1

Mengenal Eutrofikasi, Ancaman terhadap Kesehatan Ekosistem Air

Ekosistem air tidak terlepas dari ancaman pencemaran polutan berbahaya yang salah satunya dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi di wilayah perairan. Pengertian eutrofikasi merupakan proses meningkatnya kadar nutrisi di badan air seperti danau, sungai, rawa, waduk, hingga laut, sehingga membuat pertumbuhan alga (blooming) di ekosistem terdampak tidak terkendali. Peningkatan nutrisi yang di antaranya terdiri dari nitrogen dan fosfor serta berbagai unsur hara juga dapat menyebabkan perairan memiliki kadar oksigen yang rendah. Peristiwa ini disebut juga dengan hipoksia. Baca Juga: Peran Lahan Basah dalam Mitigasi Perubahan Iklim Apa Penyebab Terjadinya Eutrofikasi? Terdapat banyak alasan yang dapat menyebabkan separuh atau seluruh badan air mengalami peristiwa eutrofikasi. Unsur atau zat kimia penyebab eutrofikasi salah satunya dapat berasal dari limbah domestik seperti produk-produk sisa limbah rumah tangga yang bocor dan masuk ke lingkungan.  Deterjen sebagai produk yang umum digunakan dalam kegiatan mencuci serta limbah kotoran manusia, mengandung unsur yang berperan mempercepat terjadinya eutrofikasi. Kemudian, aktivitas pertanian yang menggunakan pupuk pestisida, sisa-sisa pakan ternak, serta senyawa dalam praktik industrial, dapat turut meningkatkan eutrofikasi apabila terbawa aliran air, bocor, dan masuk mengkontaminasi sumber perairan sekitar. Seberapa Besar Eutrofikasi Mempengaruhi Ekosistem Air Dunia? Faktanya, hampir sebagian besar ekosistem perairan di berbagai belahan bumi telah mengalami pencemaran eutrofik dengan intensitas tinggi. Melansir laman Global Institute for Water Security, data satelit menunjukkan bahwa eutrofikasi mempengaruhi banyak danau dan waduk di dunia dengan presentase yakni, 54 persen di Asia, 53 persen di Eropa, 48 persen di Amerika Utara, 41 persen di Amerika Selatan, dan 28 persen di Afrika. Salah satu tampilan satelit memperlihatkan adanya perburukan kondisi danau yang terjadi di Tiongkok di mana sekitar 62 persen wilayah perairan di 67 danau utama negara tersebut telah menjadi sangat eutrofik, di mulai sejak akhir 1980-an. Di Indonesia sendiri, kasus eutrofikasi telah banyak ditemukan dan mengakibatkan habitat di area tersebut terganggu. Dikutip dari laman RRI, persoalan ini salah satunya mengancam tiga danau di Provinsi Kalimantan Timur, yaitu Danau Jempang, Danau Semayang, dan Danau Melintang. Hasil pengukuran dari peneliti menjumpai bahwa danau tersebut ditumbuhi alga, gulma, serta eceng gondok yang ekstrim. Seluruhnya hampir memenuhi dan menutupi permukaan danau. Apa Dampak dari Terjadinya Eutrofikasi? Eutrofikasi bisa dibilang membuat air menjadi “terlalu subur” karena polusi nutrisi yang berlebihan, yang pada akhirnya malah merusak kehidupan di dalam air. Selain dapat menimbulkan ledakan alga dan membuat air berubah hijau pekat atau coklat, eutrofikasi juga menjadi penyebab dari terjadinya kematian massal organisme air. Kandungan oksigen di badan air yang rendah merupakan ancaman yang bisa menyebabkan ikan mati dan menghabiskan habitat di dalamnya. Kondisi tersebut juga dapat membunuh makhluk hidup lain di dalamnya sehingga menggang ekosistem. Sayangnya, eutrofikasi, pertumbuhan alga yang ekstrim, serta kematian massal ikan masih menjadi salah satu isu yang merugikan Indonesia setiap tahunnya. Untuk itu dibutuhkan inisiatif dan upaya penanggulangan untuk dapat mencegah peristiwa ini terjadi kembali dan merusak lingkungan. Salah satu yang penting ialah dengan memperbaiki pengolahan air limbah, memastikan air limbah domestik dan industri difiltrasi sebelum berakhi ke aliran pembuangan. Tentang Satuplatform Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG management, carbon accounting, dan sustainability reporting. Kami dapat membantu Anda mencapai tujuan keberlanjutan dengan menjadi yang terdepan sesuai regulasi yang berlaku.  Dengan fitur-fitur Satuplatform, Anda dapat: Satuplatform juga didukung oleh tim ahli yang berpengalaman di bidang keberlanjutan bisnis. Tim ahli kami akan membantu memahami kebutuhan Anda dan mengimplementasikan solusi yang tepat. Hubungi Satuplatform dan dapatkan FREE DEMO sekarang!  Wujudkan bisnis yang berkelanjutan, berdaya saing, dan bertanggung jawab bersama Satuplatform.  Similar Article Air Minum Kemasan Plastik Dilarang di Bali, Apa yang Terjadi? Pemerintah Provinsi Bali baru saja melakukan langkah yang besar dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan, yakni dengan melakukan pelarangan penjualan air minum dalam kemasan (AMDK) plastik di Bali. Baca juga artikel lainnya : Mengenal Eutrofikasi, Ancaman terhadap Kesehatan Ekosistem Air Melansir laman Tempo, Gubernur I Wayan Koster melalui Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 yang diterbitkan pada awal April lalu, secara resmi melarang produsen dan distributor untuk mengedarkan air minum dalam kemasan plastik dengan volume di bawah satu liter. Larangan ini tidak hanya diperuntukkan bagi produsen besar, berlaku juga untuk para pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang menjual… Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Sustainability atau Keberlanjutan bukan hanya sekadar tren musiman di era sekarang ini, melainkan telah menjadi suatu kewajiban yang dapat mendorong kemajuan dan perkembangan bisnis secara signifikan. Tren global menunjukkan bahwa masa depan bisnis adalah dengan menjadi lebih bertanggung jawab, baik secara sosial dan lingkungan. Sementara bisnis yang tidak melibatkan sustainability ke dalam aktivitas bisnis mereka berpotensi semakin ditinggalkan oleh konsumen juga investor. Tren Konsumen yang Peduli Keberlanjutan Pernyataan di atas bukanlah omong kosong belaka. Hal ini selaras dan sesuai dengan hasil Survei Suara Konsumen 2024 yang diterbitkan PwC pada 15 Mei 2024 lalu. Berdasarkan survei tersebut, sekitar 80 persen konsumen,… Berbagai Inovasi dalam Pengelolaan Sampah yang Bisa Dimanfaatkan Indonesia bisa dibilang masih sangat memerlukan berbagai inovasi dan kemajuan dalam kegiatan pengelolaan sampah untuk membantu sampah ditangani dengan cara yang lebih efektif. Sampai saat ini, metode pengelolaan sampah yang paling populer di Indonesia ialah metode konvensional di mana sistem kumpul-angkut-buang menjadi yang paling umum digunakan. Masyarakat sudah sangat terbiasa untuk hanya membuang sampah tanpa dipilah, kemudian sampah dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Dengan sistem tersebut, sayangnya penumpukan sampah tidak dapat terhindarkan. TPA seringkali mengalami overload atau kelebihan kapasitas karena sampah masuk setiap hari dengan kuantitas yang sangat besar. Melihat hal tersebut, dibutuhkan inovasi dalam pengelolaan… Indonesia Siap Pensiunkan Dini PLTU Batu Bara Pemerintah Indonesia bersiap untuk melakukan langkah besar dalam upaya mencapai netralitas karbon atau Carbon Neutral pada 2060 dengan menerapkan pensiun dini terhadap beberapa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Rencana untuk mengakhiri operasional pembangkit listrik tersebut tertuang dalam hasil kajian yang dilaksanakan Institute for Essential Services Reform (IESR) dengan University of Maryland, sebagaimana dilansir dari laman Kontan. Setidaknya ada 12 PLTU batu bara yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia yang memungkinkan untuk diakhiri dan akan segera ditutup dalam waktu dekat. Tujuan Melaksanakan Pensiun Dini PLTU Batu Bara Bisa dibilang bahwa rencana menerapkan pensiun terhadap PLTU batu bara di… Daftar …

5

Hadapi Krisis Energi, Apa Saja yang Perlu Dilakukan?

Krisis energi bukan lagi sekadar tantangan di masa depan, namun ia telah menjadi realitas di depan mata. Ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil, ketidakstabilan geopolitik, perubahan iklim, serta ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan energi telah menciptakan tekanan besar pada sistem energi global. Di Indonesia, fenomena ini terasa lewat lonjakan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), pemadaman listrik di beberapa wilayah, dan ketergantungan pada impor energi.  Menghadapi krisis energi yang semakin mendesak, diperlukan langkah-langkah strategis untuk dilakukan oleh berbagai pihak. Artikel ini akan menguraikan apa saja yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi dan menanggulangi krisis energi secara berkelanjutan. Baca Juga: Ancaman Krisis Energi, Bagaimana Kondisinya di Indonesia? Diversifikasi Sumber Energi dalam Menanggulangi Krisis Salah satu penyebab utama krisis energi adalah ketergantungan yang terlalu tinggi pada bahan bakar fosil, seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam. Ketiga sumber ini tidak hanya terbatas, tetapi juga memiliki dampak lingkungan yang besar. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam menghadapi kondisi ini adalah dengan diversifikasi sumber energi. Terutama dengan mengembangkan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, air, dan bioenergi. Negara-negara seperti Jerman dan Denmark telah menunjukkan bahwa integrasi energi terbarukan ke dalam sistem nasional bukanlah hal yang mustahil. Indonesia pun memiliki potensi besar, terutama tenaga surya dan panas bumi.Namun, agar transisi ini berjalan mulus, perlu investasi besar dalam infrastruktur, teknologi, dan sumber daya manusia. Efisiensi dan Konservasi Energi untuk Antisipasi Krisis Selain mencari sumber energi baru, langkah krusial lain adalah dengan mengurangi konsumsi energi secara keseluruhan melalui efisiensi dan konservasi. Efisiensi berarti menggunakan energi lebih sedikit untuk menghasilkan output yang sama, sementara konservasi mengacu pada perubahan perilaku agar konsumsi energi menurun. Langkah konkret yang bisa diambil adalah seperti; mendorong penggunaan peralatan hemat energi di rumah tangga dan industri, mengatur waktu operasional penerangan (lampu) secara efisien, atau bahkan mengadopsi sistem manajemen energi di sektor industri dan komersial. Kampanye publik yang edukatif juga penting agar masyarakat menyadari bahwa menghemat energi bukan hanya soal mengurangi tagihan listrik, tetapi juga menyelamatkan lingkungan dan menjaga ketahanan nasional. Peningkatan Infrastruktur Energi Untuk Menanggulangi Krisis Salah satu tantangan utama dalam transisi energi adalah keterbatasan infrastruktur, baik untuk pembangkitan, transmisi, distribusi, maupun penyimpanan energi. Contohnya, pembangkit tenaga surya hanya efektif jika didukung jaringan listrik yang fleksibel dan teknologi penyimpanan energi seperti baterai skala besar. Demikian pula, bioenergi membutuhkan rantai pasok yang efisien dari sumber bahan baku hingga pemrosesan akhir. Investasi dalam smart grid, microgrid, dan sistem penyimpanan energi perlu menjadi prioritas. Hal ini akan meningkatkan resiliensi sistem energi terhadap gangguan dan memaksimalkan potensi sumber terbarukan. Kolaborasi Publik-Swasta Perlu disadari bersama, bahwa mengatasi krisis energi bukan tugas pemerintah semata. Sektor swasta, seperti pelaku bisnis dan perusahaan, juga memainkan peran vital dalam inovasi teknologi, pendanaan proyek energi, dan efisiensi operasional. Kolaborasi antara pemerintah dan swasta (Public-Private Partnership) bisa diwujudkan dalam bentuk; proyek-proyek pembangkit energi terbarukan, inovasi teknologi efisiensi energi, dan  juga melalui program CSR yang fokus pada edukasi dan akses energi di daerah terpencil. Edukasi dan Pemberdayaan Masyarakat untuk Menanggulangi Krisis Energi Selain berinisiatif pada urusan teknis dan ranah kebijakan, menghadapi krisis energi juga perlu menyentuh aspek sosial dan budaya. Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi energi masyarakat adalah kunci dalam menanggulangi krisis ini. Kampanye publik tentang pentingnya penghematan energi perlu diperkuat. Inisiatif lokal seperti desa mandiri energi juga patut dikembangkan agar masyarakat tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen energi (prosumer).Melalui cara ini akan terbentuk masyarakat berdaya yang menjadi ujung tombak dalam membangun ketahanan energi nasional yang merata. Penguatan Riset dan Inovasi dalam Mengurangi Krisis Energi Langkah yang juga penting untuk dipersiapkan dalam menghadapi krisis energi adalah dengan meningkatkan riset dan pengembangan teknologi secara kontinyu. Baik dalam pengembangan teknologi baru, peningkatan efisiensi, maupun adaptasi solusi lokal. Dalam hal ini, beberapa inisiatif yang dapat ditempuh adalah seperti; melakukan kolaborasi antara universitas, lembaga penelitian, dan industri, mengalokasikan pendanaan riset yang lebih terdedikasi dan berkelanjutan, dan dapat pula melalui inkubasi startup energi bersih dan teknologi ramah lingkungan. Pada akhirnya, krisis energi memang merupakan tantangan besar, tetapi juga merupakan peluang transformasi menuju sistem energi yang lebih adil, bersih, dan berkelanjutan. Kondisi ini mengharuskan kita untuk keluar dari cara berpikir lama dan berinovasi secara kolektif. Setiap pihak memiliki peran yang penting dalam menghadapi krisis energi, terutama untuk industri yang banyak menggunakan bahan baku fosil. Dalam hal ini, untuk industri dan perusahaan yang ingin lebih berkontribusi terhadap transformasi energi berkelanjutan, saat ini, telah hadir Satuplatform yang dapat membantu inisiatif lingkungan perusahaan. Sebagai all-in-one solution, Satuplatform menyediakan berbagai layanan dan konsultasi bagi perusahaan dari berbagai sektor industri. Mari coba FREE DEMO nya sekarang! Similar Article Pemanfaatan AI dalam Upaya Pelestarian Lingkungan Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi kecerdasan buatan atau Artficial Intelligence (AI) telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan menjadi bagian yang krusial dari berbagai aspek kehidupan.  Saat ini, pengaplikasian AI tidak lagi terbatas dan sudah sangat luas. AI diimplementasikan dalam berbagai hal yang sekiranya dapat mendukung kemudahan hidup bagi manusia, seperti menjadi asisten virtual, mesin pencari data, pengisi suara, dan lain sebagainya. Perkembangan AI juga telah membuka peluang baru di berbagai industri, seperti transportasi, pendidikan, dan hiburan. Bahkan AI juga diprediksi dapat mendukung manusia dalam upaya dekarbonisasi, mengurangi emisi karbon sebagaimana yang dunia harapkan. Artificial Intelligence dapat berperan besar dalam… Mengenal Agbogbloshie ‘Tempat Penampungan’ Sampah Elektronik Dunia Pernahkah kamu mendengar tentang tempat pembuangan sampah Agbogbloshie? Tempat ini pernah menjadi salah satu tempat pembuangan sampah terbesar di dunia yang menampung jutaan sampah limbah elektronik dan otomotif yang sumbernya disebut-sebut berasal dari banyak negara di berbagai belahan dunia. Tempat penampungan sampah Agbogbloshie terletak di dekat pusat kota Accra, Ghana, dan berada di dekat wilayah kumuh yang sering disebut “Old Fadama”.  Kota Accra diketahui merupakan ibu kota sekaligus kota terbesar dan terpadat di Ghana yang menjadi rumah bagi sekitar 1,97 juta jiwa penduduk.  Kota Accra dikenal memiliki panorama alam yang indah, pantai-pantai yang berkilauan, serta bangunan-bangunan monumental yang menambah nilai… Air Minum Kemasan Plastik Dilarang di Bali, Apa yang Terjadi? Pemerintah Provinsi Bali baru saja melakukan langkah yang besar dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan, yakni dengan melakukan pelarangan penjualan air minum dalam kemasan (AMDK) plastik di Bali. Baca juga artikel lainnya : Mengenal …

3

Business Adaptation Amid Environmental Challenges

In today’s rapidly changing world, businesses are being confronted with a new kind of disruption, one that stems not from market competition or digital innovation, but from the environment itself. From extreme weather events and resource scarcity to stricter environmental regulations and shifting consumer expectations, environmental challenges are reshaping the business landscape. Businesses must not only survive amid mounting environmental pressures. They must adapt, transform, and lead. This article explores how companies across industries can strategically respond to environmental challenges while maintaining growth, relevance, and competitive advantage. Read More: Digital Transformation to Support Environmental Sustainability Understanding the Environmental Business Imperative Environmental issues are no longer peripheral, they are central to business continuity and value creation. The impacts of climate change, pollution, deforestation, and biodiversity loss are affecting supply chains, increasing operational risks, and shifting stakeholder expectations. Today’s consumers are more informed and environmentally conscious. Investors are demanding sustainability metrics alongside financial performance. Regulators are tightening environmental laws. Against this backdrop, businesses must recognize that environmental risk is business risk, and ignoring it is not an option. Redesigning Operations with Sustainability in Mind One of the first steps toward environmental adaptation is rethinking how business operations affect the planet. This includes; reducing resource consumption (water, energy, raw materials), minimizing waste and emissions, implementing circular economy practices such as recycling, reuse, and product redesign, also digitizing processes to improve efficiency and track environmental impact For example, global furniture retailer IKEA has embraced sustainable materials and renewable energy across its supply chain. Logistics giants like DHL are optimizing delivery routes to cut emissions. These operational shifts reduce environmental harm and often improve cost-efficiency and brand reputation. Building Resilient, Low-Impact Supply Chains Environmental challenges such as droughts, floods, and wildfires are disrupting global supply chains. Businesses must build resilient and low-impact supply chains that can withstand environmental shocks and regulatory scrutiny. These strategies include; mapping environmental risks across the supply chain, diversifying suppliers to reduce dependency on high-risk regions, partnering with local or sustainable producers, also auditing suppliers’ environmental practices. For instance, companies like Nestlé and Patagonia are working directly with farmers and raw material producers to ensure sustainable sourcing, while promoting environmental stewardship and community development. Innovation Through Green Products and Services Adaptation is not just about minimizing impact, but it is also about creating value through environmentally responsible offerings. Businesses are rethinking product design, packaging, and delivery to meet consumer demand for sustainable alternatives. Examples of this innovation could be fashion brands who are producing clothes from recycled fabrics or biodegradable materials, or tech companies designing energy-efficient electronics, or automotive firms investing in electric and hybrid vehicle lines. This green innovation not only satisfies environmental standards but opens access to new, eco-conscious customer segments. It positions businesses as leaders in the sustainable marketplace of the future. Measuring and Reporting Environmental Performance To adapt effectively, businesses need to track and report their environmental impact with the same precision as financial metrics. Frameworks like ESG (Environmental, Social, Governance), GRI (Global Reporting Initiative), and CDP (Carbon Disclosure Project) have become standard tools for transparency and accountability. Key steps to measure and report the companies’ environmental performance includes; setting measurable environmental goals (e.g., carbon neutrality, zero waste), regularly auditing environmental performance, publishing sustainability reports, and also disclosing climate-related risks in line with TCFD guidelines.  Transparent reporting enhances credibility with investors, customers, and regulators—and drives continuous improvement within the organization. After all, we know that environmental challenges will continue to intensify in the coming decades. But within every challenge lies opportunity; opportunity to innovate, to lead, and to build a better business and a better world. By redesigning operations, engaging stakeholders, embracing sustainability, and integrating environmental thinking into strategy, businesses can not only weather the storm but they can fuel a cleaner, smarter, and more resilient future. The businesses that succeed tomorrow will be those that adapt today. The future belongs to those who lead, not just with profits, but with purpose. Especially for industries and companies in Indonesia looking to prepare for and adapt to environmental challenges, Satuplatform.com is now here to support your corporate sustainability initiatives. As an all-in-one solution, Satuplatform.com offers a wide range of services and consultancy tailored for businesses across various industry sectors. Try the FREE DEMO now! Similar Article Pemanfaatan AI dalam Upaya Pelestarian Lingkungan Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi kecerdasan buatan atau Artficial Intelligence (AI) telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan menjadi bagian yang krusial dari berbagai aspek kehidupan.  Saat ini, pengaplikasian AI tidak lagi terbatas dan sudah sangat luas. AI diimplementasikan dalam berbagai hal yang sekiranya dapat mendukung kemudahan hidup bagi manusia, seperti menjadi asisten virtual, mesin pencari data, pengisi suara, dan lain sebagainya. Perkembangan AI juga telah membuka peluang baru di berbagai industri, seperti transportasi, pendidikan, dan hiburan. Bahkan AI juga diprediksi dapat mendukung manusia dalam upaya dekarbonisasi, mengurangi emisi karbon sebagaimana yang dunia harapkan. Artificial Intelligence dapat berperan besar dalam… Mengenal Agbogbloshie ‘Tempat Penampungan’ Sampah Elektronik Dunia Pernahkah kamu mendengar tentang tempat pembuangan sampah Agbogbloshie? Tempat ini pernah menjadi salah satu tempat pembuangan sampah terbesar di dunia yang menampung jutaan sampah limbah elektronik dan otomotif yang sumbernya disebut-sebut berasal dari banyak negara di berbagai belahan dunia. Tempat penampungan sampah Agbogbloshie terletak di dekat pusat kota Accra, Ghana, dan berada di dekat wilayah kumuh yang sering disebut “Old Fadama”.  Kota Accra diketahui merupakan ibu kota sekaligus kota terbesar dan terpadat di Ghana yang menjadi rumah bagi sekitar 1,97 juta jiwa penduduk.  Kota Accra dikenal memiliki panorama alam yang indah, pantai-pantai yang berkilauan, serta bangunan-bangunan monumental yang menambah nilai… Air Minum Kemasan Plastik Dilarang di Bali, Apa yang Terjadi? Pemerintah Provinsi Bali baru saja melakukan langkah yang besar dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan, yakni dengan melakukan pelarangan penjualan air minum dalam kemasan (AMDK) plastik di Bali. Baca juga artikel lainnya : Mengenal Eutrofikasi, Ancaman terhadap Kesehatan Ekosistem Air Melansir laman Tempo, Gubernur I Wayan Koster melalui Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 yang diterbitkan pada awal April lalu, secara resmi melarang produsen dan distributor untuk …

1

Benarkah Konsumsi Daging Berlebihan Dapat Membahayakan Lingkungan?

Konsumsi daging merupakan kebutuhan bagi setiap orang dalam hal memenuhi asupan protein, di samping sumber protein lainnya. Daging telah menjadi bahan makanan yang penting dari pola makan di banyak negara, termasuk Indonesia. Terutama pada beberapa perayaan tertentu, biasanya kebutuhan masyarakat untuk konsumsi daging menjadi meningkat. Namun, di balik kenikmatan sepiring daging, ada konsekuensi lingkungan yang serius. Benarkah konsumsi daging berlebihan dapat membahayakan lingkungan? Mari kita telaah alasannya lebih dalam. Baca Juga: Peran Lahan Basah dalam Mitigasi Perubahan Iklim Jejak Karbon Industri Peternakan Sektor peternakan merupakan salah satu kontributor utama emisi gas rumah kaca global. Menurut laporan The Food and Agriculture Organization (FAO), produksi hewan ternak bertanggung jawab atas sekitar 14,5% dari total emisi gas rumah kaca buatan manusia. Angka ini bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan sektor transportasi global. Gas utama yang dihasilkan dari peternakan adalah gas metana (CH4) yang berasal dari fermentasi pencernaan hewan ruminansia seperti sapi, kambing, dan domba. Metana memiliki potensi pemanasan global yang 28 kali lebih kuat dibandingkan karbon dioksida (CO2) dalam periode 100 tahun. Selain itu, proses pengelolaan pupuk kandang dan degradasi lahan juga melepaskan nitrous oxide (N2O), gas rumah kaca lain yang jauh lebih kuat dari CO2. Sehingga, industri peternakan memberikan dampak yang signifikan pada lingkungan. Deforestasi Lahan Hal berikutnya yang menjadikan industri peternakan berdampak terhadap lingkungan adalah karena aktivitas pembukaan lahan atau deforestasi untuk peternakan dalam skala besar. Lahan yang luas dibutuhkan baik untuk menggembalakan ternak maupun untuk menanam pakan seperti jagung dan kedelai. Akibatnya, banyak hutan alami ditebang untuk membuka lahan pertanian dan padang rumput. Contoh nyata terjadi di Amazon, di mana deforestasi sebagian besar didorong oleh perluasan lahan peternakan. Menebang hutan tropis tidak hanya melepaskan karbon yang tersimpan dalam pepohonan, tetapi juga menghancurkan habitat alami, mengancam keanekaragaman hayati, dan mengurangi kemampuan bumi untuk menyerap karbon di masa depan. Jika tren konsumsi daging berlebihan terus berlanjut, kebutuhan akan lahan baru akan meningkat, memperparah kerusakan ekosistem hutan di berbagai belahan dunia. Konsumsi Air Dalam Jumlah Besar Produksi daging juga sangat boros air. Untuk menghasilkan satu kilogram daging sapi, menghabiskan sumber daya air yang tidak sedikit. Ini mencakup air minum bagi hewan, air untuk menumbuhkan pakan, serta kebutuhan proses lainnya. Artinya, konsumsi daging yang tinggi secara langsung berkontribusi pada tekanan terhadap sumber daya air tawar, yang sudah langka di banyak wilayah dunia. Dalam konteks perubahan iklim dan peningkatan risiko kekeringan, pola konsumsi makanan yang hemat air menjadi semakin penting untuk dipromosikan. Polusi Lingkungan Di samping dampaknya terhadap sumber daya air, industri peternakan juga berdampak pada pembentukan polusi lingkungan. Peternakan intensif menghasilkan limbah dalam jumlah besar, seperti kotoran hewan, sisa pakan, dan bahan kimia dari obat-obatan hewan. Jika tidak dikelola dengan baik, limbah ini bisa mencemari air tanah, sungai, dan danau, menyebabkan eutrofikasi (ledakan alga) yang merusak ekosistem akuatik. Selain itu, penggunaan pestisida dan pupuk dalam budidaya pakan ternak juga berkontribusi terhadap degradasi tanah dan pencemaran lingkungan. Bau dari peternakan besar juga menciptakan masalah kualitas udara lokal, mengurangi kenyamanan hidup masyarakat sekitar, dan bahkan dapat berdampak pada kesehatan pernapasan. Konsumsi Daging secara Ramah Lingkungan Meskipun dampaknya serius, bukan berarti semua konsumsi daging harus dihentikan. Pendekatan yang lebih realistis dan berkelanjutan adalah dengan mengadopsi pola makan yang lebih fleksibel, di mana pada beberapa saat, konsumsi daging dapat dikurangi dan diimbangi dengan lebih banyak konsumsi tanaman. Selain itu, memilih daging yang diproduksi secara berkelanjutan, seperti daging dari peternakan organik atau padang rumput yang dikelola baik, juga dapat membantu mengurangi dampak lingkungan. Peternakan organik cenderung lebih memperhatikan kesejahteraan hewan, penggunaan lahan, dan pengelolaan limbah. Inovasi lain seperti daging nabati (plant-based meat) dan daging hasil kultur laboratorium (lab-grown meat) juga dapat menjadi alternatif. Produk-produk ini menawarkan alternatif yang jauh lebih rendah jejak karbon dan penggunaan sumber daya dibandingkan daging konvensional. Gerakan Global dan Kesadaran Kolektif Menyadari dampak lingkungan dari industri peternakan, kini mulai banyak organisasi lingkungan, ilmuwan, dan aktivis yang mendorong perubahan pola makan global untuk mengurangi konsumsi daging. Kampanye seperti “Meatless Monday” atau “Green Monday” digaungkan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan dampak konsumsi daging terhadap lingkungan dan kesehatan. Beberapa negara juga mulai memasukkan strategi pengurangan konsumsi daging dalam kebijakan perubahan iklim mereka. Misalnya, laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2019 merekomendasikan pengurangan konsumsi produk hewani sebagai salah satu langkah mitigasi iklim yang efektif. Konsumsi Daging yang Bijak untuk Masa Depan Bumi Konsumsi daging berlebihan memang membahayakan lingkungan. Kontribusinya terhadap emisi gas rumah kaca, deforestasi, konsumsi air, hingga polusi menimbulkan dampak yang tidak bisa diabaikan. Dengan mengadopsi pola makan yang lebih seimbang, memilih sumber daging berkelanjutan, serta membuka diri terhadap alternatif berbasis tanaman, kita dapat membantu mengurangi tekanan terhadap planet ini. Sementara untuk perusahaan atau industri peternakan dan pengolahan daging, dapat lebih berkomitmen untuk menerapkan produksi yang lebih ramah lingkungan. Hal ini sangat mungkin untuk dapat dicapai, terutama saat ini telah hadir Satuplatform yang dapat membantu inisiatif lingkungan perusahaan dalam pengelolaan karbon dan ESG. Sebagai all-in-one solution, Satuplatform menyediakan berbagai layanan dan konsultasi bagi perusahaan dari berbagai sektor industri. Mari coba FREE DEMO nya sekarang! Similar Article Pemanfaatan AI dalam Upaya Pelestarian Lingkungan Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi kecerdasan buatan atau Artficial Intelligence (AI) telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan menjadi bagian yang krusial dari berbagai aspek kehidupan.  Saat ini, pengaplikasian AI tidak lagi terbatas dan sudah sangat luas. AI diimplementasikan dalam berbagai hal yang sekiranya dapat mendukung kemudahan hidup bagi manusia, seperti menjadi asisten virtual, mesin pencari data, pengisi suara, dan lain sebagainya. Perkembangan AI juga telah membuka peluang baru di berbagai industri, seperti transportasi, pendidikan, dan hiburan. Bahkan AI juga diprediksi dapat mendukung manusia dalam upaya dekarbonisasi, mengurangi emisi karbon sebagaimana yang dunia harapkan. Artificial Intelligence dapat berperan besar dalam… Mengenal Agbogbloshie ‘Tempat Penampungan’ Sampah Elektronik Dunia Pernahkah kamu mendengar tentang tempat pembuangan sampah Agbogbloshie? Tempat ini pernah menjadi salah satu tempat pembuangan sampah terbesar di dunia yang menampung jutaan sampah limbah elektronik dan otomotif yang sumbernya disebut-sebut berasal dari banyak negara di berbagai belahan dunia. Tempat penampungan sampah Agbogbloshie terletak di dekat pusat kota Accra, Ghana, dan berada di dekat wilayah kumuh yang sering disebut “Old Fadama”.  Kota Accra diketahui merupakan ibu …

2

Benarkah Sepeda Listrik Lebih Ramah Lingkungan?

Dalam beberapa tahun terakhir, sepeda listrik semakin populer di berbagai kalangan masyarakat di Indonesia. Selain dinilai praktis dan ekonomis untuk mobilitas harian, sepeda listrik juga sering dipromosikan sebagai solusi transportasi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil. Namun, benarkah sepeda listrik benar-benar lebih ramah lingkungan? Mari simak artikel berikut. Baca Juga: Bagaimana Kerjasama Sister-City untuk Dukung Fasilitas Kota yang Ramah Lingkungan? Emisi Karbon Sepeda Listrik Berbicara mengenai lingkungan, aspek yang tidak akan luput dari perhatian adalah mengenai jejak emisi karbon. Salah satu alasan utama mengapa sepeda listrik dianggap lebih ramah lingkungan adalah karena emisi karbonnya yang jauh lebih rendah dibandingkan mobil atau motor berbahan bakar bensin.  Menurut sebuah studi dari European Cyclists’ Federation (ECF), rata-rata emisi karbon dari penggunaan sepeda listrik hanya sekitar 22 gram CO₂ per kilometer, sementara mobil berbahan bakar fosil mengeluarkan sekitar 271 gram CO₂ per kilometer. Emisi ini sebagian besar berasal dari proses produksi sepeda listrik dan listrik yang digunakan untuk mengisi daya baterainya. Namun, jika sumber listrik berasal dari energi terbarukan seperti tenaga surya atau angin, jejak karbon bisa ditekan lebih jauh lagi. Di Indonesia, meskipun sebagian besar listrik masih dihasilkan dari batu bara, tren menuju energi bersih terus berkembang, membuka peluang bagi sepeda listrik untuk menjadi lebih hijau di masa depan. Proses Produksi Sepeda Listrik Meski penggunaan sepeda listrik menghasilkan sedikit emisi, proses produksinya tetap memiliki dampak lingkungan. Contohnya dalam pembuatan komponen utama sepeda listrik, yang umumnya menggunakan baterai lithium-ion, ini memerlukan ekstraksi mineral seperti lithium, kobalt, dan nikel. Proses penambangan mineral ini seringkali menyebabkan kerusakan ekosistem, penggunaan air yang besar, dan emisi gas rumah kaca. Selain itu, produksi sepeda listrik secara keseluruhan juga membutuhkan energi dan sumber daya yang lebih besar dibandingkan sepeda konvensional tanpa motor. Jadi, dari sisi manufaktur, sepeda listrik sebenarnya tetap meninggalkan jejak lingkungan yang lebih besar dibandingkan sepeda biasa, namun masih jauh lebih kecil dibandingkan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil. Daya Tahan dan Daur Ulang Sepeda Listrik Daya tahan sepeda listrik juga menjadi faktor penting dalam menilai keberlanjutan. Rata-rata, baterai sepeda listrik memiliki umur pakai antara 3 hingga 7 tahun, tergantung pada frekuensi penggunaan dan cara perawatan. Setelah masa pakai habis, baterai perlu diganti, dan jika tidak dikelola dengan baik, limbah baterai dapat menjadi ancaman serius bagi lingkungan karena kandungan bahan kimia berbahaya. Saat ini, program daur ulang baterai sepeda listrik masih belum tersebar luas, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Upaya untuk mengembangkan sistem daur ulang yang efisien sangat penting agar sepeda listrik dapat benar-benar menjadi solusi ramah lingkungan dalam jangka panjang. Konsumsi Energi Sepeda Listrik Berikutnya, dari sisi konsumsi energi, sepeda listrik dapat dinilai sangat efisien. Sebuah sepeda listrik umumnya hanya membutuhkan sekitar 0,5 kWh listrik untuk menempuh jarak 100 kilometer. Sebagai perbandingan, sebuah mobil listrik bisa membutuhkan sekitar 15–20 kWh untuk jarak yang sama, sementara mobil bensin bisa menggunakan bahan bakar setara dengan 70–100 kWh. Artinya, dalam hal energi yang digunakan per kilometer, sepeda listrik adalah salah satu moda transportasi paling hemat energi yang tersedia saat ini. Ini menjadi alasan kuat mengapa sepeda listrik layak dipertimbangkan sebagai alternatif kendaraan bermotor dalam konteks urban mobility. Tantangan Infrastruktur Di balik beberapa keunggulannya dalam hal mendukung lingkungan yang lebih berkelanjutan, perlu disadari juga bahwa untuk mewujudkan manfaat maksimal dari sepeda listrik diperlukan dukungan infrastruktur yang memadai. Infrastruktur tersebut meliputi jalur sepeda yang aman, stasiun pengisian daya baterai, dan tempat parkir sepeda yang aman menjadi kebutuhan penting. Tanpa infrastruktur yang mendukung, banyak orang mungkin tetap enggan beralih ke sepeda listrik, terutama di kota-kota dengan lalu lintas padat dan tingkat kecelakaan jalan raya yang tinggi. Pemerintah daerah di beberapa kota Indonesia, seperti Jakarta dan Bandung, mulai merespons kebutuhan ini dengan membangun jalur sepeda dan mengadakan program uji coba kendaraan listrik. Namun, langkah ini perlu diperluas dan dipercepat untuk mempercepat transisi ke mobilitas yang lebih bersih. Pertimbangan Aksesibilitas Satu aspek penting lain yang perlu ikut dipertimbangkan juga adalah aksesibilitas. Harga sepeda listrik saat ini masih cukup tinggi bagi beberapa kalangan masyarakat. Untuk benar-benar menjadi solusi ramah lingkungan yang inklusif, harga sepeda listrik perlu lebih terjangkau, atau tersedia skema subsidi dan kredit ringan. Program-program berbagi sepeda listrik (bike-sharing) yang terjangkau juga mungkin saja bisa menjadi cara efektif untuk memperluas akses tanpa membebani konsumen dengan biaya kepemilikan penuh. Menuju Transportasi Berkelanjutan Sepeda listrik memang lebih ramah lingkungan dibandingkan kendaraan bermotor berbahan bakar fosil. Dengan emisi karbon yang jauh lebih rendah saat digunakan, konsumsi energi yang sangat efisien, dan potensinya untuk mengurangi polusi serta kemacetan, sepeda listrik adalah pilihan transportasi yang lebih berkelanjutan. Dengan tidak mengabaikan dampak lingkungan dari produksi sepeda listrik, perusahaan perlu untuk lebih memperhatikan cara agar proses produksi dapat dilakukan dengan lebih berwawasan lingkungan. Sebab, untuk menjadikan sepeda listrik benar-benar solusi hijau, perlu ada upaya bersama untuk memperbaiki rantai produksi, membangun infrastruktur yang mendukung, dan memastikan sistem daur ulang yang efektif. Untuk mendukung inisiatif keberlanjutan lingkungan perusahaan, saat ini telah hadir Satuplatform yang dapat membantu inisiatif lingkungan perusahaan dalam pengelolaan karbon dan ESG. Sebagai all-in-one solution, Satuplatform menyediakan berbagai layanan dan konsultasi bagi perusahaan dari berbagai sektor industri. Mari coba FREE DEMO nya sekarang! Similar Article Pemanfaatan AI dalam Upaya Pelestarian Lingkungan Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi kecerdasan buatan atau Artficial Intelligence (AI) telah mengalami kemajuan yang sangat pesat dan menjadi bagian yang krusial dari berbagai aspek kehidupan.  Saat ini, pengaplikasian AI tidak lagi terbatas dan sudah sangat luas. AI diimplementasikan dalam berbagai hal yang sekiranya dapat mendukung kemudahan hidup bagi manusia, seperti menjadi asisten virtual, mesin pencari data, pengisi suara, dan lain sebagainya. Perkembangan AI juga telah membuka peluang baru di berbagai industri, seperti transportasi, pendidikan, dan hiburan. Bahkan AI juga diprediksi dapat mendukung manusia dalam upaya dekarbonisasi, mengurangi emisi karbon sebagaimana yang dunia harapkan. Artificial Intelligence dapat berperan besar dalam… Mengenal Agbogbloshie ‘Tempat Penampungan’ Sampah Elektronik Dunia Pernahkah kamu mendengar tentang tempat pembuangan sampah Agbogbloshie? Tempat ini pernah menjadi salah satu tempat pembuangan sampah terbesar di dunia yang menampung jutaan sampah limbah elektronik dan otomotif yang sumbernya disebut-sebut berasal dari banyak negara di berbagai belahan dunia. Tempat penampungan sampah Agbogbloshie terletak di dekat pusat kota Accra, …

6

The Sustainable Movement of Welfare States

As the impacts of climate change grow harder to ignore, countries around the world are rethinking how they care for both people and the planet. Including the countries that belong to the welfare state. Today, sustainability is becoming a key part of social welfare, recognizing that true well-being cannot exist without a healthy environment. From clean energy initiatives to green urban planning, welfare states are weaving environmental care into the very fabric of their social systems. The article will explore more about the welfare state in the sustainable environment agenda.  Read More: How Indonesian Businesses Are Aligning with SDGs for a Sustainable Future What is a Welfare State? A welfare state is a country where the government plays an active role in ensuring the economic and social well-being of its citizens. It provides essential services such as free or affordable healthcare, education, financial assistance for the unemployed or elderly, and public housing. The primary goal of a welfare state is to reduce poverty, promote equality, and protect people from life’s major risks.  Famous examples include Sweden, Norway, Denmark, and Germany, where strong economies are balanced with extensive social support systems. Over time, the concept has evolved, and today, welfare states are not only focusing on human welfare but also on the welfare of the planet. This is leading to the rise of a new movement, which is the sustainable welfare state. From Traditional Welfare to Green Welfare Historically, welfare states focused on protecting citizens from hardships like illness, unemployment, and poverty. Systems were set up to ensure that no one would fall through the cracks. However, in recent years, a major shift has occurred.  Governments and businesses realize that social protection alone is not enough if the planet itself is at risk. A sustainable welfare state now looks beyond immediate economic needs and focuses on environmental stability, social equity, and responsible governance. This green transition is necessary because environmental degradation can directly impact social welfare. For example, climate change can lead to more frequent natural disasters, affecting homes, jobs, and public health. Therefore, investing in renewable energy, green infrastructure, and sustainable agriculture becomes part of the modern social protection framework. The Business Side of Sustainability In this transition, businesses play a crucial role. Today, companies are expected to align with Environmental, Social, and Governance (ESG) principles, contributing positively to society and the environment. In welfare states, the government often partners with private enterprises to drive sustainable innovation. Public-private partnerships are increasingly common, funding clean energy projects, sustainable housing, and green transportation systems. Moreover, companies that embrace sustainability often gain access to incentives such as tax breaks, subsidies, or government contracts. This not only promotes corporate responsibility but also stimulates economic growth in a green direction. Forward-thinking businesses recognize that sustainability is not a cost; it is an investment in long-term resilience and competitiveness. For example, Sweden as a welfare state, is having an ambition to become fossil-free. About thirteen different industry sectors in Sweden have committed themselves in action plans to become fossil free within the government’s initiative “Fossil Free Sweden”. This shows that the business side is also driving the transition in Sweden. Policy Innovations  Like the example of Fossil Free Sweden, it is clear that the policy is crucial in driving sustainability in welfare states. Several welfare states are leading the charge through progressive policy reforms. Scandinavian countries like Sweden, Denmark, and Norway have integrated sustainability into nearly every aspect of governance. They enforce strict environmental regulations while offering robust social services. Besides Sweden’s “Fossil-Free Welfare” initiative aims to eliminate fossil fuel dependency across its welfare system, another welfare state has also their own progressive policy towards sustainability. Denmark’s ambitious climate law in 2020, through Demark’s Climmate Act,  commits the country to reduce greenhouse gas emissions by 70% by 2030 compared to 1990 levels. In Norway, the government commit a low-emission society through Norwegian Climate Act since 2017. Norwegian government also highly supportive of international initiatives to address global challenges in climate and nature crisis, such as under the Paris Agreement and the Convention on Biological Diversity. Challenges Ahead Despite the progress, the sustainable movement of welfare states is not without challenges. Transitioning to a sustainable economy requires significant upfront investment. Green technologies, infrastructure modernization, and workforce retraining programs can be costly. Furthermore, there is a risk of social inequality during the transition. If sustainability measures are implemented without considering the needs of lower-income populations, the burden can fall unfairly on the most vulnerable. For example, taxes on carbon emissions can increase the cost of living if not carefully managed. Therefore, policymakers must ensure that the green transition is just and inclusive. Measures such as subsidies for low-income households, affordable public transport, and retraining programs for workers displaced from carbon-intensive industries are essential components of a fair transition. The Role of Education and Innovation Education also plays a critical role in sustaining this movement. Welfare states are investing heavily in green education, programs that teach students about climate science, renewable energy, sustainable agriculture, and ethical business practices. Innovation hubs and research institutions are supported by government funding to develop cutting-edge sustainable technologies. From energy-efficient building materials to circular economy models, new ideas are driving real-world solutions. Involving citizens in the innovation process is equally important. Many welfare states encourage public participation through citizen assemblies, sustainability forums, and local climate initiatives. This strengthens democracy and ensures that sustainability policies are shaped by the people, for the people. Building Resilient and Sustainable Communities At the community level, welfare states are focusing on creating resilient cities and towns. Smart city initiatives that integrate renewable energy, green spaces, efficient public transport, and sustainable waste management are flourishing. For example, Copenhagen’s commitment to becoming the world’s first carbon-neutral capital by 2025 demonstrates how urban areas can lead by example. Cities are the engines of economic and social activity, and making them sustainable benefits everyone—from businesses to families to governments. Additionally, rural areas are not left behind. Programs supporting organic farming, sustainable forestry, …

8

Ancaman Krisis Sosial Akibat Perubahan Iklim

Kondisi iklim saat ini mengalami tantangan besar akibat perubahan iklim yang semakin parah. Mulai dari peningkatan suhu ekstrem, kekeringan berkepanjangan, banjir besar, hingga cuaca yang tak menentu. Di balik lingkungan yang sering disorot, terdapat kerugian lain dari adanya ketidakstabilan iklim, yaitu dari segi sosial. Memahami dampak sosial dari adanya perubahan iklim adalah hal yang penting. Ini dapat mendorong individu, pemerintah, dan sektor swasta untuk lebih sadar akan pola aktivitas yang lebih ramah lingkungan. Terutama bagi dunia bisnis, memahami dimensi sosial dari krisis iklim bukan hanya soal tanggung jawab moral, tetapi juga menjadi pertimbangan strategis.  Baca Juga: Perubahan Iklim Di Balik Kebakaran Besar di Los Angeles Mari simak, apa saja ancaman krisis sosial dari perubahan iklim yang perlu kita sadari bersama! Ketimpangan Sosial Salah satu efek yang ditimbulkan dari adanya perubahan iklim adalah memperbesar kesenjangan antara kelompok masyarakat. Komunitas miskin dan rentan, terutama yang tinggal di daerah rawan bencana atau bergantung pada pertanian tradisional, menjadi pihak pertama yang merasakan dampaknya.  Contohnya perubahan iklim yang memicu terjadinya banjir. Ketika banjir merendam sawah, kekeringan mematikan panen, atau badai menghancurkan pemukiman. Kelompok masyarakat tersebut pada akhirnya kehilangan mata pencaharian, keamanan pangan, dan tempat tinggal dalam waktu singkat. Kondisi ini mempercepat kerentanan sosial. Ketika satu kelompok masyarakat kehilangan akses terhadap sumber daya vital, ketegangan sosial meningkat. Dalam jangka panjang, hal ini mungkin saja akan berpotensi memicu konflik horizontal, peningkatan kriminalitas, dan migrasi internal yang memicu beban tambahan di kota-kota besar. Dari perspektif bisnis, meningkatnya ketimpangan sosial bisa mempersempit pasar konsumen. Kelompok masyarakat tertentu akan mengalami penurunan daya beli, jika hal tersebut terjadi maka akan mempersulit ekspansi usaha di wilayah-wilayah terdampak.  Konflik Sumber Daya Jika diperhatikan lebih lanjut, perubahan iklim dapat menjadi pemicu konflik yang melibatkan air, tanah, dan pangan. Ketika sumber daya menjadi langka, kompetisi meningkat, baik antar individu, komunitas, maupun antar negara. Krisis air yang terjadi di banyak negara Afrika dan Timur Tengah, misalnya, sering kali menjadi latar belakang konflik etnis dan politik. Indonesia sendiri menghadapi tantangan serius dalam pengelolaan air dan lahan produktif. Kekeringan yang berkepanjangan dapat memicu ketegangan antar wilayah yang mengandalkan sumber air dari satu DAS (Daerah Aliran Sungai) yang sama. Potensi konflik ini perlu diwaspadai, karena stabilitas politik adalah fondasi bagi pertumbuhan ekonomi dan investasi. Gangguan Rantai Pasok dan Akses Bahan Baku Krisis sosial akibat perubahan iklim juga berkontribusi terhadap gangguan rantai pasok global. Misalnya, industri makanan dan minuman sangat tergantung pada bahan baku pertanian yang sensitif terhadap cuaca. Ketika petani gagal panen, pasokan terputus dan harga melonjak. Hal serupa terjadi pada sektor tekstil, otomotif, dan elektronik yang bergantung pada jaringan pemasok multinasional. Ketidakstabilan sosial di satu negara dapat berdampak global. Untuk mengatasi ini, perusahaan mulai menerapkan strategi diversifikasi rantai pasok dan memperkuat kerja sama dengan mitra lokal yang menerapkan prinsip keberlanjutan. Ini bukan hanya bentuk adaptasi, tetapi juga langkah mitigasi risiko bisnis jangka panjang. Tuntutan Konsumen yang Semakin Kritis Terjadinya krisis sosial akibat dampak iklim juga meningkatkan kesadaran publik terhadap tanggung jawab korporasi. Konsumen kini mulai lebih kritis terhadap praktik bisnis yang dianggap tidak peduli terhadap krisis iklim dan dampaknya terhadap masyarakat. Oleh karena itu, brand yang tidak adaptif terhadap isu sosial-lingkungan berisiko kehilangan kepercayaan konsumen. Sebaliknya, perusahaan yang aktif dalam adaptasi iklim dan memberdayakan masyarakat terdampak justru mendapatkan keunggulan reputasi. Dalam hal ini, menerapkan strategi seperti green supply chain, inklusi sosial, dan investasi pada komunitas rentan kini menjadi bagian dari strategi keberlanjutan perusahaan yang dapat dipertimbangkan. Bisnis Sebagai Agen Perubahan Di tengah krisis ini, memang tanggung jawab untuk menciptakan iklim yang lebih berkelanjutan merupakan tanggung jawab bersama. Tidak terkecuali peran bisnis dan perusahaan, dunia usaha tidak bisa hanya menjadi penonton melainkan perlu mengambil peran secara aktif. Sektor swasta memiliki peluang besar dalam menciptakan solusi jangka panjang melalui berbagai inisiatif. Mulai dari penerapan teknologi energi terbarukan, pembiayaan hijau (green financing), hingga inovasi bisnis dapat menjadi katalis perubahan sosial. Model bisnis baru yang inklusif dan adaptif terhadap iklim, seperti agri-tech berbasis komunitas, sistem transportasi rendah emisi, dan pengelolaan sampah berbasis ekonomi sirkular, telah terbukti meningkatkan resiliensi masyarakat. Dengan cara ini, bisnis bukan hanya menjaga profitabilitas, tetapi juga memperkuat struktur sosial yang tangguh terhadap perubahan. Waktunya Ambil Peran untuk Keseimbangan Iklim! Setelah disadari bahwa ancaman krisis sosial akibat perubahan iklim bukan sekadar isu kemanusiaan, tetapi risiko sistemik yang menyasar stabilitas bisnis dan ekonomi global. Maka sudah saatnya pelaku bisnis memandang keberlanjutan tidak lagi sebagai pilihan tambahan, tetapi sebagai inti dari strategi korporasi.  Adaptasi iklim dan keadilan sosial perlu dijalankan seiring dengan pendekatan kolaboratif, inovatif, dan berbasis data. Melindungi masyarakat dari dampak perubahan iklim berarti melindungi pasar, ekosistem, dan masa depan dunia usaha itu sendiri. Untuk perusahaan yang ingin mengambil langkah inisiatif untuk komitmen keberlanjutan lingkungan, kini telah hadir Satuplatform yang dapat membantu inisiatif lingkungan perusahaan. Sebagai all-in-one solution, Satuplatform menyediakan berbagai layanan dan konsultasi bagi perusahaan dari berbagai sektor industri. Mari coba FREE DEMO nya sekarang! Similar Article Air Minum Kemasan Plastik Dilarang di Bali, Apa yang Terjadi? Pemerintah Provinsi Bali baru saja melakukan langkah yang besar dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan, yakni dengan melakukan pelarangan penjualan air minum dalam kemasan (AMDK) plastik di Bali. Baca juga artikel lainnya : Mengenal Eutrofikasi, Ancaman terhadap Kesehatan Ekosistem Air Melansir laman Tempo, Gubernur I Wayan Koster melalui Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 yang diterbitkan pada awal April lalu, secara resmi melarang produsen dan distributor untuk mengedarkan air minum dalam kemasan plastik dengan volume di bawah satu liter. Larangan ini tidak hanya diperuntukkan bagi produsen besar, berlaku juga untuk para pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang menjual… Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Sustainability atau Keberlanjutan bukan hanya sekadar tren musiman di era sekarang ini, melainkan telah menjadi suatu kewajiban yang dapat mendorong kemajuan dan perkembangan bisnis secara signifikan. Tren global menunjukkan bahwa masa depan bisnis adalah dengan menjadi lebih bertanggung jawab, baik secara sosial dan lingkungan. Sementara bisnis yang tidak melibatkan sustainability ke dalam aktivitas bisnis mereka berpotensi semakin ditinggalkan oleh konsumen juga investor. Tren Konsumen yang Peduli Keberlanjutan Pernyataan di atas bukanlah omong kosong belaka. Hal ini selaras dan sesuai dengan hasil Survei Suara Konsumen 2024 …

10

Banjir di Indonesia dan Perubahan Iklim

Banjir merupakan salah satu bencana alam yang paling sering terjadi di Indonesia. Hampir setiap tahun, berbagai wilayah di Indonesia, mulai dari Jakarta hingga kawasan sekitarnya mengalami banjir dengan dampak yang mengganggu kehidupan sosial masyarakat. Dalam dekade terakhir, intensitas dan frekuensi banjir di Indonesia semakin meningkat, perubahan iklim memainkan peran besar dalam memperburuk kondisi ini. Perubahan iklim tidak hanya menyebabkan peningkatan suhu global, tetapi juga mengacaukan pola curah hujan dan mempercepat naiknya permukaan air laut. Kedua faktor ini secara langsung memperbesar risiko banjir di banyak wilayah Indonesia, khususnya di kawasan urban yang memiliki daya dukung lingkungan yang kian menurun. Baca Juga: Fakta terkait Cuaca Ekstrem dan Banjir Parah yang Melanda Dubai Penyebab Perubahan Iklim Sebelum membahas bagaimana perubahan iklim dapat menyebabkan banjir, penting untuk mengetahui terlebih dahulu bagaimana perubahan iklim ini bisa terjadi. Perubahan iklim sebagian besar bermula dari adanya aktivitas yang menghasilkan emisi gas rumah kaca. Beberapa aktivitas seperti pembakaran bahan bakar fosil berupa batu bara, minyak, dan gas alam untuk energi merupakan kontributor utama. Terlebih lagi kehadiran industri manufaktur di kota-kota besar juga berperan besar dengan melepaskan berbagai polutan ke atmosfer.  Selain itu, praktik deforestasi atau penebangan hutan secara masif juga dapat mengurangi kemampuan bumi untuk menyerap karbon dioksida. Pada akhirnya, atmosfer menanggung karbon dioksida yang dilepaskan dari aktivitas di bumi yang kemudian meningkatkan potensi terjadinya ketidakseimbangan iklim. Perubahan Iklim dan Dinamika Curah Hujan Salah satu penyebab dari banjir adalah dikarenakan perubahan iklim (climate changes). Dampak paling nyata dari perubahan iklim adalah perubahan pola curah hujan. Hal ini menyebabkan musim hujan menjadi lebih panjang atau lebih pendek dari biasanya. Akibatnya, intensitas hujan yang tinggi dalam waktu singkat dapat mengakibatkan luapan air di berbagai daerah. Selain itu, sistem drainase yang tidak mampu menampung volume air berlebih turut memperburuk situasi.  Di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksikan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami curah hujan tinggi pada 2025. Dalam hal ini potensi curah hujan berkisar dari 2.500 mm per  tahun sampai dengan 5.000 mm per tahun.  Beberapa daerah yang akan mengalami curah hujan tinggi termasuk sebagian besar wilayah Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Kenaikan Permukaan Laut dan Banjir Rob Selain hujan deras, perubahan iklim juga menyebabkan naiknya permukaan air laut akibat mencairnya es kutub. Dampaknya, wilayah-wilayah pesisir di Indonesia seperti Semarang, Pekalongan, dan Jakarta Utara semakin rentan terhadap banjir rob, yaitu banjir akibat air laut yang masuk ke daratan saat pasang. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa beberapa wilayah pesisir mengalami penurunan tanah (land subsidence) hingga 10–15 cm per tahun, sementara permukaan laut naik sekitar 4–8 mm per tahun. Kombinasi dari kedua fenomena ini menjadikan banjir rob sebagai bencana rutin yang mengancam jutaan penduduk di kawasan pesisir. Strategi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Menghadapi ancaman banjir yang diperparah oleh perubahan iklim, diperlukan pengembangan strategi mitigasi dan adaptasi yang menyeluruh. Strategi ini harus melibatkan pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil. Salah satu solusi penting adalah mengembangkan infrastruktur hijau seperti taman resapan, hutan kota, dan ruang terbuka hijau (RTH) yang mampu menyerap air hujan secara alami. Selain itu, infrastruktur biru seperti kolam retensi, kanal air, dan bendungan kecil harus ditingkatkan untuk menampung kelebihan air saat curah hujan tinggi. Di samping itu, perencanaan tata ruang harus disesuaikan dengan risiko iklim dan banjir. Kawasan yang memiliki risiko tinggi terhadap banjir harus dijadikan zona non-permukiman atau zona hijau. Pemerintah juga perlu meninjau ulang izin pembangunan di kawasan rawan banjir dan mendorong pengembangan kawasan permukiman berbasis adaptasi iklim. Peran Bisnis dalam Penanganan Banjir Di tengah kondisi perubahan iklim dan banjir yang secara terus menerus terjadi di Indonesia, sektor swasta memiliki peran strategis dalam penanganan banjir yang berkelanjutan. Perusahaan dapat melakukan investasi dalam teknologi ramah lingkungan, mengurangi emisi karbon, serta melibatkan diri dalam proyek restorasi alam sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan lingkungan. Banyak perusahaan kini mulai menerapkan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) sebagai standar operasional. Hal ini dapat menjadi awal langkah yang baik untuk menyusun bisnis yang lebih bertanggung jawab dan lebih berwawasan lingkungan. Dengan mengintegrasikan prinsip ESG, perusahaan tidak hanya memperhatikan keuntungan finansial, tetapi juga dampak sosial dan lingkungan dari aktivitas mereka. Penerapan ini mendorong transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan dalam jangka panjang. Seperti halnya dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim, perusahaan dapat mengintegrasikan tujuan pengurangan jejak karbon dalam agenda program ESG. Di samping itu, perusahaan yang memiliki komitmen pada ESG cenderung lebih dipercaya oleh konsumen, investor, dan pemangku kepentingan lainnya. Dalam jangka panjang, bisnis yang mengutamakan ESG akan lebih tahan terhadap risiko global, termasuk perubahan iklim dan krisis sosial. Oleh karena itu, ESG bukan hanya tren, melainkan kebutuhan strategis untuk masa depan dunia usaha, mengingat bahwa isu lingkungan memang telah menjadi tantangan di depan mata. Untuk perusahaan yang ingin mengambil langkah inisiatif untuk komitmen keberlanjutan lingkungan, kini telah hadir Satuplatform yang dapat membantu inisiatif lingkungan perusahaan. Sebagai all-in-one solution, Satuplatform menyediakan berbagai layanan dan konsultasi bagi perusahaan dari berbagai sektor industri. Mari coba FREE DEMO nya sekarang! Similar Article Air Minum Kemasan Plastik Dilarang di Bali, Apa yang Terjadi? Pemerintah Provinsi Bali baru saja melakukan langkah yang besar dalam upaya menjaga kelestarian lingkungan, yakni dengan melakukan pelarangan penjualan air minum dalam kemasan (AMDK) plastik di Bali. Baca juga artikel lainnya : Mengenal Eutrofikasi, Ancaman terhadap Kesehatan Ekosistem Air Melansir laman Tempo, Gubernur I Wayan Koster melalui Surat Edaran Gubernur Bali Nomor 9 Tahun 2025 yang diterbitkan pada awal April lalu, secara resmi melarang produsen dan distributor untuk mengedarkan air minum dalam kemasan plastik dengan volume di bawah satu liter. Larangan ini tidak hanya diperuntukkan bagi produsen besar, berlaku juga untuk para pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) yang menjual… Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Sustainability atau Keberlanjutan bukan hanya sekadar tren musiman di era sekarang ini, melainkan telah menjadi suatu kewajiban yang dapat mendorong kemajuan dan perkembangan bisnis secara signifikan. Tren global menunjukkan bahwa masa depan bisnis adalah dengan menjadi lebih bertanggung jawab, baik secara sosial dan lingkungan. Sementara bisnis yang tidak melibatkan sustainability ke dalam aktivitas bisnis mereka berpotensi semakin ditinggalkan oleh konsumen juga investor. Tren Konsumen yang Peduli Keberlanjutan Pernyataan di atas bukanlah …

1

Urbanisasi dan Dampaknya terhadap Keseimbangan Alam

Urbanisasi hadir sebagai sebuah solusi dalam mendukung pemerataan pembangunan yang menyeluruh dan tidak terbatas di suatu daerah. Melalui perencanaan yang matang serta kebijakan yang adil, urbanisasi seharusnya dapat mendorong banyak keuntungan bagi kemajuan daerah maupun masyarakat yang melakukannya, salah satunya membuka peluang ekonomi yang signifikan. Di banyak negara, urbanisasi berhasil menciptakan kota-kota maju yang menjadikannya pusat industri dan perekonomian dunia. Akan tetapi, urbanisasi juga menyimpan kerugian dengan lingkungan dan alam menjadi salah satu yang terdampak.  Bagaimana urbanisasi memberikan dampaknya terhadap keseimbangan alam? Baca juga artikel lainnya : Manfaat Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Perkotaan Faktor Terjadinya Urbanisasi Urbanisasi pada dasarnya bisa mendukung pemerataan pembangunan serta pengembangan ekonomi, tetapi juga punya celah untuk memperlebar ketimpangan.  Hal tersebut dapat terjadi tergantung pada bagaimana urbanisasi dikelola dengan metode yang tepat. Melansir laman Gramedia, terdapat faktor pendorong dan penarik urbanisasi yang menjadi langkah awal dimulainya proses urbanisasi di suatu negara.  Faktor pendorong urbanisasi erat kaitannya dengan permasalahan-permasalahan di pedesaan, mendorong masyarakat untuk berpindah ke wilayah yang menurut mereka lebih mendukung kehidupan. Lahan pertanian yang merupakan mata pencaharian utama penduduk desa semakin menyusut. Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri, pemukiman, hingga fasilitas sosial. Tingginya kebutuhan akan lapangan pekerjaan, seiring dengan meningkatnya populasi masyarakat desa. Kebutuhan akan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan yang dapat diperoleh di pedesaan. Kebutuhan individu untuk meningkatkan status ekonomi. Fasilitas sosial seperti pendidikan, kesehatan, hingga hiburan yang relatif terbatas. Bencana alam yang merusak sumber kehidupan masyarakat pedesaan. Sementara itu, faktor penarik urbanisasi umumnya identik dengan kemajuan fasilitas dan kesempatan yang tersedia di kota, yang menjadikannya ‘daya tarik’ bagi masyarakat pedesaan. Tersedianya berbagai fasilitas sosial yang lebih memadai di perkotaan, yang memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi masyarakat setempat dalam beraktivitas. Lapangan pekerjaan di perkotaan yang melimpah dan lebih beragam dengan upah yang relatif lebih tinggi. Kesempatan untuk mendapatkan fasilitas pendidikan yang lebih maju. Kehidupan perkotaan yang lebih modern dan mendukung mobilisasi yang baik. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa terjadinya urbanisasi bergantung pada kondisi lingkungan dan ekonomi sekitar. Sayangnya, urbanisasi bisa turut memberikan dampak terhadap lingkungan jika tidak dilaksanakan dengan metode yang benar. Untung Rugi Urbanisasi bagi Lingkungan   Bagai dua sisi mata uang, anggapan tentang urbanisasi yang menguntungkan juga sayangnya diiringi dampak negatif yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Pada kesempatan kali ini, kita akan berfokus pada bagaimana urbanisasi berdampak bagi lingkungan alam sekitar. Dalam pandangan positif, urbanisasi membuka kesempatan untuk mengembangkan pembangunan daerah dan kemajuan teknologi yang tidak terbatas.  Perpindahan konsentrasi penduduk dari desa ke kota pun dapat mendukung terciptanya konservasi lahan di desa. Lahan di daerah bisa tetap hijau karena inisiatif pembangunan rumah-rumah oleh masyarakat tidak terlalu masif.  Urbanisasi juga memberikan peluang terhadap inovasi teknologi yang ramah lingkungan untuk berkembang. Membantu desa untuk beroperasi lebih hijau, seperti hadirnya pengelolaan sampah modern. Akan tetapi, urbanisasi juga bisa membawah dampak negatif bagi lingkungan. Alih fungsi lahan besar-besaran adalah salah satu yang mengkhawatirkan.  Melalui urbanisasi, kita mungkin bisa kehilangan ekosistem alami seperti hutan, sawah, rawa, hingga ruang terbuka hijau yang berubah menjadi beton-beton pembangunan. Kondisi ini mendorong hilangnya habitat satwa, terjadinya banjir dan tanah longsor lebih sering karena lingkungan yang rusak. Beban lingkungan semakin tinggi dan polusi juga dapat meningkat dari praktik urbanisasi yang tidak berkelanjutan. Akibat populasi yang tinggi, polusi dari kendaraan, industri, dan konstruksi mungkin tidak dapat terhindarkan.  Konsumsi yang tinggi terhadap air, energi, pangan, dan barang turut mendorong produksi emisi dan limbah yang lebih banyak. Jika emisi yang semakin tinggi tidak dibarengi dengan upaya penyejukan yang cukup dari pepohonan, efek urban heat island bisa semakin dirasakan. Solusi Urbanisasi yang Ramah Lingkungan Perencanaan urbanisasi yang tepat dapat membantu menghindarkan potensi kerugian yang terjadi dari praktik ini. Dilansir dari beragam sumber, berikut solusi yang mungkin diterapkan dalam praktik urbanisasi berkelanjutan. Apa saja di antaranya? Menciptakan tata kota dengan ruang terbuka hijau. Zonasi yang jelas untuk pemukiman, industri, dan konservasi. Memanfaatkan bangunan “vertikal” untuk efisiensi. Pengembangan transportasi massal serta jalur trotoar dan sepeda yang layak. Mendorong pembangunan bangunan hijau yang memanfaatkan material terbarukan dan ramah lingkungan. Memperluas penanaman pohon dan kawasan konservasi. Memperluas penerapan pengelolaan sampah dan limbah yang bertanggung jawab. Melakukan kampanye publik soal pentingnya menjaga lingkungan. Sehubungan dengan penjelasan di atas, urbanisasi bukan untuk dihentikan, tapi diarahkan agar berjalan sejalan dengan perlindungan lingkungan. Tentang Satuplatform Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG management, carbon accounting, dan sustainability reporting. Kami dapat membantu Anda mencapai tujuan keberlanjutan dengan menjadi yang terdepan sesuai regulasi yang berlaku.  Dengan fitur-fitur Satuplatform, Anda dapat: Mengumpulkan dan menganalisis data ESG secara akurat dan efisien Menghitung & mengelola  emisi karbon dan menetapkan target pengurangan emisi Menyusun laporan ESG yang memenuhi standar internasional dan nasional Satuplatform juga didukung oleh tim ahli yang berpengalaman di bidang keberlanjutan bisnis. Tim ahli kami akan membantu memahami kebutuhan Anda dan mengimplementasikan solusi yang tepat. Hubungi Satuplatform dan dapatkan FREE DEMO sekarang!  Wujudkan bisnis yang berkelanjutan, berdaya saing, dan bertanggung jawab bersama Satuplatform.  Similar Article Mengenal Eutrofikasi, Ancaman terhadap Kesehatan Ekosistem Air Ekosistem air tidak terlepas dari ancaman pencemaran polutan berbahaya yang salah satunya dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi di wilayah perairan. Pengertian eutrofikasi merupakan proses meningkatnya kadar nutrisi di badan air seperti danau, sungai, rawa, waduk, hingga laut, sehingga membuat pertumbuhan alga (blooming) di ekosistem terdampak tidak terkendali. Peningkatan nutrisi yang di antaranya terdiri dari nitrogen dan fosfor serta berbagai unsur hara juga dapat menyebabkan perairan memiliki kadar oksigen yang rendah. Peristiwa ini disebut juga dengan hipoksia. Melansir laman Lindungi Hutan, beberapa unsur atau zat yang termasuk dalam eutrofikasi ialah seperti nitrogen dan fosfor, serta elemen lain yakni potassium, silikon, mangan, dan… Hadapi Krisis Energi, Apa Saja yang Perlu Dilakukan? Krisis energi bukan lagi sekadar tantangan di masa depan, namun ia telah menjadi realitas di depan mata. Ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil, ketidakstabilan geopolitik, perubahan iklim, serta ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan energi telah menciptakan tekanan besar pada sistem energi global. Di Indonesia, fenomena ini terasa lewat lonjakan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), pemadaman listrik di beberapa wilayah, dan ketergantungan pada impor energi.  Menghadapi krisis energi yang semakin mendesak, diperlukan langkah-langkah strategis untuk dilakukan oleh berbagai pihak. Artikel ini akan …

2

Perubahan Iklim Di Balik Kebakaran Besar di Los Angeles

Ingatkah kamu pada kebakaran hebat yang melanda hutan di Kota Los Angeles, California, Amerika Serikat pada awal tahun 2025 lalu? Dikenal sebagai Eaton Fire, tragedi kebakaran hutan yang sangat merusak Los Angeles County itu dimulai pada hari Selasa, 7 Januari 2025 malam hari. Kebakaran ini berlangsung selama 24 hari lamanya dan baru berhasil dipadamkan secara total pada Jumat, 31 Januari 2025. Tragedi kebakaran tersebut terjadi begitu parah, memberikan dampak yang signifikan pada kondisi infrastruktur dan masyarakat, serta mempengaruhi aktivitas di sana. Sebuah sumber bahkan menyebut bahwa Eaton Fire atau Kebakaran Eaton menjadi salah satu kebakaran hutan paling mematikan dalam sejarah California.  Apa yang sebenarnya terjadi? Penyebab Kebakaran di Los Angeles  Melansir laman tempo.co, Kebakaran Eaton dimulai tepatnya di kaki bukit Hutan Nasional Angeles, Los Angeles County, dan dengan cepat melanda pemukiman penduduk di perkotaan. Kebakaran tersebut berawal dari semak belukar kering yang sudah tidak diguyur hujan selama tujuh bulan. Pada saat yang bersamaan, angin kencang juga membuat api menyebar ke daerah pemukiman, salah satunya Altadena dan Palisades. Dalam beberapa hari, kebakaran tersebut terus meluas hingga lebih dari 8.000 hektare dan berdampak terhadap 19 ribu warga setempat. Kepolisian setempat mencatat adanya korban jiwa dan bangunan terdampak dari tragedi kebakaran ini. Dikutip dari berbagai sumber, kebarakan yang melanda California Selatan selama lebih dari  tiga minggu itu telah merenggut lebih sekitar 46 korban jiwa serta menghancurkan lebih dari 10 ribu bangunan termasuk tempat tinggal. Baca juga artike lainnya : Kebakaran TPA Sampah di Indonesia Sering Terjadi, Apa Penyebab dan Solusinya? Kebakaran di Los Angeles diyakini terjadi akibat kombinasi faktor alam dan aktivitas manusia. Cuaca yang sangat kering ditambah angin yang bertiup kencang disebut menjadi beberapa penyebab Eaton Fire dan Palisades Fire butuh waktu lama untuk dipadamkan.  Perubahan Iklim Memperparah Kondisi Kebakaran Wilayah Los Angeles dan California pada umumnya seringkali mengalami wildfire (kebakaran hutan dan lahan), terutama saat musim panas dan gugur. Frekuensi kebakaran hutan di sana pun kian meningkat dan semakin sering terjadi ditambah karena efek gabungan dari perubahan iklim dan angin Santa Ana, membuat tumbuhan sangat kering yang menciptakan kondisi ideal untuk penyebaran api. Di luar dari akibat kebakaran karena aktivitas manusia, perubahan iklim disebut-sebut ikut berperan membuat kebakaran menjadi lebih ekstrim dari sebelumnya. Perubahan iklim membuat suhu udara lebih panas, mengeringkan tanah dan vegetasi lebih cepat, dengan durasi yang panjang karena hujan makin jarang terjadi. Faktor angin Santa Ana juga berperan membawa udara kering dan menurunkan kelembaban. Dengan kondisi kering yang ekstrem ditambah dengan sumber daya air yang tidak memadai, kebakaran menjadi lebih sulit dipadamkan dan berpotensi menyebar lebih luas. Melansir laman Los Angeles Regional Fire Safe Council, tercatat hampir setiap tahun kebakaran hutan melanda wilayah ini dengan intensitas dan dampak yang beragam. Sebelumnya, Kebakaran Woolsey pada November 2018, sempat menjadi kebakaran hutan paling merusak dalam sejarah Los Angeles County. Kebakaran Woosley terjadi pada 8 November 2018 dan baru dapat dipadamkan sepenuhnya pada 21 November 2018. Luas lahan terbakar saat itu mencapai 39.234 hektare, dengan kerugian mencapai $6 miliar, dilansir dari Reuters. Upaya Pemulihan Pasca Kebakaran Los Angeles Setelah apa yang terjadi, pemerintah setempat bergegas melaksanakan upaya pemulihan untuk membantu menstabilkan kondisi dan memulihkan trauma masyarakat. Upaya pemulihan kebakaran hutan di Los Angeles (dan California secara umum) melibatkan strategi jangka pendek dan panjang. Kegiatan ini melibatkan berbagai lembaga seperti pemerintah negara bagian, pemerintah kota, dan lembaga federal. Selain membersihkan puing dan tanaman yang terbakar, pembangunan ulang infrastruktur publik yang penting juga dilakukan, termasuk menyediakan bantuan darurat bagi warga terdampak. Tentang Satuplatform Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG management, carbon accounting, dan sustainability reporting. Kami dapat membantu Anda mencapai tujuan keberlanjutan dengan menjadi yang terdepan sesuai regulasi yang berlaku.  Dengan fitur-fitur Satuplatform, Anda dapat: Mengumpulkan dan menganalisis data ESG secara akurat dan efisien Menghitung & mengelola  emisi karbon dan menetapkan target pengurangan emisi Menyusun laporan ESG yang memenuhi standar internasional dan nasional Satuplatform juga didukung oleh tim ahli yang berpengalaman di bidang keberlanjutan bisnis. Tim ahli kami akan membantu memahami kebutuhan Anda dan mengimplementasikan solusi yang tepat. Hubungi Satuplatform dan dapatkan FREE DEMO sekarang!  Wujudkan bisnis yang berkelanjutan, berdaya saing, dan bertanggung jawab bersama Satuplatform.  Similar Article Mengenal Eutrofikasi, Ancaman terhadap Kesehatan Ekosistem Air Ekosistem air tidak terlepas dari ancaman pencemaran polutan berbahaya yang salah satunya dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi di wilayah perairan. Pengertian eutrofikasi merupakan proses meningkatnya kadar nutrisi di badan air seperti danau, sungai, rawa, waduk, hingga laut, sehingga membuat pertumbuhan alga (blooming) di ekosistem terdampak tidak terkendali. Peningkatan nutrisi yang di antaranya terdiri dari nitrogen dan fosfor serta berbagai unsur hara juga dapat menyebabkan perairan memiliki kadar oksigen yang rendah. Peristiwa ini disebut juga dengan hipoksia. Melansir laman Lindungi Hutan, beberapa unsur atau zat yang termasuk dalam eutrofikasi ialah seperti nitrogen dan fosfor, serta elemen lain yakni potassium, silikon, mangan, dan… Hadapi Krisis Energi, Apa Saja yang Perlu Dilakukan? Krisis energi bukan lagi sekadar tantangan di masa depan, namun ia telah menjadi realitas di depan mata. Ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil, ketidakstabilan geopolitik, perubahan iklim, serta ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan energi telah menciptakan tekanan besar pada sistem energi global. Di Indonesia, fenomena ini terasa lewat lonjakan harga BBM (Bahan Bakar Minyak), pemadaman listrik di beberapa wilayah, dan ketergantungan pada impor energi.  Menghadapi krisis energi yang semakin mendesak, diperlukan langkah-langkah strategis untuk dilakukan oleh berbagai pihak. Artikel ini akan menguraikan apa saja yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi dan menanggulangi krisis energi secara berkelanjutan. Diversifikasi Sumber Energi Salah satu… Business Adaptation Amid Environmental Challenges In today’s rapidly changing world, businesses are being confronted with a new kind of disruption, one that stems not from market competition or digital innovation, but from the environment itself. From extreme weather events and resource scarcity to stricter environmental regulations and shifting consumer expectations, environmental challenges are reshaping the business landscape. Businesses must not only survive amid mounting environmental pressures. They must adapt, transform, and lead. This article explores how companies across industries can strategically respond to environmental challenges while maintaining growth, relevance, and competitive advantage. Understanding the Environmental Business Imperative Environmental issues are no longer peripheral, they are… Benarkah Konsumsi Daging …