ke pasar ekspor.  Di samping itu, implementasi teknologi penelusuran dan transparansi produk juga makin mendesak dalam rangka memenuhi tuntutan akuntabilitas yang menjadi kunci evaluasi keberhasilan penerapan green supply chain. Tantangan Lapangan: Infrastruktur, Pembiayaan, SDM Meski kerangka kebijakan industri hijau di Indonesia mulai terbentuk, akses terhadap infrastruktur pendukung seperti logistik berkelanjutan, energi terbarukan, dan fasilitas produksi rendah emisi masih belum merata.  Akses terhadap pembiayaan hijau juga masih terbatas, terutama untuk industri kecil dan menengah. Begitu pula dengan celah kompetensi SDM dalam menerapkan teknologi dan prinsip green industry.  AIGIS (Annual Indonesian Green Industry Summit) hadir sebagai inisiatif lain pemerintah Indonesia sebagai wadah kolaborasi dengan fokus pada inovasi dan sustainable economy. AIGIS membangun kolaborasi lintas pemangku kepentingan dan pemberdayaan kesadaran masyarakat melalui program kompetisi dan annual summit.  Di tahun 2025, AIGIS hadir dengan fokus pembahasan pengembangan ekosistem industri hijau dan akselerasi dekarbonisasi.  Peluang Nyata: Sektor Prioritas dan Potensi Indonesia Transisi menuju industri hijau di Indonesia  juga memiliki peluang ekonomi strategis. Secara khusus, sektor kendaraan listrik, energi terbarukan (seperti solar dan angin), pengolahan mineral hijau, serta manufaktur berbasis keberlanjutan menjadi area prioritas yang bisa membawa daya saing baru bagi perkembangan green industry Indonesia. Misalnya, dalam konteks hilirisasi nikel, strategi pengelolaan yang berbasis rendah karbon dengan integrasi solar PV dan hydropower berpeluang memperkuat posisi Indonesia sebagai pemasok komponen kendaraan listrik.  Melansir dari Inti Media, kebijakan strategis dan meningkatnya kebutuhan energi bersih diprediksi mendorong pertumbuhan green industry di Indonesia hingga 20% pada tingkat CAGR (pertumbuhan tahunan gabungan).   Pelaku manufaktur yang berhasil mengadopsi standar dan SIH sangat berpeluang mengakses pasar ekspor dengan nilai tambah tinggi karena peluang investasi dan pertumbuhan luas.  Mengubah Tantangan Menjadi Keunggulan Kompetitif Transformasi menuju industri hijau merupakan investasi untuk masa depan ekonomi Indonesia. Negara yang mampu mengintegrasikan kebijakan, teknologi, dan kompetensi SDM akan memiliki keunggulan strategis dalam lanskap ekonomi global yang terus berubah. Kolaborasi berbagai pihak dan pemangku kepentingan, khususnya antara pelaku industri, regulator, penyedia teknologi, dan lembaga pembiayaan adalah sebuah komponen utama untuk menjawab tantangan dengan solusi konkret dan efektif. Mulai langkah bisnis Anda menuju industri hijau dengan strategi, mitra, dan teknologi yang tepat. Pelajari FREE DEMO Satuplatform untuk strategi yang efektif dalam mengintegrasikan prinsip keberlanjutan ke dalam operasional bisnis Anda.  Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want to be left-behind. From biodegradable packaging to cruelty-free testing and vegan formulas, brands are racing to meet the growing consumer demand for environmentally responsible products.  However, beneath the glossy labels and eco-marketing lies a lesser-known contradiction, that some beauty materials like synthetic silicones are presenting as a new environmental challenge. This article will explore the environmental cost of silicones in the beauty industry. Read other articles : Business Adaptation Amid Environmental Challenges Why Silicones in Beauty Products? Silicones are a group of… Unveiling the Environmental Footprint of Vaping Culture Over the past decade, vaping has been marketed as …

sumber energi biomassa

Mengapa Pemanfaatan Sumber Energi Biomassa Masih Minim di Indonesia?

ESDM mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki potensi sumber energi biomassa yang sangat besar, bahkan diprediksi mampu menghasilkan listrik setara 60 GW jika dimanfaatkan secara optimal dari limbah pertanian dan kehutanan seperti serbuk kayu dan kelapa sawit.  Namun, hingga kini adopsi biomassa sebagai sumber energi terbarukan masih tertinggal dibandingkan dengan tenaga surya dan air. Di tengah urgensi transisi energi dan tekanan global untuk menurunkan emisi, stagnasi ini menimbulkan pertanyaan: mengapa energi biomassa belum menjadi primadona dalam bauran energi nasional?  Baca Juga: Optimasi Potensi Sumber Energi Biomassa dengan Carbon & ESG Management Satuplatform Apa Itu Energi Biomassa dan Apa Saja Ragamnya? Energi biomassa berasal dari bahan organik seperti limbah pertanian, residu kehutanan, limbah industri, dan kotoran hewan yang dapat dibakar langsung atau dikonversi menjadi bioenergi seperti biogas, bioetanol, dan biodiesel. Jenis-jenis utama biomassa meliputi: Secara global, sumber energi biomassa telah digunakan secara luas semenjak zaman lampau. Melalui berbagai jenis proses kimia pemanfaatan biomassa yang terintegrasi dengan sistem energi modern sangat mungkin dilakukan.  Swedia telah mengoptimalkan sumber energi biomassa dari hutan negara untuk pemanasan, listrik, dan biofuel. Sedangkan Jerman memanfaatkan biofuel untuk sebagai bahan bakar transportasi, dan biogas untuk alat pemanas dan penghasil listrik.  Minimnya Pemanfaatan Limbah Kayu Indonesia memiliki potensi biomassa yang sangat menjanjikan, dengan estimasi pasokan biomassa mencapai 146 juta ton/tahun.  Pada tahun 2023, ESDM menyebut bahwa pemanfaatan campuran limbah pertanian dan kehutanan (biomass co-firing) di 42 lokasi di Indonesia dapat menghasilkan 2.740 GWh energi ramah lingkungan dan mengonsumsi 2,2 juta ton biomassa. Tidak hanya itu saja, provinsi seperti Kalimantan Timur telah mengidentifikasi potensi besar biomassa dari kayu, limbah kelapa sawit, dan residu pertanian di Indonesia.  Temuan ini menunjukkan peluang besar bagi industri pengolahan limbah dan energi untuk menjalin kemitraan dengan pemerintah daerah untuk memberdayakan sumber energi biomassa dalam memenuhi kebutuhan pasokan listrik regional maupun nasional. Tantangan dan Hambatan Adopsi Energi Biomassa Pemanfaatan potensi energi biomassa di Indonesia masih minim akibat sejumlah tantangan yang dihadapi industri maupun regulator.  1. Kebijakan dan regulasi yang belum matang Kerangka regulasi yang belum stabil membuat skema insentif dan regulasi harga pembelian listrik dari biomassa belum menarik investor. 2. Keterbatasan infrastruktur dan teknologi Kurangnya fasilitas pengolahan limbah menjadi energi serta minimnya teknologi konversi biomassa modern menghambat skala implementasi. 3. Keekonomian dan pasar Harga keekonomian biomassa seringkali kalah saing dengan batu bara atau solar bersubsidi. Selain itu, belum ada mekanisme jangka panjang seperti PPA (Power Purchase Agreement) yang menguntungkan bagi produsen energi biomassa. 4. Distribusi pasokan Pasokan biomassa tersebar dan bergantung pada musim serta aktivitas industri menyulitkan kestabilan pasokan bagi pembangkit. Studi Kasus Singkat  Di tengah berbagai tantangan dan keterbatasan, sejumlah daerah di Indonesia telah berkomitmen memanfaatkan sumber energi biomassa untuk kebutuhan pasokan listrik lokal  1. Ekosistem Biomassa Tasikmalaya Di Tasikmalaya, Jawa Barat (30 September 2024), PLN melalui subholding PLN Energi Primer Indonesia memperluas program pemanfaatan biomassa berbasis ekonomi kerakyatan. Program ini bertujuan mendorong transisi energi sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani dengan memanfaatkan tanaman indigofera di lahan kritis.  Melalui pendekatan pertanian terpadu dan partisipasi kelompok tani, indigofera dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan bahan bakar co-firing biomassa. Program ini diluncurkan secara resmi pada 26 September 2024 dan telah memberdayakan lebih dari 400 warga dengan proyeksi nilai ekonomi Rp30 miliar per tahun. 2. PLTBm di Provinsi Kalimantan Barat  Di Desa Wajok Hulu, Kecamatan Siantan, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) pertama di provinsi tersebut sekaligus yang pertama oleh swasta di daratan Kalimantan.  Tujuan utamanya adalah meningkatkan kapasitas pasokan listrik dan mempercepat pemenuhan kebutuhan listrik di daerah yang belum teraliri, yang masih mencakup sekitar 24% wilayah Kalbar.  PLTBm ini mulai beroperasi pada April 2018 dan menghasilkan listrik hingga 10 MW yang disalurkan ke jaringan PLN melalui sistem jaringan Khatulistiwa. Listrik dihasilkan dari pembakaran limbah pertanian seperti cangkang sawit dan sabut kelapa, menggunakan sistem serupa PLTU namun dengan energi terbarukan yang bersumber dari biomassa. Mengapa Pemanfaatan Sumber Energi Biomassa Perlu Dipercepat Di Indonesia? Energi biomassa di Indonesia tidak kekurangan potensi tetapi terkendala pada aspek regulasi, infrastruktur, dan keekonomian. Agar biomassa tidak menjadi potensi yang terus tertunda, diperlukan pendekatan strategis yang meliputi: Dengan sinergi pemanfaatan, perangkat, dan regulasi yang tepat, biomassa dapat menjadi komponen penting dalam pencapaian target dekarbonisasi Indonesia dan  mendukung ketahanan energi dan pembangunan berkelanjutan.Kelola strategi dekarbonisasi bisnis Anda dengan lebih terarah bersama Satuplatform. Coba FREE DEMO kami segera untuk merasakan kemudahannya. Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want to be left-behind. From biodegradable packaging to cruelty-free testing and vegan formulas, brands are racing to meet the growing consumer demand for environmentally responsible products.  However, beneath the glossy labels and eco-marketing lies a lesser-known contradiction, that some beauty materials like synthetic silicones are presenting as a new environmental challenge. This article will explore the environmental cost of silicones in the beauty industry. Read other articles : Business Adaptation Amid Environmental Challenges Why Silicones in Beauty Products? Silicones are a group of… Unveiling the Environmental Footprint of Vaping Culture Over the past decade, vaping has been marketed as a cleaner alternative to traditional smoking. The trend of e-cigarettes and vape pens have gained favor among younger generations, tech-savvy consumers, and even smokers seeking harm reduction. However, beneath the cloud of flavored vapor lies a less publicized reality. It is about a growing environmental footprint that poses critical challenges to sustainability, waste management, and corporate responsibility. Read other articles : The Environmental …

ghg emission

Key Trends of GHG Emission in 2025 for Climate-Forward Companies

2025 is poised to be a transformative year for environmental, social, and governance (ESG) practices and overall corporate sustainability. Driven by escalating regulatory pressures, urgent climate challenges, and rapid advancements in artificial intelligence, how does this dynamic shape the GHG emission trends for companies?  In fact, as businesses worldwide accelerate their race towards ambitious 2030 sustainability goals, they find themselves amidst an accelerating ecological transition that demands proactive engagement. If they don’t want to fall behind, companies must take an immediate review of their decarbonization strategies, and explore and prepare to adjust it accordingly to prove their commitment as climate-forward companies from this year of 2025. Other Article: Carbon Pricing: An Approach to Reduce Greenhouse Gas (GH) The Compliance Imperative: Regulatory Shifts and Expanding Carbon Markets  Companies should note the regulatory shifts. Currently, the landscape of GHG accounting is definitively shifting from a voluntary approach to a mandatory compliance mindset across the globe.  This transition is fueled by the continuous rollout of regulatory disclosures, specifically focused on greenhouse gas emissions and climate risk. These factors intensify demands for emissions reductions through tightening international climate policies.  Aside from the Paris Agreement that Recessary highlights to be the center of carbon credit trading growth, the European Union stands as a prominent policy pioneer, spearheading efforts towards carbon neutrality by 2050. Their regulatory frameworks are comprehensive and clearly reflect the heightened expectations for emissions reductions. They includes the following aspects: Concurrently, global carbon markets are experiencing expansion, significantly bolstered by the implementation of Article 6 agreements. Compliance systems, such as the EU’s ETS,  are key drivers in this market evolution; even developing nations are establishing their own carbon markets, with a sector-tailored approach, to mobilize vital climate finance. This predictive initiative will impact transparency and traceability of companies’ carbon strategy.  Correspondingly, in 2025, businesses’ critical focus will be the decarbonization of entire supply chains, with particular emphasis on addressing Scope 3 emissions. Innovation and Technology that Drives GHG Emission Strategy and Data Excellence  This year is also expected to witness an accelerated transition towards renewable energy sources, propelled by global net-zero goals and significant advancements in clean technologies like solar, wind, and green hydrogen.  This vital shift directly supports efforts to reduce Scope 1 and Scope 2 carbon emissions.  Beyond energy, groundbreaking advancements are expected in Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) technologies, alongside the development of innovative carbon-negative polymers. Furthermore, Natural Climate Solutions (NCS) are gaining traction as effective strategies for absorbing and storing greenhouse gases. Crucially, artificial intelligence (AI) and big data are set to revolutionize sustainability efforts by optimizing resource utilization and enhancing energy efficiency across industries. More specifically for ESG, AI will automate ESG data collection which is expected to significantly improve metrics accuracy, and enable real-time reporting essential for meeting evolving regulations.  This amplified the necessity of improvement in carbon data management and credibility, especially for organizations that are just beginning their GHG reporting journeys. Navigating Complex Shifts with Efficient and Strategic Data It’s unavoidable for companies around the world to note the intensified GHG emissions necessity that is characterized by stricter regulatory compliance, innovation in technology and energy utilization, and stronger commitment to robust and valid data.  To effectively navigate these intricate shifts and position themselves as leaders, climate-forward companies must embrace comprehensive digital ESG tools for efficient data management, accurate reporting, and strategic decarbonization planning. Satuplatform comes with an end-to-end solution to support your company’s effort in climate actions through an array of tailored services and consultations for various industries. Benefit from our FREE DEMO to take a step into a greener future immediately! Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want to be left-behind. From biodegradable packaging to cruelty-free testing and vegan formulas, brands are racing to meet the growing consumer demand for environmentally responsible products.  However, beneath the glossy labels and eco-marketing lies a lesser-known contradiction, that some beauty materials like synthetic silicones are presenting as a new environmental challenge. This article will explore the environmental cost of silicones in the beauty industry. Read other articles : Business Adaptation Amid Environmental Challenges Why Silicones in Beauty Products? Silicones are a group of… Unveiling the Environmental Footprint of Vaping Culture Over the past decade, vaping has been marketed as a cleaner alternative to traditional smoking. The trend of e-cigarettes and vape pens have gained favor among younger generations, tech-savvy consumers, and even smokers seeking harm reduction. However, beneath the cloud of flavored vapor lies a less publicized reality. It is about a growing environmental footprint that poses critical challenges to sustainability, waste management, and corporate responsibility. Read other articles : The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry As with any fast-moving consumer product, the business of vaping brings with it not only profits but also a complex trail of… Earth Day: Act to Love the Earth Way More Better The world commemorates Earth Day every year on April 22nd, as a global reminder to reflect on how we treat our planet and what action we could take to contribute to a better environment.  Baca juga artikel lainnya : Optimasi Potensi Sumber Energi Biomassa dengan Carbon & ESG Management Satuplatform Our planet is currently grappling with numerous environmental challenges, from ecosystem degradation and air pollution to waste management issues …

agroforestry

Agroforestry: A Nature-Based Climate Solution

As climate change intensifies, conventional agriculture faces increasing pressure. Integrating trees into farmland through agroforestry offers a transformative, nature-based path forward, turning agriculture into a powerful climate solution.  It’s an approach that integrates trees and shrubs into a crop and livestock system. This method not only restores ecosystems but also supports farmers in adapting to environmental stresses, positioning it as a vital strategy for climate mitigation and adaptation. Other Article: Balancing Biodiversity and Livelihood: The Future of Agroforestry in Indonesia Its Role in Climate Mitigation  Harmoniously planting trees and shrubs offers a promising future for sustainable farming and is a powerful approach to mitigating climate change. Below are three key climate benefits.  1. Carbon Sequestration Trees planted when practicing agroforestry systems act as carbon sinks by capturing CO₂ through tree biomass and soil organic matter. As trees and other plants absorb carbon dioxide from the atmosphere, it reduces the GHG emissions.  2. Biodiversity Enhancement Unlike monocultures, agroforestry systems maintain structural complexity and a variety of species, offering critical habitats for flora and fauna. These biodiversity gains contribute to ecosystem stability and resilience under climate stress. 3. Soil and Water Conservation Tree roots stabilize soil, reduce erosion by holding the soil intact, and enhance water infiltration. Thus, these systems improve soil health and microclimates, which help maintain productivity during droughts. Socio-Economic Benefits for Communities  The agroforestry system also preserves benefits for the socio-economic sector for community well-being.  1. Livelihood Diversification Agriculture combined with the forestry approach allows farmers to diversify income through timber, fruits, spices, or medicinal plants, reducing reliance on a single crop. This flexibility buffers rural communities from price shocks and crop failure, allowing year round income as well. 2. Food Security Trees interplanted with crops contribute to year-round food sources while improving soil fertility and moisture retention. These factors are critical for food resilience in changing climates.  3. Community Empowerment Community-led agroforestry initiatives, especially those involving traditional ecological knowledge, have empowered rural groups to manage resources sustainably and equitably. Agroforestry in Practice: Indonesian Case Studies  This approach is not a new agriculture method. It’s been practiced by indigenous communities across the globe. In Indonesia, a notable case is from Batutegi Protection Forest, Lampung.  Batutegi is actually a protected forest which was converted to farms and gravely suffers biodiversity loss and increased GHG emissions. To combat this, Batutegi farmers adopted agrisilviculture, a specific agriculture and forestry type that blends crops like coffee, pepper, and rubber with forest trees.  It successfully increased carbon stock beyond national averages for coffee agroforestry, demonstrating its environmental benefit.  While biodiversity needs improvement, this method offers a viable path to sustain livelihoods while protecting vital forest ecosystems, showcasing how thoughtful land management can turn a problem into a solution. Scaling Agroforestry’s Climate Impact The following aspects are necessary to scale its impact in combating climate issues.  1. Policy Integration & Finance Integrate agroforestry into National Climate Strategies (NDCs). Bolster this with robust financial mechanisms, overcoming initial costs and empowering farmer adoption through partnerships. 2. Farmer Empowerment & Knowledge Empower farmers with essential knowledge, capacity, and cost-sharing or co-financing for effective implementation. 3. Technology for MRV Leverage technology for precise monitoring, reporting, and verification (MRV). It’s crucial for accurately quantifying climate contributions like carbon sequestration and ecosystem health. 4. Data-Driven Impact A data-driven through systematic tree monitoring approach ensures transparent, long-term impact verification, securing agroforestry’s role as a measurable climate solution Agroforestry for Sustainability Agroforestry stands as a powerful nature-based solution, delivering vital environmental and socio-economic benefits. For businesses committed to restoring ecosystems and achieving climate targets, embracing this approach is strategic. Explore how Satuplatform’s end-to-end solutions can empower your journey. Get a FREE DEMO to step into a more sustainable future! Similar Article Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want to be left-behind. From biodegradable packaging to cruelty-free testing and vegan formulas, brands are racing to meet the growing consumer demand for environmentally responsible products.  However, beneath the glossy labels and eco-marketing lies a lesser-known contradiction, that some beauty materials like synthetic silicones are presenting as a new environmental challenge. This article will explore the environmental cost of silicones in the beauty industry. Read other articles : Business Adaptation Amid Environmental Challenges Why Silicones in Beauty Products? Silicones are a group of… Unveiling the Environmental Footprint of Vaping Culture Over the past decade, vaping has been marketed as a cleaner alternative to traditional smoking. The trend of e-cigarettes and vape pens have gained favor among younger generations, tech-savvy consumers, and even smokers seeking harm reduction. However, beneath the cloud of flavored vapor lies a less publicized reality. It is about a growing environmental footprint that poses critical challenges to sustainability, waste management, and corporate responsibility. Read other articles : The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry As with any fast-moving consumer product, the business of vaping brings with it not only profits but also a complex trail of… Earth Day: Act to Love the Earth Way More Better The world commemorates Earth Day every year on April 22nd, as a global reminder to reflect on how we treat our planet and what action we could take to contribute to a better environment.  Baca juga artikel lainnya : Optimasi Potensi Sumber Energi Biomassa dengan Carbon & ESG Management Satuplatform Our …

deforestasi

Mengapa Bisnis Perlu Peduli pada Masalah Deforestasi

Deforestasi adalah hilangnya hutan secara permanen akibat aktivitas manusia, seperti pembukaan lahan dan eksploitasi sumber daya alam. Saat ini, dunia kehilangan sekitar 10 juta hektare hutan setiap tahun, dan Indonesia termasuk negara dengan tingkat kehilangan hutan tertinggi.  Penggundulan hutan ini turut berpengaruh pada pasokan oksigen dan perubahan iklim dan berdampak pada dunia bisnis. Hilangnya hutan ini juga membuat suplai sumber alami terganggu yang mendisrupsi rantai pasok, mempengaruhi reputasi merek, hingga mengancam akses investasi.  Baca Juga: Ini Dia 5 Jenis Pohon Terbaik untuk Kurangi Emisi Karbon! Apa itu Deforestasi dan Dampaknya  Hilangnya hutan terjadi ketika hutan dibuka secara masif untuk keperluan pertanian, perkebunan, penebangan kayu, dan pembangunan infrastruktur dan kebutuhan aktivitas manusia lainnya.  Menurut Global Forest Watch, semenjak tahun 2002 hingga tahun 2024, area total hutan primer basah Indonesia yang hilang telah mencapai 11% . Di Indonesia, penyebab utama hilangnya jutaan hektare hutan tropis adalah perluasan kebun kelapa sawit sebagai bagian dari perkembangan produksi minyak kelapa (palm oil), logging industry, dan industri pertambangan (seperti batu bara, emas, dan nickel). Kondisi ini juga diperburuk dengan kebakaran hutan dan pembalakan liar di berbagai area terlindungi. Dampak ekologis penggundulan sangat luas karena kondisi ini secara langsung menghilangkan habitat bagi ribuan spesies makhluk hidup dan keanekaragaman hayati. Banyak di antaranya merupakan endemik dan terancam punah yang penting untuk kelangsungan ekosistem alami.  Penggundulan hutan juga mengganggu fungsi utama hutan sebagai penyerap karbon sehingga mempercepat emisi GRK (Gas Rumah Kaca), dan akhirnya turut memperburuk krisis iklim global. Kerusakan tersebut mengakibatkan efek domino pada sektor sosial dan ekonomi. Secara sosial, komunitas adat yang kehidupannya bergantung pada hutan kehilangan sumber kehidupan (kebutuhan makanan, pengobatan, dan penghasilan) dan tanah adat mereka.  Sedangkan di sektor ekonomi, perubahan iklim akibat penggundulan hutan juga berisiko mengganggu ketahanan pangan dan air lokal yang menjadi sumber dasar kebutuhan sehari-hari.  Mengapa Deforestasi Menjadi Isu yang Krusial untuk Bisnis Secara alami, hutan berfungsi menyerap karbon yang dapat memitigasi perubahan iklim serta menyediakan bahan baku penting bagi banyak sektor industri. Gundulnya hutan membawa ancaman pada ketahanan iklim. Kondisi tersebut akhirnya mengganggu ketahanan rantai pasok,  yang berakibat pada kelangkaan bahan baku untuk berbagai industri (seperti kayu, kertas, karet, kopi, coklat), kenaikan harga, dan gangguan produksi. Dari sisi finansial, penggundulan hutan dalam rantai pasok dinilai sebagai risiko material yang dapat mempengaruhi stabilitas operasional dan reputasi perusahaan. Perusahaan yang bergantung pada pasokan hasil praktik penggundulan hutan menghadapi paparan risiko regulasi, ketidakstabilan pasokan, serta tekanan dari pemangku kepentingan. Seluruh aspek tersebut secara tidak langsung berdampak pada posisi keuangan dan akses terhadap pendanaan berkelanjutan. Tak hanya itu, konsumen kini lebih sadar dan kritis terhadap praktik bisnis yang merusak lingkungan. Perusahaan yang terlibat dalam rantai pasok berbasis atau berkontribusi pada deforestasi berisiko kehilangan kepercayaan publik dan reputasi merek. Termasuk paparan kebijakan sustainability, ketertinggalan sertifikasi, dan kurangnya transparansi rantai pasok. Sebagai contoh, PT Asia Pulp and Paper (APP) menyadari potensi penyakit dan hama pada tanaman akibat perubahan iklim dan berdampak negatif pada operasional perusahaan. Oleh sebab itu, mereka berkomitmen mengurangi emisi karbon, melindungi hutan, dan mengatasi penggundulan hutan sebagai bagian dari strategi sustainability perusahaan.  Bagaimana Bisnis Dapat Peduli dan Bertindak Atasi Deforestasi  Untuk mengatasi risiko dan memperkuat ketahanan bisnis, perusahaan dapat menerapkan strategi anti-deforestasi yang meliputi pengelolaan rantai pasok hingga kolaborasi lintas fungsi sosial berikut.   Mengelola rantai pasok secara berkelanjutan dengan memilih pemasok yang bebas praktik penggundulan hutan dan melakukan audit secara berkala. Perusahaan dapat mendukung konservasi dan restorasi hutan, baik melalui inisiatif koalisi maupun kemitraan dengan komunitas masyarakat adat, pemimpin perusahaan lain, dan pemerintah daerah kehutanan.  Meningkatkan transparansi dengan melaporkan indikator keberlanjutan dalam laporan ESG dan mengikuti standar pelaporan seperti TCFD atau GRI. Langkah-langkah ini tidak hanya membantu mencegah kerusakan lingkungan, tetapi juga memperkuat posisi bisnis di mata investor, regulator, dan konsumen yang peduli lingkungan. Dampak penggundulan hutan menjadi tantangan strategis jangka panjang bagi kelangsungan bisnis di berbagai sektor industri. Kerusakan ekosistem akibat deforestasi meningkatkan emisi karbon dan mengganggu stabilitas iklim, peningkatan tantangan dan biaya operasional, hingga hilangnya peluang ekonomi dan meningkatnya angka kemiskinan.  Secara spesifik, perusahaan sangat mungkin berhadapan dengan konflik penggunaan lahan dan risiko izin sosial untuk operasional yang berdampak negatif pada keseluruhan citra perusahaan dan potensi perkembangan jangka panjang.  Investasi dalam proyek mengatasi hilangnya hutan adalah kebutuhan bagi perusahaan untuk meningkatkan ketangguhan bisnis dan mendorong diferensiasi pasar untuk pertumbuhan nilai dan reputasi di mata publik.  Tentang Satuplatfom Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG management, carbon accounting, dan sustainability reporting.  Fitur-fitur Satuplatform memungkinkan perusahaan untuk: mengumpulkan dan menganalisis data ESG secara efisien, menghitung dan mengelola emisi karbon, menyusun laporan sesuai standar nasional dan internasional. Pelajari bagaimana perusahaan Anda dapat mengatasi dampak deforestasi melalui FREE DEMO layanan kami. Similar Article Mengapa Bisnis Perlu Peduli pada Masalah Deforestasi Deforestasi adalah hilangnya hutan secara permanen akibat aktivitas manusia, seperti pembukaan lahan dan eksploitasi sumber daya alam. Saat ini, dunia kehilangan sekitar 10 juta hektare hutan setiap tahun, dan Indonesia termasuk negara dengan tingkat kehilangan hutan tertinggi.  Penggundulan hutan ini turut berpengaruh pada pasokan oksigen dan perubahan iklim dan berdampak pada dunia bisnis. Hilangnya hutan ini juga membuat suplai sumber alami terganggu yang mendisrupsi rantai pasok, mempengaruhi reputasi merek, hingga mengancam akses investasi.  Baca Juga: Ini Dia 5 Jenis Pohon Terbaik untuk Kurangi Emisi Karbon! Apa itu Deforestasi dan Dampaknya  Hilangnya hutan terjadi ketika hutan dibuka secara masif untuk keperluan… Industri Hijau dan Ekonomi Karbon: Menemukan Nilai Tambah Baru lewat Verifikasi Emisi dan Kredit Karbon Gaung tentang pentingnya pengembangan dan adopsi konsep industri hijau (green industry) tidak pernah lepas dalam pembahasan terkait isu perubahan iklim di kancah global, maupun dalam negeri. Industri menjadi pemain kunci dalam transisi menuju ekonomi hijau.  Komitmen global terhadap dekarbonisasi mendorong perusahaan untuk mengurangi dampak lingkungan dan menciptakan nilai ekonomi melalui upaya dekarbonisasi yang lebih terakselerasi dan sistematis.  Dalam konteks ini, ekonomi karbon menjadi peluang strategis baru yaitu mengubah emisi karbon menjadi aset bernilai finansial melalui mekanisme seperti kredit karbon dan verifikasi emisi. Baca Juga: Kredit Karbon, Solusi Perusahaan Wujudkan Keberlanjutan Lingkungan Keterkaitan Antara Industri Hijau dan Strategi Emisi Karbon  Konsep… Perkembangan Laporan Keberlanjutan di Indonesia: Pilar Strategis Menuju Industri Hijau Isu perubahan iklim mendorong perubahan paradigma …