penyerap karbon

Penyerap Karbon Luar Biasa: Pohon Mangrove, Petai, dan Durian

Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer, peran pohon sebagai penyerap karbon alami menjadi semakin penting. Beberapa spesies pohon memiliki kapasitas luar biasa dalam menyerap dan menyimpan karbon, membantu menyeimbangkan ekosistem serta mengurangi dampak pemanasan global. Di antara banyaknya pohon yang memiliki fungsi ini, mangrove, petai, dan durian menonjol sebagai spesies yang efektif sebagai penyerap karbon. Baca Juga: Program Rehabilitasi Mangrove, Mengapa Penting dan Cerita dari Kampung Laut Cilacap 1. Pohon Penyerap Karbon Mangrove: Sang Penjaga Pesisir Mangrove adalah salah satu jenis pohon yang paling efisien dalam menyerap karbon. Hutan mangrove dapat menyimpan karbon 3–5 kali lebih banyak dibandingkan dengan hutan daratan. Hal ini disebabkan oleh sistem akar yang dalam dan luas yang menyimpan karbon dalam sedimen lumpur selama ratusan hingga ribuan tahun. Mangrove tidak hanya menyerap CO2 dalam jumlah besar tetapi juga berperan sebagai benteng alami yang melindungi garis pantai dari erosi dan badai. Menurut penelitian, hutan mangrove global mampu menyerap sekitar 24 juta metrik ton karbon setiap tahunnya. Dengan luas hanya sekitar 0,7% dari total hutan dunia, mangrove berkontribusi besar dalam upaya mitigasi perubahan iklim. 2. Pohon Penyerap Karbon Petai: Pohon Khas yang Kaya Manfaat Petai (Parkia speciosa) lebih dikenal karena bijinya yang memiliki aroma khas, namun pohon ini juga memiliki kapasitas yang tinggi dalam menyerap karbon. Sebagai pohon dari keluarga leguminosae, petai memiliki kemampuan untuk melakukan fiksasi nitrogen yang membantu menyuburkan tanah sekaligus meningkatkan efektivitas penyerapan karbon. Petai merupakan pohon berumur panjang dengan pertumbuhan yang relatif cepat. Struktur daunnya yang rindang memungkinkan proses fotosintesis berjalan secara optimal, sehingga meningkatkan kapasitasnya dalam menyerap CO2 dari udara. Selain manfaat ekologis, petai juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat melalui hasil panennya. 3. Pohon Penyerap Karbon Durian: Sang Raja Buah yang Juga Menyerap Karbon Durian (Durio spp.), yang sering disebut sebagai “raja buah,” juga memiliki peran besar dalam penyerapan karbon. Pohon durian dapat tumbuh hingga lebih dari 30 meter dengan sistem akar yang kuat, membuatnya efektif dalam menyimpan karbon di dalam biomassa dan tanah. Selain menyerap karbon, pohon durian juga memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi petani. Dengan semakin tingginya permintaan durian di pasar global, pohon ini semakin banyak ditanam dalam skala luas, yang secara tidak langsung berkontribusi pada upaya reforestasi dan pengurangan emisi karbon. Mangrove, petai, dan durian adalah tiga jenis pohon yang memiliki kapasitas luar biasa dalam menyerap karbon dari atmosfer. Selain berperan dalam mitigasi perubahan iklim, pohon-pohon ini juga memiliki manfaat tambahan seperti melindungi garis pantai, meningkatkan kesuburan tanah, serta memberikan hasil panen yang bernilai ekonomi tinggi. Upaya konservasi dan penanaman kembali pohon-pohon ini perlu ditingkatkan untuk mendukung keseimbangan ekosistem dan mengurangi dampak negatif dari emisi karbon. Tentang Satuplatform Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG management, carbon accounting, dan sustainability reporting. Kami dapat membantu Anda mencapai tujuan keberlanjutan dengan menjadi yang terdepan sesuai regulasi yang berlaku.  Dengan fitur-fitur Satuplatform, Anda dapat: Mengumpulkan dan menganalisis data ESG secara akurat dan efisien Menghitung dan mengelola emisi karbon dan menetapkan target pengurangan emisi Menyusun laporan ESG yang memenuhi standar internasional dan nasional Satuplatform juga didukung oleh tim ahli yang berpengalaman di bidang keberlanjutan bisnis. Tim ahli kami akan membantu memahami kebutuhan Anda dan mengimplementasikan solusi yang tepat. Hubungi Satuplatform dan dapatkan FREE DEMO sekarang!  Wujudkan bisnis yang berkelanjutan, berdaya saing, dan bertanggung jawab bersama Satuplatform! Similar Article YONO: Tren Gaya Hidup Ala Gen Z Tahun 2025 Di tahun 2025, tren gaya hidup terus berkembang, terutama di kalangan Gen Z yang dikenal adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Salah satu fenomena terbaru yang menjadi perbincangan hangat adalah YONO, sebuah konsep hidup yang semakin populer di berbagai belahan dunia.  YONO, singkatan dari You Only Need One, adalah filosofi hidup yang menekankan kesederhanaan, efisiensi, dan keberlanjutan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari fashion, teknologi, hingga kebiasaan konsumsi. Baca Juga: Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment Asal Usul dan Filosofi YONO Konsep YONO lahir dari kesadaran generasi muda terhadap konsumsi berlebihan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Dibandingkan dengan tren… Penyerap Karbon Luar Biasa: Pohon Mangrove, Petai, dan Durian Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer, peran pohon sebagai penyerap karbon alami menjadi semakin penting. Beberapa spesies pohon memiliki kapasitas luar biasa dalam menyerap dan menyimpan karbon, membantu menyeimbangkan ekosistem serta mengurangi dampak pemanasan global. Di antara banyaknya pohon yang memiliki fungsi ini, mangrove, petai, dan durian menonjol sebagai spesies yang efektif sebagai penyerap karbon. Baca Juga: Program Rehabilitasi Mangrove, Mengapa Penting dan Cerita dari Kampung Laut Cilacap 1. Pohon Penyerap Karbon Mangrove: Sang Penjaga Pesisir Mangrove adalah salah satu jenis pohon yang paling efisien dalam menyerap karbon. Hutan mangrove dapat menyimpan karbon 3–5… Waste to Energy (WTE) : Negara Swedia Lakukan Impor Sampah Di tengah kondisi bumi yang semakin ‘overwhelmed’ dengan limbah di lingkungan, impor sampah menjadi suatu mekanisme yang kini mulai semakin diperhitungkan. Impor sampah merujuk pada praktik suatu negara menerima limbah dari negara lain untuk diolah, didaur ulang, atau digunakan sebagai sumber energi.  Beberapa negara-negara di dunia melakukan impor sampah, termasuk Swedia. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana Swedia mengimpor sampah dan apa dampaknya secara lingkungan maupun secara ekonomi.  Baca juga artikel lainnya : Waste to Energy : Kelebihan dan Kekurangan Waste-to-energy (WTE) Swedia telah lama menjadi pelopor dalam pengelolaan limbah yang efisien dan berkelanjutan. Negara ini dikenal dengan sistem waste-to-energy… Bagaimana Kerjasama Sister-City untuk Dukung Fasilitas Kota yang Ramah Lingkungan? Dalam menghadapi tantangan lingkungan perkotaan, banyak kota di dunia menjalin hubungan sister-city guna bertukar pengalaman dan teknologi dalam membangun fasilitas yang lebih ramah lingkungan. Konsep sister-city tidak hanya bertujuan mempererat hubungan diplomatik, tetapi juga menjadi platform untuk berbagi solusi inovatif dalam mengatasi permasalahan perkotaan seperti polusi udara, pengelolaan limbah, dan efisiensi energi.  Artikel ini akan membahas lima aspek utama dari kerjasama sister-city dalam mendukung pembangunan kota yang berkelanjutan. 1. Implementasi Teknologi Hijau dalam Infrastruktur Perkotaan untuk Kota Ramah Lingkungan Melalui kerjasama sister-city, banyak kota mengadopsi teknologi hijau untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Misalnya, Jakarta yang bermitra dengan Rotterdam dalam pengelolaan air… Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment As environmental concerns continue to escalate, Generation Z (Gen Z) has emerged …

5

Waste to Energy (WTE) : Negara Swedia Lakukan Impor Sampah

Di tengah kondisi bumi yang semakin ‘overwhelmed’ dengan limbah di lingkungan, impor sampah menjadi suatu mekanisme yang kini mulai semakin diperhitungkan. Impor sampah merujuk pada praktik suatu negara menerima limbah dari negara lain untuk diolah, didaur ulang, atau digunakan sebagai sumber energi.  Beberapa negara-negara di dunia melakukan impor sampah, termasuk Swedia. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana Swedia mengimpor sampah dan apa dampaknya secara lingkungan maupun secara ekonomi.  Baca juga artikel lainnya : Waste to Energy : Kelebihan dan Kekurangan Waste-to-energy (WTE) Swedia telah lama menjadi pelopor dalam pengelolaan limbah yang efisien dan berkelanjutan. Negara ini dikenal dengan sistem waste-to-energy (WTE) yang memungkinkan mereka mengkonversi sampah menjadi energi listrik dan panas.  Menurut data dari Swedish Environmental Protection Agency, sekitar 50% dari sampah domestik Swedia diolah melalui sistem WTE, sementara sisanya didaur ulang atau dikomposkan. Sistem ini memastikan hampir tidak ada limbah yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Hal yang menjadi menarik adalah, Swedia justru mengimpor sampah dari negara lain. Fenomena ini bukan hanya mencerminkan inovasi dalam pengelolaan sampah tetapi juga memiliki dampak ekonomi dan lingkungan yang signifikan. Mengapa Swedia Mengimpor Sampah? Swedia memiliki salah satu sistem pengelolaan limbah terbaik di dunia, dengan hampir 99% dari total sampah domestik berhasil didaur ulang atau diubah menjadi energi. Salah satu alasan utama Swedia mengimpor sampah adalah karena negara ini tidak memiliki cukup sampah domestik untuk memenuhi kapasitas pembangkit listrik berbasis limbah. Sekitar 1,5 juta ton sampah diimpor setiap tahunnya dari berbagai negara Eropa, termasuk Norwegia, Inggris, dan Jerman. Alasan lainnya adalah efisiensi ekonomi. Negara-negara yang membayar Swedia untuk mengelola limbah mereka sebenarnya menghemat biaya pengelolaan sampah sendiri, sementara Swedia mendapatkan sumber energi tambahan untuk menggerakkan rumah tangga dan industri. Menurut data dari Swedish Waste Management Association (Avfall Sverige), sekitar 20% dari energi yang dihasilkan berasal dari pembakaran limbah impor. Dampak Lingkungan  Meskipun sistem WTE memberikan manfaat besar, ada beberapa tantangan lingkungan yang perlu diperhatikan. Proses pembakaran sampah menghasilkan emisi karbon dioksida (CO₂), meskipun lebih rendah dibandingkan dengan pembakaran bahan bakar fosil. Namun, Swedia telah menerapkan teknologi penyaringan gas buang canggih untuk mengurangi emisi dan dampak polusi udara. Selain itu, sistem WTE Swedia membantu mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Sekitar 20% dari kebutuhan pemanas distrik di Swedia berasal dari energi yang dihasilkan melalui pembakaran sampah, menggantikan penggunaan batu bara dan minyak bumi yang lebih berpolusi. Dampak Ekonomi  Impor sampah bukan hanya solusi lingkungan tetapi juga menciptakan peluang ekonomi yang signifikan. Menurut laporan dari Avfall Sverige, industri pengelolaan sampah di Swedia menghasilkan lebih dari €1 miliar per tahun, dengan sebagian besar pendapatan berasal dari biaya yang dibayarkan oleh negara lain untuk pengelolaan limbah mereka. Selain itu, bisnis berbasis energi dari sampah menciptakan ribuan lapangan kerja di sektor energi terbarukan dan manajemen limbah. Diperkirakan sekitar 10.000 orang bekerja di industri ini, mencakup berbagai bidang mulai dari teknologi pemrosesan limbah hingga pengembangan energi bersih. Belajar dari Waste To Energy Swedia Keberhasilan Swedia dalam mengelola sampah juga menarik perhatian banyak negara lain yang ingin meniru sistem mereka. Hal ini membuka peluang bagi perusahaan teknologi lingkungan untuk mengekspor solusi pengelolaan limbah ke pasar global. Swedia telah menjadi pemimpin dalam ekspor teknologi daur ulang dan energi bersih, yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi negara ini. Negara-negara lain dapat menerapkan pendekatan berbasis ekonomi sirkular dan teknologi energi terbarukan. Dengan meningkatnya kesadaran akan perubahan iklim dan pentingnya pengelolaan limbah yang berkelanjutan, model Swedia dapat menjadi inspirasi bagi banyak negara untuk mengadopsi solusi serupa guna mencapai keberlanjutan global. Dalam hal ini, perusahaan dan bisnis juga dapat ikut andil mengambil peran untuk mengoptimalkan keberlanjutan global. Terutama untuk pelaku bisnis dan industri, saat ini, telah hadir Satuplatform yang dapat membantu inisiatif lingkungan perusahaan. Sebagai all-in-one climate management solutions, Satuplatform menyediakan berbagai layanan dan konsultasi bagi perusahaan dari berbagai sektor industri. Mari coba FREE DEMO nya sekarang! Similar Article Food Loss dan Dampaknya terhadap Iklim dan Lingkungan Food loss atau kehilangan pangan adalah salah satu masalah besar yang sering luput dari perhatian. Food loss mengacu pada makanan yang hilang di sepanjang rantai pasok sebelum mencapai konsumen, seperti saat panen, penyimpanan, transportasi, dan distribusi.  Berbeda dengan food waste, yang merujuk pada makanan yang dibuang oleh konsumen atau ritel, food loss lebih banyak terjadi di hulu rantai pasok. Meski tidak selalu disadari, kehilangan pangan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Baca Juga: Food Loss vs Food Waste Fakta dan Data Mengenai Food Loss Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 14% dari seluruh makanan yang diproduksi… YONO: Tren Gaya Hidup Ala Gen Z Tahun 2025 Di tahun 2025, tren gaya hidup terus berkembang, terutama di kalangan Gen Z yang dikenal adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Salah satu fenomena terbaru yang menjadi perbincangan hangat adalah YONO, sebuah konsep hidup yang semakin populer di berbagai belahan dunia.  YONO, singkatan dari You Only Need One, adalah filosofi hidup yang menekankan kesederhanaan, efisiensi, dan keberlanjutan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari fashion, teknologi, hingga kebiasaan konsumsi. Baca Juga: Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment Asal Usul dan Filosofi YONO Konsep YONO lahir dari kesadaran generasi muda terhadap konsumsi berlebihan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Dibandingkan dengan tren… Penyerap Karbon Luar Biasa: Pohon Mangrove, Petai, dan Durian Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer, peran pohon sebagai penyerap karbon alami menjadi semakin penting. Beberapa spesies pohon memiliki kapasitas luar biasa dalam menyerap dan menyimpan karbon, membantu menyeimbangkan ekosistem serta mengurangi dampak pemanasan global. Di antara banyaknya pohon yang memiliki fungsi ini, mangrove, petai, dan durian menonjol sebagai spesies yang efektif sebagai penyerap karbon. Baca Juga: Program Rehabilitasi Mangrove, Mengapa Penting dan Cerita dari Kampung Laut Cilacap 1. Pohon Penyerap Karbon Mangrove: Sang Penjaga Pesisir Mangrove adalah salah satu jenis pohon yang paling efisien dalam menyerap karbon. Hutan mangrove dapat menyimpan karbon 3–5… Waste to Energy (WTE) : Negara Swedia Lakukan Impor Sampah Di tengah kondisi bumi yang semakin ‘overwhelmed’ dengan limbah di lingkungan, impor sampah menjadi suatu mekanisme yang kini mulai semakin diperhitungkan. Impor sampah merujuk pada praktik suatu negara menerima limbah dari negara lain untuk diolah, didaur ulang, atau digunakan …

6

Bagaimana Kerjasama Sister-City untuk Dukung Fasilitas Kota yang Ramah Lingkungan?

Dalam menghadapi tantangan lingkungan perkotaan, banyak kota di dunia menjalin hubungan sister-city guna bertukar pengalaman dan teknologi dalam membangun fasilitas yang lebih ramah lingkungan. Konsep sister-city tidak hanya bertujuan mempererat hubungan diplomatik, tetapi juga menjadi platform untuk berbagi solusi inovatif dalam mengatasi permasalahan perkotaan seperti polusi udara, pengelolaan limbah, dan efisiensi energi.  Artikel ini akan membahas lima aspek utama dari kerjasama sister-city dalam mendukung pembangunan kota yang berkelanjutan. 1. Implementasi Teknologi Hijau dalam Infrastruktur Perkotaan untuk Kota Ramah Lingkungan Melalui kerjasama sister-city, banyak kota mengadopsi teknologi hijau untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Misalnya, Jakarta yang bermitra dengan Rotterdam dalam pengelolaan air dan tata kota berbasis ekologi. Proyek ini mencakup sistem drainase berkelanjutan dan solusi untuk mengurangi risiko banjir. Berdasarkan laporan Kementerian PUPR, proyek ini telah menurunkan risiko banjir di beberapa wilayah Jakarta sebesar 25% dalam lima tahun terakhir. Baca juga artikel lainnya : Mobil Listrik vs Mobil Bensin, Siapa Lebih Ramah Lingkungan? 2. Penggunaan Transportasi Berkelanjutan untuk Kota Ramah Lingkungan Salah satu aspek penting dalam kerjasama sister-city adalah pengembangan transportasi yang lebih ramah lingkungan. Tidak dapat dipungkiri, memang transportasi adalah penyumbang emisi karbon terbesar di suatu negara, sehingga ini penting menjadi perhatian khusus. Beberapa kota, seperti Surabaya yang menjalin hubungan dengan Kitakyushu, Jepang, telah mengadopsi sistem transportasi publik berbasis energi bersih, seperti bus listrik dan jalur sepeda. Surabaya terus menambah unit bus listrik dalam dua tahun terakhir, yang diperkirakan mengurangi emisi karbon sebesar 12.000 ton per tahun. 3. Manajemen Limbah dan Daur Ulang Mewujudkan Kota Ramah Lingkungan Kota-kota yang memiliki hubungan sister-city juga saling bertukar pengalaman dalam manajemen limbah. Contohnya, hubungan antara Bandung dan Braunschweig di Jerman telah menghasilkan inisiatif pengelolaan sampah yang lebih efisien, seperti program daur ulang berbasis masyarakat dan pengolahan limbah organik menjadi energi terbarukan. Contoh lainnya bisa dilihat di Jepang, Tokyo yang bermitra Sister-City dengan San Francisco telah mengembangkan sistem pengelolaan sampah berbasis teknologi yang memungkinkan pemisahan dan pemanfaatan ulang material hingga 80% dari total limbah. 4. Penggunaan Energi Terbarukan Banyak sister-city mengembangkan proyek bersama dalam penggunaan energi terbarukan. Misalnya, kemitraan antara Bali dan Stockholm yang fokus pada implementasi energi surya dan teknologi bangunan hemat energi. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil serta menekan emisi karbon. Stockholm membantu Bali dalam pemasangan 1.000 unit panel surya di kawasan wisata, yang mengurangi konsumsi listrik berbasis batu bara sebesar 15%. 5. Ruang Terbuka Hijau sebagai Penerapan Kota Ramah Lingkungan Sister-city juga berkontribusi dalam program penghijauan kota dengan berbagi strategi dalam menciptakan ruang terbuka hijau. Kota Bogor dan Okayama di Jepang, misalnya, telah mengembangkan proyek penghijauan di area perkotaan dengan konsep taman kota yang ramah lingkungan dan berbasis komunitas. Pemerintah Bogor melaporkan bahwa program ini telah meningkatkan luas ruang terbuka hijau dari 18% menjadi 25% dalam tujuh tahun terakhir. Contoh lainnya adalah seperti di Amerika Serikat, hubungan antara New York dan London telah menghasilkan kebijakan urban forestry, yang menargetkan penanaman sejuta pohon dalam satu dekade untuk mengurangi efek urban heat island. Kerjasama sister-city memainkan peran penting dalam mendukung pembangunan kota yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan. Dengan pertukaran teknologi, pengalaman, dan kebijakan, kota-kota dapat mempercepat transisi menuju masa depan yang lebih hijau. Data dan pengalaman menunjukkan bahwa kolaborasi ini dapat menghasilkan dampak signifikan dalam berbagai aspek, mulai dari infrastruktur hijau hingga transportasi berkelanjutan dan manajemen limbah. Dalam hal ini, perusahaan dan bisnis juga dapat ikut andil mengambil peran untuk mengoptimalkan kota yang ramah lingkungan. Terutama untuk pelaku bisnis dan industri, saat ini, telah hadir Satuplatform yang dapat membantu inisiatif lingkungan perusahaan. Sebagai all-in-one climate management solutions, Satuplatform menyediakan berbagai layanan dan konsultasi bagi perusahaan dari berbagai sektor industri. Mari coba FREE DEMO nya sekarang! Similar Article Food Loss dan Dampaknya terhadap Iklim dan Lingkungan Food loss atau kehilangan pangan adalah salah satu masalah besar yang sering luput dari perhatian. Food loss mengacu pada makanan yang hilang di sepanjang rantai pasok sebelum mencapai konsumen, seperti saat panen, penyimpanan, transportasi, dan distribusi.  Berbeda dengan food waste, yang merujuk pada makanan yang dibuang oleh konsumen atau ritel, food loss lebih banyak terjadi di hulu rantai pasok. Meski tidak selalu disadari, kehilangan pangan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Baca Juga: Food Loss vs Food Waste Fakta dan Data Mengenai Food Loss Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 14% dari seluruh makanan yang diproduksi… YONO: Tren Gaya Hidup Ala Gen Z Tahun 2025 Di tahun 2025, tren gaya hidup terus berkembang, terutama di kalangan Gen Z yang dikenal adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Salah satu fenomena terbaru yang menjadi perbincangan hangat adalah YONO, sebuah konsep hidup yang semakin populer di berbagai belahan dunia.  YONO, singkatan dari You Only Need One, adalah filosofi hidup yang menekankan kesederhanaan, efisiensi, dan keberlanjutan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari fashion, teknologi, hingga kebiasaan konsumsi. Baca Juga: Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment Asal Usul dan Filosofi YONO Konsep YONO lahir dari kesadaran generasi muda terhadap konsumsi berlebihan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Dibandingkan dengan tren… Penyerap Karbon Luar Biasa: Pohon Mangrove, Petai, dan Durian Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer, peran pohon sebagai penyerap karbon alami menjadi semakin penting. Beberapa spesies pohon memiliki kapasitas luar biasa dalam menyerap dan menyimpan karbon, membantu menyeimbangkan ekosistem serta mengurangi dampak pemanasan global. Di antara banyaknya pohon yang memiliki fungsi ini, mangrove, petai, dan durian menonjol sebagai spesies yang efektif sebagai penyerap karbon. Baca Juga: Program Rehabilitasi Mangrove, Mengapa Penting dan Cerita dari Kampung Laut Cilacap 1. Pohon Penyerap Karbon Mangrove: Sang Penjaga Pesisir Mangrove adalah salah satu jenis pohon yang paling efisien dalam menyerap karbon. Hutan mangrove dapat menyimpan karbon 3–5… Waste to Energy (WTE) : Negara Swedia Lakukan Impor Sampah Di tengah kondisi bumi yang semakin ‘overwhelmed’ dengan limbah di lingkungan, impor sampah menjadi suatu mekanisme yang kini mulai semakin diperhitungkan. Impor sampah merujuk pada praktik suatu negara menerima limbah dari negara lain untuk diolah, didaur ulang, atau digunakan sebagai sumber energi.  Beberapa negara-negara di dunia melakukan impor sampah, termasuk Swedia. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana Swedia mengimpor sampah dan apa dampaknya secara …

5

Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment

As environmental concerns continue to escalate, Generation Z (Gen Z) has emerged as a driving force in the movement toward sustainability. Characterized by their digital savviness, social consciousness, and commitment to change, Gen Z is leveraging innovation, activism, and business strategies to foster a more sustainable future.  Read other articles : Carbon Market: A New Way for Sustainable Future Gen Z initiatives span from personal lifestyle changes to large-scale advocacy and corporate engagement. This article explores five key areas where Gen Z is making an impactful difference. Sustainable and Ethical Spending Gen Z is reshaping consumer behavior by prioritizing sustainability in their purchasing decisions. Research titled “The State of Consumer Spending: Gen Z Shoppers Demand Sustainable Retail” indicates that 73% of Gen Z consumers are willing to pay more for sustainable products, surpassing Millennials at 66% and Gen X at 50%. Brands that align with eco-conscious values, such as Patagonia, Allbirds, and Beyond Meat, have experienced significant growth fueled by Gen Z support.  The mindfulness of choosing sustainable shopping also lies in the fashion industry, fast fashion brands are losing traction as younger consumers opt for sustainable alternatives like second-hand shopping and upcycled clothing. This generation is also embracing minimalist lifestyles, actively reducing waste through conscious consumption, reusing, and repurposing products, further solidifying sustainability as a mainstream practice.. Digital Awareness Campaigns Social media has become a crucial tool for Gen Z in spreading environmental awareness and mobilizing collective action. Platforms such as Instagram, TikTok, and Twitter are being leveraged to advocate for policy changes and responsible corporate behavior.  Hashtag movements like #FridaysForFuture, inspired by Greta Thunberg, and #StopFastFashion have amassed millions of engagements, highlighting Gen Z’s commitment to climate activism. Viral challenges such as the #TrashTag challenge encouraged people worldwide to clean up littered areas and share their efforts online, demonstrating how digital activism translates into real-world impact. Furthermore, influencers and content creators play a pivotal role in educating their followers about climate change and sustainable practices, further amplifying awareness and driving behavioral change. Green Entrepreneurship Many Gen Z entrepreneurs are channeling their passion for sustainability into business ventures that offer eco-friendly solutions. With the green economy projected to reach $10.3 trillion by 2030, Gen Z is at the forefront of this transformation, driving innovation in various industries.  Nowadays, some young innovators have launched startups focused on biodegradable packaging, ethical beauty products, and zero-waste solutions, proving that sustainability can be both profitable and impactful. They play a significant role in helping young entrepreneurs secure funding for environmentally focused ventures, making sustainability-driven businesses more accessible than ever. Political and Institutional Advocacy Beyond personal choices and business ventures, Gen Z is actively engaging in political advocacy to influence environmental policies at both national and global levels. Youth-led climate strikes, including the global #FridaysforFuture movement, have mobilized millions of young people to demand urgent climate action from governments.  Many Gen Z activists are also participating in policy lobbying, working directly with lawmakers to push for stricter environmental regulations and greater corporate accountability. These efforts reflect Gen Z’s determination to ensure that environmental responsibility extends beyond individual actions and into broader systemic change. Corporate Sustainable Careers Gen Z is not only reshaping consumer behavior but also influencing corporate sustainability practices and redefining the future workplace. Companies with strong Environmental, Social, and Governance (ESG) policies are more likely to attract and retain Gen Z employees, as sustainability is increasingly becoming a priority in career choices. Many young professionals are pursuing careers in renewable energy, sustainable finance, and corporate social responsibility, aligning their work with their values.  In conclusion, Gen Z ability to integrate technology, social influence, and business acumen into climate action is paving the way for a greener and more sustainable future. As their purchasing power and professional influence continue to grow, Gen Z’s role in addressing environmental challenges will become even more significant.  With the fact that Gen Z now are joining the corporate and business, it will be beneficial to use Satuplatform as all-in-one climate management solutions who provides you with carbon consultancy. Try our FREE DEMO now! Similar Article Food Loss dan Dampaknya terhadap Iklim dan Lingkungan Food loss atau kehilangan pangan adalah salah satu masalah besar yang sering luput dari perhatian. Food loss mengacu pada makanan yang hilang di sepanjang rantai pasok sebelum mencapai konsumen, seperti saat panen, penyimpanan, transportasi, dan distribusi.  Berbeda dengan food waste, yang merujuk pada makanan yang dibuang oleh konsumen atau ritel, food loss lebih banyak terjadi di hulu rantai pasok. Meski tidak selalu disadari, kehilangan pangan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Baca Juga: Food Loss vs Food Waste Fakta dan Data Mengenai Food Loss Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 14% dari seluruh makanan yang diproduksi… YONO: Tren Gaya Hidup Ala Gen Z Tahun 2025 Di tahun 2025, tren gaya hidup terus berkembang, terutama di kalangan Gen Z yang dikenal adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Salah satu fenomena terbaru yang menjadi perbincangan hangat adalah YONO, sebuah konsep hidup yang semakin populer di berbagai belahan dunia.  YONO, singkatan dari You Only Need One, adalah filosofi hidup yang menekankan kesederhanaan, efisiensi, dan keberlanjutan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari fashion, teknologi, hingga kebiasaan konsumsi. Baca Juga: Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment Asal Usul dan Filosofi YONO Konsep YONO lahir dari kesadaran generasi muda terhadap konsumsi berlebihan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Dibandingkan dengan tren… Penyerap Karbon Luar Biasa: Pohon Mangrove, Petai, dan Durian Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer, peran pohon sebagai penyerap karbon alami menjadi semakin penting. Beberapa spesies pohon memiliki kapasitas luar biasa dalam menyerap dan menyimpan karbon, membantu menyeimbangkan ekosistem serta mengurangi dampak pemanasan global. Di antara banyaknya pohon yang memiliki fungsi ini, mangrove, petai, dan durian menonjol sebagai spesies yang efektif sebagai penyerap karbon. Baca Juga: Program Rehabilitasi Mangrove, Mengapa Penting dan Cerita dari Kampung Laut Cilacap 1. Pohon Penyerap Karbon Mangrove: Sang Penjaga Pesisir Mangrove adalah salah satu jenis pohon yang paling efisien dalam menyerap karbon. Hutan …

5

Kerjasama Bilateral Indonesia untuk Dukung Keberlanjutan Lingkungan

Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan degradasi lingkungan, Indonesia telah menjalin berbagai kerjasama bilateral dengan negara-negara mitra guna mempercepat transisi menuju pembangunan berkelanjutan. Kerjasama ini mencakup berbagai aspek, mulai dari pengelolaan hutan dan energi terbarukan hingga pengurangan emisi karbon serta pendanaan hijau. Artikel ini akan membahas berbagai bentuk kerjasama bilateral Indonesia dalam mendukung keberlanjutan lingkungan dengan data dan analisis terkini. Kerja sama Bilateral Program REDD+ dengan Norwegia Indonesia dan Norwegia telah menjalin kerjasama bilateral dalam program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) sejak 2010. Melalui skema ini, Norwegia berkomitmen memberikan insentif keuangan kepada Indonesia berdasarkan pencapaian dalam pengurangan deforestasi. Seperti pada tahun 2021, Indonesia menerima US$56 juta dari Norwegia sebagai pembayaran berbasis hasil atas keberhasilannya menurunkan emisi karbon dari deforestasi. Program REDD+ telah berkontribusi pada pengurangan deforestasi hingga 75% di beberapa wilayah seperti Kalimantan dan Sumatra. Di samping itu, skema ini mendukung inisiatif restorasi ekosistem gambut dan hutan mangrove yang berperan penting dalam menyerap karbon. Kerja sama Bilateral Transisi Energi Bersih dengan Jepang Baca juga artikel lainnya : Apa itu Laporan Keberlanjutan? Berikut Pengertian dan Contohnya Jepang merupakan salah satu mitra utama Indonesia dalam pengembangan energi terbarukan dan efisiensi energi. Melalui program seperti Asia Energy Transition Initiative (AETI), Jepang membantu Indonesia dalam meningkatkan investasi pada sektor energi hijau. Pemerintah Jepang memberikan dukungan finansial untuk proyek energi terbarukan di Indonesia, termasuk tenaga surya dan angin. Selain itu, kolaborasi dalam Joint Crediting Mechanism (JCM) memungkinkan transfer teknologi ramah lingkungan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di sektor industri dan transportasi. Ekonomi Sirkular dan Pengurangan Sampah Plastik dengan UE Uni Eropa (UE) telah berkontribusi secara signifikan dalam mendorong implementasi ekonomi sirkular di Indonesia, terutama dalam pengelolaan limbah plastik dan pencemaran laut. Sebagai mitra Indonesia, Uni Eropa memberikan dukungan finansial untuk program pengurangan sampah plastik di beberapa kota besar di Indonesia. Melalui inisiatif EU SWITCH-Asia, Indonesia mendapatkan dukungan teknis dalam meningkatkan sistem daur ulang dan mengembangkan solusi inovatif untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Kemitraan ini juga berfokus pada penguatan kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR), yang mewajibkan produsen bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah produk mereka. Pembiayaan Hijau dari USAID Amerika Serikat dan Indonesia memiliki kemitraan bilateral yang kuat. Salah satunya adalah dalam sektor pembiayaan hijau melalui skema investasi yang mendukung proyek ramah lingkungan. Amerika, melalui U.S. Agency for International Development (USAID) bukan hanya memberikan dukungan finansial, namun juga memberikan bantuan teknis untuk mengembangkan green bond dan sustainability-linked loans yang mendukung proyek-proyek infrastruktur hijau. Infrastruktur Berkelanjutan dengan China China telah menjadi salah satu mitra strategis Indonesia dalam membangun infrastruktur yang lebih ramah lingkungan. Melalui kerangka kerja Belt and Road Initiative (BRI), banyak proyek infrastruktur hijau telah dikembangkan di Indonesia. Kolaborasi ini juga mencakup pembangunan sistem transportasi berkelanjutan, seperti proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang diharapkan dapat mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi. Selain itu, China membantu Indonesia dalam penelitian dan implementasi teknologi carbon capture and storage (CCS) guna mengurangi emisi dari industri berat. Kerjasama bilateral memainkan peran penting dalam mempercepat upaya Indonesia menuju keberlanjutan lingkungan. Dukungan dari negara mitra tidak hanya berupa pendanaan, tetapi juga transfer teknologi, peningkatan kapasitas, serta penguatan kebijakan. Dengan terus mengembangkan dan mengoptimalkan berbagai bentuk kemitraan ini, Indonesia dapat mempercepat pencapaian target Net-Zero Emission dan memperkuat posisinya dalam pembangunan berkelanjutan di kawasan Asia. Terutama untuk pelaku bisnis dan industri di Indonesia, saat ini, telah hadir Satuplatform yang dapat membantu inisiatif lingkungan perusahaan. Sebagai all-in-one climate management solutions, Satuplatform menyediakan berbagai layanan dan konsultasi bagi perusahaan dari berbagai sektor industri. Mari coba FREE DEMO nya sekarang! Similar Article Food Loss dan Dampaknya terhadap Iklim dan Lingkungan Food loss atau kehilangan pangan adalah salah satu masalah besar yang sering luput dari perhatian. Food loss mengacu pada makanan yang hilang di sepanjang rantai pasok sebelum mencapai konsumen, seperti saat panen, penyimpanan, transportasi, dan distribusi.  Berbeda dengan food waste, yang merujuk pada makanan yang dibuang oleh konsumen atau ritel, food loss lebih banyak terjadi di hulu rantai pasok. Meski tidak selalu disadari, kehilangan pangan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Baca Juga: Food Loss vs Food Waste Fakta dan Data Mengenai Food Loss Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 14% dari seluruh makanan yang diproduksi… YONO: Tren Gaya Hidup Ala Gen Z Tahun 2025 Di tahun 2025, tren gaya hidup terus berkembang, terutama di kalangan Gen Z yang dikenal adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Salah satu fenomena terbaru yang menjadi perbincangan hangat adalah YONO, sebuah konsep hidup yang semakin populer di berbagai belahan dunia.  YONO, singkatan dari You Only Need One, adalah filosofi hidup yang menekankan kesederhanaan, efisiensi, dan keberlanjutan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari fashion, teknologi, hingga kebiasaan konsumsi. Baca Juga: Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment Asal Usul dan Filosofi YONO Konsep YONO lahir dari kesadaran generasi muda terhadap konsumsi berlebihan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Dibandingkan dengan tren… Penyerap Karbon Luar Biasa: Pohon Mangrove, Petai, dan Durian Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer, peran pohon sebagai penyerap karbon alami menjadi semakin penting. Beberapa spesies pohon memiliki kapasitas luar biasa dalam menyerap dan menyimpan karbon, membantu menyeimbangkan ekosistem serta mengurangi dampak pemanasan global. Di antara banyaknya pohon yang memiliki fungsi ini, mangrove, petai, dan durian menonjol sebagai spesies yang efektif sebagai penyerap karbon. Baca Juga: Program Rehabilitasi Mangrove, Mengapa Penting dan Cerita dari Kampung Laut Cilacap 1. Pohon Penyerap Karbon Mangrove: Sang Penjaga Pesisir Mangrove adalah salah satu jenis pohon yang paling efisien dalam menyerap karbon. Hutan mangrove dapat menyimpan karbon 3–5… Waste to Energy (WTE) : Negara Swedia Lakukan Impor Sampah Di tengah kondisi bumi yang semakin ‘overwhelmed’ dengan limbah di lingkungan, impor sampah menjadi suatu mekanisme yang kini mulai semakin diperhitungkan. Impor sampah merujuk pada praktik suatu negara menerima limbah dari negara lain untuk diolah, didaur ulang, atau digunakan sebagai sumber energi.  Beberapa negara-negara di dunia melakukan impor sampah, termasuk Swedia. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana Swedia mengimpor sampah dan apa dampaknya secara lingkungan maupun secara ekonomi.  Baca juga artikel lainnya : Waste to Energy : Kelebihan dan Kekurangan Waste-to-energy (WTE) Swedia telah lama menjadi …

5

5 Perusahaan Ini Sukses Melakukan Investasi Karbon

Dalam era di mana aspek keberlanjutan menjadi faktor utama dalam strategi bisnis global, investasi karbon telah menjadi bagian penting dalam upaya perusahaan mengurangi dampak lingkungan mereka. Investasi karbon tidak hanya berkontribusi terhadap mitigasi perubahan iklim, tetapi juga dapat meningkatkan efisiensi operasional dan reputasi perusahaan.  Beberapa perusahaan telah menunjukkan upaya mereka dengan mengadopsi strategi inovatif dan menanamkan modal besar dalam teknologi rendah karbon serta proyek kompensasi emisi. Berikut adalah contoh lima perusahaan yang sukses melakukan investasi karbon, mari simak ulasannya!  Microsoft: Pengurangan Jejak Karbon Salah satu perusahaan yang berinvestasi pada pengurangan karbon adalah Microsoft. Perusahaan ini telah menetapkan target ambisius untuk menjadi carbon negative pada tahun 2030 dan bahkan berencana menghapus seluruh emisi karbon yang telah dihasilkan sejak didirikan pada tahun 1975. Untuk mencapai tujuan ini, Microsoft telah mengalokasikan lebih dari US$1 miliar melalui Climate Innovation Fund guna mendukung teknologi energi bersih dan proyek pengurangan karbon. Selain itu, pada tahun 2021, Microsoft membeli lebih dari 1,3 juta metrik ton karbon offset dari proyek-proyek yang melibatkan penyerapan karbon alami dan teknologi Direct Air Capture (DAC). Perusahaan ini juga meningkatkan efisiensi operasionalnya dengan menerapkan kecerdasan buatan (AI) untuk mengoptimalkan konsumsi energi di pusat data mereka. Dengan strategi ini, Microsoft tidak hanya mengurangi jejak karbonnya, tetapi juga mendorong inovasi dalam teknologi ramah lingkungan.  Tesla: Transportasi Rendah Karbon Perusahaan berikutnya yang juga berinvestasi dalam inisiatif karbon adalah Tesla, yang telah menjadi pelopor dalam transisi menuju kendaraan rendah karbon. Dengan inovasi di sektor kendaraan listrik dan energi bersih, Tesla berhasil menciptakan dampak besar dalam pengurangan emisi global. Sejak 2012, kendaraan Tesla telah menghindarkan lebih dari 20 juta metrik ton CO₂ dari atmosfer dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar fosil. Selain itu, Tesla berinvestasi dalam penyimpanan energi berskala besar, seperti proyek Tesla Megapack, yang membantu meningkatkan keandalan jaringan listrik berbasis energi terbarukan. Perusahaan ini juga memperoleh miliaran dolar dari penjualan kredit karbon kepada perusahaan lain, yang kemudian digunakan kembali untuk mengembangkan teknologi energi bersih lebih lanjut. Dengan strategi ini, Tesla membuktikan bahwa investasi dalam teknologi rendah karbon tidak hanya berdampak positif bagi lingkungan, tetapi juga dapat menjadi model bisnis yang menguntungkan. Shell: Energi Bersih Shell telah berinvestasi secara signifikan dalam pasar karbon sebagai bagian dari strategi dekarbonisasinya. Perusahaan ini terlibat dalam berbagai proyek kredit karbon, termasuk reforestasi, perlindungan hutan, dan teknologi penangkapan serta penyimpanan karbon (CCS). Salah satu proyek unggulannya, Quest CCS Project di Kanada, telah berhasil menangkap lebih dari 7 juta ton CO₂ sejak beroperasi.  Baca juga artikel lainnya : 3 Negara Penghasil Emisi Karbon Terbesar di Dunia Di kawasan ASEAN, Shell melihat peluang besar untuk memperluas investasi karbonnya dengan mendukung mekanisme perdagangan karbon dan proyek energi bersih. Perusahaan ini bekerja sama dengan pemerintah dan sektor swasta untuk mendanai proyek restorasi alam, seperti rehabilitasi hutan mangrove yang dapat menyerap karbon dalam jumlah besar. Unilever: Rantai Pasok Berkelanjutan Sebagai salah satu perusahaan konsumen terbesar di dunia, Unilever telah mengintegrasikan investasi karbon ke dalam strategi rantai pasoknya. Perusahaan ini berinvestasi dalam proyek pertanian regeneratif yang bertujuan untuk mengurangi emisi dari rantai pasok bahan bakunya.  Melalui inisiatif seperti Clean Future, Unilever telah berhasil mengurangi emisi dari produk pembersihnya hingga 20% dengan mengganti bahan baku berbasis fosil dengan bahan yang lebih ramah lingkungan. Langkah-langkah ini menunjukkan bagaimana investasi karbon dapat diterapkan dalam skala besar di industri barang konsumsi, sekaligus mendorong inovasi dan keberlanjutan di seluruh rantai pasok global. Apple: Net-Zero di Seluruh Ekosistem Perusahaan berikutnya yang juga sukses berinvestasi karbon adalah Apple. Sebagai perusahaan ternama di dunia, Apple telah menetapkan target ambisius untuk mencapai carbon neutrality di seluruh rantai pasok dan produknya pada tahun 2030. Langkah ini sejalan dengan komitmennya terhadap energi bersih, yang telah dibuktikan sejak tahun 2020 ketika Apple mengumumkan bahwa seluruh operasional globalnya telah sepenuhnya berbasis energi terbarukan. Untuk mendukung transisi ini, Apple telah menginvestasikan lebih dari US$4,7 miliar dalam obligasi hijau, yang digunakan untuk mendanai berbagai proyek energi bersih dan pengurangan karbon. Lima perusahaan di atas telah membuktikan bahwa dengan komitmen yang kuat, alokasi dana yang tepat, dan inovasi teknologi, investasi karbon dapat memberikan dampak besar bagi lingkungan dan industri. Investasi karbon bukan lagi sekadar tanggung jawab sosial perusahaan, tetapi juga menjadi strategi bisnis yang cerdas dan menguntungkan.  Terutama untuk pelaku bisnis dan industri, saat ini, telah hadir Satuplatform yang dapat membantu inisiatif lingkungan perusahaan. Sebagai all-in-one climate management solution, Satuplatform menyediakan berbagai layanan dan konsultasi mengenai karbon dan ESG bagi perusahaan dari berbagai sektor industri. Mari coba FREE DEMO nya sekarang! Similar Article Food Loss dan Dampaknya terhadap Iklim dan Lingkungan Food loss atau kehilangan pangan adalah salah satu masalah besar yang sering luput dari perhatian. Food loss mengacu pada makanan yang hilang di sepanjang rantai pasok sebelum mencapai konsumen, seperti saat panen, penyimpanan, transportasi, dan distribusi.  Berbeda dengan food waste, yang merujuk pada makanan yang dibuang oleh konsumen atau ritel, food loss lebih banyak terjadi di hulu rantai pasok. Meski tidak selalu disadari, kehilangan pangan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Baca Juga: Food Loss vs Food Waste Fakta dan Data Mengenai Food Loss Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 14% dari seluruh makanan yang diproduksi… YONO: Tren Gaya Hidup Ala Gen Z Tahun 2025 Di tahun 2025, tren gaya hidup terus berkembang, terutama di kalangan Gen Z yang dikenal adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Salah satu fenomena terbaru yang menjadi perbincangan hangat adalah YONO, sebuah konsep hidup yang semakin populer di berbagai belahan dunia.  YONO, singkatan dari You Only Need One, adalah filosofi hidup yang menekankan kesederhanaan, efisiensi, dan keberlanjutan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari fashion, teknologi, hingga kebiasaan konsumsi. Baca Juga: Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment Asal Usul dan Filosofi YONO Konsep YONO lahir dari kesadaran generasi muda terhadap konsumsi berlebihan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Dibandingkan dengan tren… Penyerap Karbon Luar Biasa: Pohon Mangrove, Petai, dan Durian Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer, peran pohon sebagai penyerap karbon alami menjadi semakin penting. Beberapa spesies pohon memiliki kapasitas luar biasa dalam menyerap dan menyimpan karbon, membantu menyeimbangkan ekosistem serta mengurangi dampak pemanasan global. Di antara banyaknya pohon yang …

6

Carbon Markets Trend Among ASEAN Countries

The global movement toward carbon neutrality has accelerated the adoption of carbon markets as a tool for mitigating greenhouse gas (GHG) emissions including in ASEAN countries. Characterized by rapid economic growth and increasing environmental concerns, ASEAN member states are progressively engaging in carbon trading mechanisms.  This article explores the trends of carbon markets within each ASEAN country, by seeing its challenges, opportunity, and economic impacts. Read other articles : Carbon Market: A New Way for Sustainable Future Carbon Markets in ASEAN Carbon markets operate as platforms where carbon credits are bought and sold, allowing countries and corporations to offset emissions. ASEAN nations have shown a growing interest in carbon pricing mechanisms, either through cap-and-trade systems or carbon taxes. Take example Singapore and Indonesia, as frontrunners in the region’s carbon market development. Singapore implemented Southeast Asia’s first carbon tax in 2019, initially priced at SGD 5 ($3.7) per metric ton of CO2-equivalent emissions. The government plans to raise this to SGD 50–80 per ton by 2030, ensuring a significant impact on emission reductions. The Singapore Exchange (SGX) has also introduced Climate Impact X (CIX), a carbon trading platform facilitating high-quality carbon credit transactions. Alongwith Singapore, Indonesia launched its carbon exchange in 2023. Operated by the Indonesia Stock Exchange (IDX), the platform aims to regulate carbon trading and support Indonesia’s target of achieving net-zero emissions by 2060.  Economic and Environmental Impacts In ASEAN, carbon markets influence both economic growth and environmental sustainability. A well-functioning carbon market can contribute to a country’s GDP while reducing emissions. ASEAN’s engagement in carbon markets is estimated to reduce emissions by 20–30% over the next decade, according to data from the ASEAN Centre for Energy. The implementation of a carbon market will create financial incentives for businesses to adopt cleaner technologies and improve energy efficiency. By putting a price on carbon emissions, these markets encourage companies to shift towards renewable energy sources and low-carbon innovations.  In ASEAN, the implementation of carbon pricing mechanisms, such as emissions trading systems (ETS) and carbon taxes, has gained momentum. Countries like Indonesia, Singapore, and Vietnam have already introduced frameworks for carbon trading, aiming to balance economic development with sustainability goals. Challenges of Carbon Market in ASEAN Despite the progress, ASEAN faces several challenges in scaling carbon markets effectively. One of the challenges by ASEAN member states is still lack of clear regulatory frameworks, causing hesitation among investors. Besides, varying carbon pricing mechanisms across ASEAN limit regional integration. Another major challenge is the limited technical capacity and infrastructure needed to support carbon market operations. Many ASEAN member states lack robust monitoring, reporting, and verification (MRV) systems, which are essential for ensuring transparency and credibility in carbon trading. Without standardized MRV frameworks, there is a risk of inconsistencies in emissions accounting, making it difficult to build investor confidence. Opportunities of Carbon Market in ASEAN Beside the challenges, the carbon market is having a promising opportunity in ASEAN. A well-integrated regional carbon market allows for seamless cross-border trading of carbon credits, attracting more investors and fostering cooperation among member states. By establishing common regulatory standards, ASEAN can build a more efficient and credible carbon trading system. The adoption of advanced technologies also matters. Such as blockchain and AI-driven verification systems can improve the integrity and tracking of carbon credits. Blockchain ensures transparency and security in transactions, reducing the risk of fraud and double counting. Meanwhile, AI-powered monitoring systems can enhance accuracy in emissions measurement and compliance reporting, making carbon markets more reliable and efficient. Future of Carbon Market in ASEAN With the current condition that we can see, that ASEAN carbon market landscape is evolving rapidly, by 2030 ASEAN countries could see a significant rise in carbon trading activities, potentially linking with global markets such as the EU ETS and China’s national carbon market. The key to success lies in robust regulatory frameworks, enhanced market transparency, and cross-border cooperation. Industry sectors in ASEAN such as energy, manufacturing, and transportation stand to benefit from carbon trading by adopting cleaner technologies and optimizing resource efficiency. By integrating carbon pricing into their operations, companies can not only comply with environmental regulations but also gain a competitive edge in international markets that prioritize sustainability. Especially now we have Satuplatform as all-in-one climate management solutions who provides you with carbon calculator platform and consultancy. Try our FREE DEMO now! Similar Article Food Loss dan Dampaknya terhadap Iklim dan Lingkungan Food loss atau kehilangan pangan adalah salah satu masalah besar yang sering luput dari perhatian. Food loss mengacu pada makanan yang hilang di sepanjang rantai pasok sebelum mencapai konsumen, seperti saat panen, penyimpanan, transportasi, dan distribusi.  Berbeda dengan food waste, yang merujuk pada makanan yang dibuang oleh konsumen atau ritel, food loss lebih banyak terjadi di hulu rantai pasok. Meski tidak selalu disadari, kehilangan pangan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Baca Juga: Food Loss vs Food Waste Fakta dan Data Mengenai Food Loss Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 14% dari seluruh makanan yang diproduksi… YONO: Tren Gaya Hidup Ala Gen Z Tahun 2025 Di tahun 2025, tren gaya hidup terus berkembang, terutama di kalangan Gen Z yang dikenal adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Salah satu fenomena terbaru yang menjadi perbincangan hangat adalah YONO, sebuah konsep hidup yang semakin populer di berbagai belahan dunia.  YONO, singkatan dari You Only Need One, adalah filosofi hidup yang menekankan kesederhanaan, efisiensi, dan keberlanjutan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari fashion, teknologi, hingga kebiasaan konsumsi. Baca Juga: Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment Asal Usul dan Filosofi YONO Konsep YONO lahir dari kesadaran generasi muda terhadap konsumsi berlebihan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Dibandingkan dengan tren… Penyerap Karbon Luar Biasa: Pohon Mangrove, Petai, dan Durian Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer, peran pohon sebagai penyerap karbon alami menjadi semakin penting. Beberapa spesies pohon memiliki kapasitas luar biasa dalam menyerap dan menyimpan karbon, membantu menyeimbangkan ekosistem serta mengurangi dampak pemanasan global. Di antara banyaknya pohon yang memiliki fungsi ini, mangrove, petai, …

8

5 Alasan Penting Terjadinya Daur Karbon

Siklus karbon atau daur karbon menjadi suatu siklus biogeokimia yang alami terjadi dan telah dimulai sejak ratusan tahun yang lalu. Daur karbon menggambarkan sebuah proses bertukarnya karbon antara atmosfer, tanah, perairan, organisme, sampai akhirnya kembali lagi ke atmosfer. Daur karbon juga memungkinkan sebagian besar karbon disimpan dalam sedimen dan batuan sebagai cadangan di masa depan. Pada dasarnya karbon, merupakan elemen dasar yang menopang kehidupan bumi dan seisinya. Karbon adalah elemen kunci kehidupan dan mendukung berbagai proses biologis dan ekosistem. Meski begitu, hadirnya siklus karbon berfungsi menjaga keseimbangan atmosfer sehingga tidak terjadi kekurangan atau kelebih karbon yang justru mengancam lingkungan. Baca juga artikel lainnya : Mikroorganisme dan Perannya dalam Menyeimbangkan Daur Karbon Berikut ini adalah alasan penting dibalik terjadinya daur karbon : 1. Menjaga Keseimbangan Gas di Atmosfer Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, daur karbon membantu alam mengendalikan kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer. Sebab terdapat konsekuensi jika jumlahnya tidak sesuai kebutuhan. Apabila CO2 terlalu banyak dilepas ke atmosfer dan terperangkap di dalamnya, efek rumah kaca pun akan terjadi. Hal ini bisa meningkatkan risiko pemanasan global dan membuat dampaknya menjadi lebih buruk. Sebaliknya, bumi yang kekurangan CO2 bisa membuat suhu turun dan menjadi dingin. Karbon yang mengandung panas berperan menghangatkan bumi dan seisinya sehingga kehidupan pun berjalan baik. Daur oksigen juga terjadi untuk memastikan pasokan oksigen (O2) tetap tersedia untuk makhluk hidup yang bergantung pada respirasi aerobik. Manusia dan hewan adalah contoh di antaranya. 2. Mendukung Kehidupan Makhluk Hidup Karbon dibutuhkan selain untuk menghangatkan bumi juga salah satunya untuk fotosintesis. Tumbuhan dan fitoplankton menyerap karbon dioksida melalui proses fotosintesis yang kemudian melepaskan senyawa oksigen yang digunakan oleh makhluk hidup untuk respirasi. Dalam proses sebaliknya, hewan dan manusia menghirup oksigen untuk respirasi dan mengeluarkan karbon dioksida yang akan kembali digunakan oleh tumbuhan untuk melakukan fotosintesis. 3. Mengatur Suhu Bumi Melalui daur karbon, alam mencegah penumpukan karbon dioksida di atmosfer yang bisa memerangkap panas berlebih. Kelebihan emisi karbon dapat membuat bumi lebih panas dan menyebabkan perubahan iklim. Tanpa daur karbon, bumi bisa menjadi terlalu panas atau malah terlalu dingin. Hal ini tentu akan mengganggu kehidupan dan membahayakan makhluk hidup. 4. Mendukung Ekosistem Laut & Darat Daur karbon juga berperan dalam menjaga keseimbangan ekosistem di darat dan laut. Di lautan, fitoplankton yang merupakan makanan bagi banyak organisme laut, melakukan fotosintesis dengan menyerap karbon dioksida dari atmosfer dan menghasilkan oksigen.  Ketika fitoplankton mati atau dimakan, karbon juga akan turut mengendap di dasar laut yang kemudian tersimpan dalam sedimen laut selama ribuan hingga jutaan tahun (carbon sequestration). Sementara di daratan, pohon dan tumbuhan menyerap karbon dioksida melalui fotosintesis dan menyimpannya dalam biomassa (batang, daun, akar). Proses ini juga membantu menghasilkan oksigen yang dibutuhkan oleh hewan dan manusia untuk bernapas. 5. Mencegah Ketidakseimbangan Ekologis Siklus karbon yang terganggu, misalnya oleh aktivitas manusia yang menghasilkan terlalu banyak CO2 ke lingkungan, bisa menyebabkan ketidakseimbangan ekologis. Hal-hal yang bisa terjadi di antaranya perubahan iklim, pengasaman laut, dan punahnya spesies. Pengasaman laut dapat merusak ekosistem laut, yang membahayakan terumbu karang dan organisme dengan cangkang kalsium karbonat,seperti kerang dan plankton. Ini adalah kewajiban bagi kita untuk turut serta mencegah terjadinya ketidakseimbangan ekologis. Anda juga bisa mulai menerapkan konsep sustainability management dalam kegiatan operasional perusahaan atau organisasi. Jalankan rencana tersebut dengan lebih mudah bersama Satuplatform! Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG management, carbon accounting, dan sustainability reporting. Kami dapat membantu Anda mencapai tujuan keberlanjutan dengan menjadi yang terdepan sesuai regulasi yang berlaku.  Dengan fitur-fitur Satuplatform, Anda dapat: Satuplatform juga didukung oleh tim ahli yang berpengalaman di bidang keberlanjutan bisnis. Tim ahli kami akan membantu memahami kebutuhan Anda dan mengimplementasikan solusi yang tepat. Hubungi Satuplatform dan dapatkan FREE DEMO sekarang!  Wujudkan bisnis yang berkelanjutan, berdaya saing, dan bertanggung jawab bersama Satuplatform.  Similar Article Food Loss dan Dampaknya terhadap Iklim dan Lingkungan Food loss atau kehilangan pangan adalah salah satu masalah besar yang sering luput dari perhatian. Food loss mengacu pada makanan yang hilang di sepanjang rantai pasok sebelum mencapai konsumen, seperti saat panen, penyimpanan, transportasi, dan distribusi.  Berbeda dengan food waste, yang merujuk pada makanan yang dibuang oleh konsumen atau ritel, food loss lebih banyak terjadi di hulu rantai pasok. Meski tidak selalu disadari, kehilangan pangan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Baca Juga: Food Loss vs Food Waste Fakta dan Data Mengenai Food Loss Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 14% dari seluruh makanan yang diproduksi… YONO: Tren Gaya Hidup Ala Gen Z Tahun 2025 Di tahun 2025, tren gaya hidup terus berkembang, terutama di kalangan Gen Z yang dikenal adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Salah satu fenomena terbaru yang menjadi perbincangan hangat adalah YONO, sebuah konsep hidup yang semakin populer di berbagai belahan dunia.  YONO, singkatan dari You Only Need One, adalah filosofi hidup yang menekankan kesederhanaan, efisiensi, dan keberlanjutan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari fashion, teknologi, hingga kebiasaan konsumsi. Baca Juga: Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment Asal Usul dan Filosofi YONO Konsep YONO lahir dari kesadaran generasi muda terhadap konsumsi berlebihan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Dibandingkan dengan tren… Penyerap Karbon Luar Biasa: Pohon Mangrove, Petai, dan Durian Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer, peran pohon sebagai penyerap karbon alami menjadi semakin penting. Beberapa spesies pohon memiliki kapasitas luar biasa dalam menyerap dan menyimpan karbon, membantu menyeimbangkan ekosistem serta mengurangi dampak pemanasan global. Di antara banyaknya pohon yang memiliki fungsi ini, mangrove, petai, dan durian menonjol sebagai spesies yang efektif sebagai penyerap karbon. Baca Juga: Program Rehabilitasi Mangrove, Mengapa Penting dan Cerita dari Kampung Laut Cilacap 1. Pohon Penyerap Karbon Mangrove: Sang Penjaga Pesisir Mangrove adalah salah satu jenis pohon yang paling efisien dalam menyerap karbon. Hutan mangrove dapat menyimpan karbon 3–5… Waste to Energy (WTE) : Negara Swedia Lakukan Impor Sampah Di tengah kondisi bumi yang semakin ‘overwhelmed’ dengan limbah di lingkungan, impor sampah menjadi suatu mekanisme yang kini mulai semakin diperhitungkan. Impor sampah merujuk pada praktik suatu negara menerima limbah dari negara lain untuk diolah, didaur ulang, atau digunakan sebagai sumber energi.  Beberapa negara-negara di dunia melakukan impor sampah, termasuk …

6

3 Masalah Lingkungan yang Dapat Menghambat Daur Karbon dan Oksigen

Daur Karbon Siklus karbon atau daur karbon merupakan salah satu proses alami di alam yang sangat pentingnya fungsinya bagi kondisi kehidupan di bumi. Baca juga artikel lainnya : Memahami Daur Karbon, Definisi, Contoh Proses, dan Manfaatnya  Daur karbon menjadi suatu siklus biogeokimia di mana karbon ditukar antara atmosfer, biosfer, hidrosfer, dan geosfer, atau kemudian disimpan di reservoir sebagai cadangan yang kaya manfaat. Terjadinya daur karbon berperan signifikan dalam menjaga keseimbangan atmosfer, tetapi berbagai gangguan yang terjadi di alam, baik karena faktor alami maupun akibat aktivitas manusia, dapat menghambat proses daur karbon dan oksigen. Apa saja masalah lingkungan yang dapat menghambat proses daur karbon karbon? Mari kita bahas! 1. Masalah Daur Karbon dari Deforestasi atau Penggundulan Hutan Habisnya lahan hutan dan tutupan pohon akibat pembukaan lahan maupun deforestasi menjadi salah satu faktor yang dapat menghambat daur karbon. Padahal, hutan memainkan peran penting dalam menyerap dan mempertahankan emisi gas rumah kaca berlebih yang ada di dalam atmosfer. Pohon dan tumbuhan dapat menyerap karbon dioksida dari atmosfer melalui proses fotosintesis, membantu memerangi perubahan iklim. Dilansir dari World Research Institute, berdasarkan penelitian oleh Nature Climate Change, hutan di dunia mampu menyerap karbon dioksida (CO2) hampir dua kali lebih banyak daripada yang dihasilkannya antara 2001 dan 2019.  Dengan kata lain, hutan merupakan penyerap karbon handal yang mampu menyerap bersih 7,6 miliar metrik ton CO2 per tahun. Angka yang 1,5 kali lebih banyak dari yang dipancarkan Amerika Serikat setiap tahunnya. Jika hutan ditebang tanpa reboisasi, maka jumlah karbon yang diserap berkurang. Akibatnya, akan ada lebih banyak karbon yang tertahan di atmosfer daripada yang seharusnya ada sehingga dapat meningkatkan efek rumah kaca dan mempengaruhi kondisi perubahan iklim. 2. Masalah Daur Karbon Kerusakan Ekosistem Lahan Basah dan Gambut Rusaknya ekosistem lahan basah dan gambut dapat terjadi karena beragam faktor. Sebagian besar diakibatkan oleh ulah manusia seperti alih fungsi lahan serta faktor alam berupa kebakaran akibat musim kemarau berkepanjangan dan bencana alam. Di Indonesia sendiri, tercatat terdapat 95 persen dari dari 289 titik sampel gambut non-konsesi di area restorasi pemerintah yang pernah terbakar (burned area) dan kehilangan tutupan pohon (Tree Cover Loss/TCL), telah berubah menjadi perkebunan jenis tanaman lahan kering dan semak belukar, sebagaimana dikutip dari situs Pantau Gambut. Padahal, lahan basah dan gambut yang lestari juga subur merupakan penyerap dan reservoir karbon yang hebat. Yayasan Konservasi Alam Nusantara menyebut bahwa gambut memiliki kapasitas penyimpanan karbon 10 sampai 13 kali lebih besar dibanding ekosistem lain. Gambut dan lahan basah juga diketahui telah menyimpan jutaan karbon selama ribuan tahun. Jika dikeringkan atau dibakar untuk perkebunan, karbon yang tersimpan dilepaskan ke atmosfer, mempercepat perubahan iklim. 3. Pengelolaan Limbah yang Buruk Menghambat Daur Karbon Tumpukan ribuan sampah di ruang terbuka seperti Tempat Pembuangan Akhir (TPA) tanpa disadari merupakan masalah yang dapat menghambat daur karbon dan oksigen. Sampah organik yang membusuk dapat melepaskan sejumlah besar gas metana (CH4) yang punya sifat lebih kuat daripada CO2 sebagai gas rumah kaca. Jika sampah tidak dikelola dengan baik, karbon yang tersimpan dalam bahan organik bisa dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk gas berbahaya. Kondisi ini, selain dapat menghambat daur karbon juga meningkatkan terjadinya pemanasan global karena metana berlebih yang terperangkap dan sulit diserap kembali dari atmosfer. Daur karbon bisa terhambat karena aktivitas manusia yang mempercepat pelepasan karbon tanpa diimbangi dengan penyerapannya.  Oleh karena itu, diperlukan kesadaran serta tindakan seperti penghijauan, energi terbarukan, pengelolaan limbah yang baik, dan konservasi lahan basah untuk dapat membantu menjaga keseimbangan siklus karbon. Tentang Satuplatfrom Satuplatform  dapat membantu inisiatif lingkungan perusahaan, yang mana kami hadir sebagai all-in-one climate management solution, Satuplatform menyediakan berbagai layanan dan konsultasi mengenai karbon dan ESG bagi perusahaan dari berbagai sektor industri. Mari coba FREE DEMO nya sekarang! Similar Article Food Loss dan Dampaknya terhadap Iklim dan Lingkungan Food loss atau kehilangan pangan adalah salah satu masalah besar yang sering luput dari perhatian. Food loss mengacu pada makanan yang hilang di sepanjang rantai pasok sebelum mencapai konsumen, seperti saat panen, penyimpanan, transportasi, dan distribusi.  Berbeda dengan food waste, yang merujuk pada makanan yang dibuang oleh konsumen atau ritel, food loss lebih banyak terjadi di hulu rantai pasok. Meski tidak selalu disadari, kehilangan pangan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Baca Juga: Food Loss vs Food Waste Fakta dan Data Mengenai Food Loss Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 14% dari seluruh makanan yang diproduksi… YONO: Tren Gaya Hidup Ala Gen Z Tahun 2025 Di tahun 2025, tren gaya hidup terus berkembang, terutama di kalangan Gen Z yang dikenal adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Salah satu fenomena terbaru yang menjadi perbincangan hangat adalah YONO, sebuah konsep hidup yang semakin populer di berbagai belahan dunia.  YONO, singkatan dari You Only Need One, adalah filosofi hidup yang menekankan kesederhanaan, efisiensi, dan keberlanjutan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari fashion, teknologi, hingga kebiasaan konsumsi. Baca Juga: Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment Asal Usul dan Filosofi YONO Konsep YONO lahir dari kesadaran generasi muda terhadap konsumsi berlebihan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Dibandingkan dengan tren… Penyerap Karbon Luar Biasa: Pohon Mangrove, Petai, dan Durian Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer, peran pohon sebagai penyerap karbon alami menjadi semakin penting. Beberapa spesies pohon memiliki kapasitas luar biasa dalam menyerap dan menyimpan karbon, membantu menyeimbangkan ekosistem serta mengurangi dampak pemanasan global. Di antara banyaknya pohon yang memiliki fungsi ini, mangrove, petai, dan durian menonjol sebagai spesies yang efektif sebagai penyerap karbon. Baca Juga: Program Rehabilitasi Mangrove, Mengapa Penting dan Cerita dari Kampung Laut Cilacap 1. Pohon Penyerap Karbon Mangrove: Sang Penjaga Pesisir Mangrove adalah salah satu jenis pohon yang paling efisien dalam menyerap karbon. Hutan mangrove dapat menyimpan karbon 3–5… Waste to Energy (WTE) : Negara Swedia Lakukan Impor Sampah Di tengah kondisi bumi yang semakin ‘overwhelmed’ dengan limbah di lingkungan, impor sampah menjadi suatu mekanisme yang kini mulai semakin diperhitungkan. Impor sampah merujuk pada praktik suatu negara menerima limbah dari negara lain untuk diolah, didaur ulang, atau digunakan sebagai sumber energi.  Beberapa negara-negara di dunia melakukan impor sampah, termasuk Swedia. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana Swedia mengimpor sampah dan apa …

5

Terumbu Karang dan Hutan Bakau dalam Menjaga Keseimbangan Karbon

Keseimbangan karbon merupakan kondisi di mana jumlah karbon yang dilepaskan ke atmosfer sebanding dengan jumlah yang mampu diserap kembali oleh ekosistem alami atau teknologi penyerapan karbon. Ini adalah salah satu target penting yang perlu dilakukan dalam menjaga kestabilan iklim dan mencegah peningkatan suhu global akibat efek rumah kaca. Target yang juga krusial bagi negara-negara di dunia, yang tengah berupaya mewujudkan Paris Agreement 2016 dan Net Zero Emission 2060.  Dengan terciptanya keseimbangan karbon, kita dapat mencegah terjadinya dampak pemanasan global yang berlebih. Keseimbangan karbon juga mengurangi risiko cuaca ekstrem akibat perubahan iklim yang mungkin dapat membahayakan kehidupan jika semakin parah. Untuk mencapai keseimbangan karbon, hal utama yang perlu dilakukan adalah mengurangi jumlah emisi karbon lepas ke atmosfer, baik melalui upaya efisiensi atau pun transisi energi bersih.  Salah satu yang dapat membantu mewujudkan pengurangan karbon adalah dengan melestarikan dan memulihkan hutan serta ekosistem penyerap karbon. Dalam hal ini melalui peran terumbu karang dan hutan bakau sebagai reservoir yang luar biasa. Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang menjadi salah satu ekosistem paling beragam yang ada di muka bumi ini. Polip karang sebagai hewan yang bertanggung jawab membangun terumbu karang, dapat memiliki beraneka bentuk dan hidup di berbagai dasar lautan seluruh dunia. Baca juga artikel lainnya : Perubahan Iklim dan Terumbu Karang: Apa yang Bisa Terjadi? Ekosistem terumbu karang menyediakan habitat bagi berbagai macam kehidupan laut, termasuk berbagai jenis spons, tiram, remis, kepiting, bintang laut, bulu babi, serta banyak spesies ikan.  Terumbu karang juga berhubungan secara ekologis dengan komunitas lamun, bakau, dan dataran lumpur di dekatnya. Salah satu alasan mengapa terumbu karang sangat bernilai tinggi adalah karena terumbu karang berfungsi sebagai pusat aktivitas kehidupan laut. Diperkirakan sekitar 25 persen ikan dan hewan lainnya di lautan bergantung pada terumbu karang yang sehat untuk bertahan hidup. Beragam organisme berlindung, mencari makanan, bereproduksi, hingga membesarkan keturunan mereka di banyak sudut dan celah yang dibentuk oleh karang. Salah satunya seperti terumbu karang di Northwest Hawaiian Island, di mana ekosistem terumbu karang air dangkal di sana mendukung kehidupan lebih dari 7.000 spesies ikan, invertebrata, tumbuhan, penyu laut, burung dan mamalia laut. Ekosistem Hutan Bakau Hutan bakau merupakan sebuah ekosistem yang penting bagi wilayah tepi pantai. Tidak hanya itu, hutan bakau yang tumbuh di muara sungai juga lahan gambut bisa sangat bermanfaat bagi masyarakat dunia, utamanya yang tinggal di daerah pesisir. Ekosistem ini dipengaruhi oleh pasang surut air laut.  Mangrove terdiri dari komponen ekosistem biotik dan abiotik. Komponen biotik, terdiri dari vegetasi mangrove yang meliputi pepohonan, semak, dan fauna Sedangkan komponen abiotik, terdiri dari pasang surut air laut, lumpur berpasir, ombak laut, pantai yang landai, salinitas laut. Saat ini hutan bakau merupakan formasi tumbuhan yang menutupi 75 persen pesisir, delta, dan muara di wilayah intertropis. Bakau atau mangrove sangat penting bagi keanekaragaman hayati. Ekosistem hutan bakau diperlukan untuk melindungi pantai dari abrasi, melindungi pantai dari intrusi air laut, menyediakan habitat satwa, serta menjaga kualitas air. Pentingnya Kehadiran Ekosistem Terumbu Karang dan Hutan Bakau untuk Keseimbangan Karbon Ekosistem terumbu karang dan hutan bakau merupakan filter alami yang manfaatnya lebih dari apa yang kita bayangkan. Baik terumbu karang dan mangrove, keduanya sama-sama memiliki kemampuan yang baik dalam menyerap dan menyimpan emisi karbon di lingkungan. Diketahui bahwa terumbu karang dapat menyerap karbon dari atmosfer melalui mulut polyp dan menggunakannya sebagai bahan baku pembuatan batuan karbonat. Keberadaannya penting untuk menjaga keseimbangan ekosistem laut. Hutan bakau sendiri merupakan penyerap karbon yang dapat menyimpan hingga sepuluh kali lebih banyak CO2 per hektar daripada hutan daratan. Bakau mampu menyerap sekitar 10 persen emisi karbon global, meskipun hanya mewakili 1 persen dari luas permukaan hutan tropis. Peran keduanya berkontribusi langsung terhadap mitigasi perubahan iklim.  Tentang Satuplatform Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG management, carbon accounting, dan sustainability reporting. Kami dapat membantu Anda mencapai tujuan keberlanjutan dengan menjadi yang terdepan sesuai regulasi yang berlaku.  Dengan fitur-fitur Satuplatform, Anda dapat: Satuplatform juga didukung oleh tim ahli yang berpengalaman di bidang keberlanjutan bisnis. Tim ahli kami akan membantu memahami kebutuhan Anda dan mengimplementasikan solusi yang tepat. Hubungi Satuplatform dan dapatkan FREE DEMO sekarang!  Wujudkan bisnis yang berkelanjutan, berdaya saing, dan bertanggung jawab bersama Satuplatform! Similar Article Waste to Energy (WTE) : Negara Swedia Lakukan Impor Sampah Di tengah kondisi bumi yang semakin ‘overwhelmed’ dengan limbah di lingkungan, impor sampah menjadi suatu mekanisme yang kini mulai semakin diperhitungkan. Impor sampah merujuk pada praktik suatu negara menerima limbah dari negara lain untuk diolah, didaur ulang, atau digunakan sebagai sumber energi.  Beberapa negara-negara di dunia melakukan impor sampah, termasuk Swedia. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana Swedia mengimpor sampah dan apa dampaknya secara lingkungan maupun secara ekonomi.  Baca juga artikel lainnya : Waste to Energy : Kelebihan dan Kekurangan Waste-to-energy (WTE) Swedia telah lama menjadi pelopor dalam pengelolaan limbah yang efisien dan berkelanjutan. Negara ini dikenal dengan sistem waste-to-energy… Bagaimana Kerjasama Sister-City untuk Dukung Fasilitas Kota yang Ramah Lingkungan? Dalam menghadapi tantangan lingkungan perkotaan, banyak kota di dunia menjalin hubungan sister-city guna bertukar pengalaman dan teknologi dalam membangun fasilitas yang lebih ramah lingkungan. Konsep sister-city tidak hanya bertujuan mempererat hubungan diplomatik, tetapi juga menjadi platform untuk berbagi solusi inovatif dalam mengatasi permasalahan perkotaan seperti polusi udara, pengelolaan limbah, dan efisiensi energi.  Artikel ini akan membahas lima aspek utama dari kerjasama sister-city dalam mendukung pembangunan kota yang berkelanjutan. 1. Implementasi Teknologi Hijau dalam Infrastruktur Perkotaan untuk Kota Ramah Lingkungan Melalui kerjasama sister-city, banyak kota mengadopsi teknologi hijau untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Misalnya, Jakarta yang bermitra dengan Rotterdam dalam pengelolaan air… Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment As environmental concerns continue to escalate, Generation Z (Gen Z) has emerged as a driving force in the movement toward sustainability. Characterized by their digital savviness, social consciousness, and commitment to change, Gen Z is leveraging innovation, activism, and business strategies to foster a more sustainable future.  Read other articles : Carbon Market: A New Way for Sustainable Future Gen Z initiatives span from personal lifestyle changes to large-scale advocacy and corporate engagement. This article explores five key areas where Gen Z is making an impactful difference. Sustainable and Ethical Spending Gen Z is …