Dapur Ramah Lingkungan: Mengurangi Jejak Karbon dengan Mengelola Limbah Makanan

Jumlah Sampah Rumah Tangga di Indonesia

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yakni, selama 2023 terdapat 19,56 juta ton sampah yang dihasilkan di Indonesia. Angka tersebut merupakan himpunan data dari 96 kabupaten/kota, sehingga belum mencerminkan volume total sampah nasional. Meskipun begitu, jumlah sampah yang dihasilkan tidak bisa dianggap remeh dan tetap perlu perhatian khusus untuk penanganannya.

Dari data tersebut, diketahui juga mayoritas sampah di Indonesia berasal dari rumah tangga dengan proporsi sebanyak 39,1% yang diikuti juga dengan sampah plastik sebanyak 18,6%, kemudian kayu/ranting/daun sebesar 11,5% terdapat juga sampah kertas/karton sebesar 10,5%. Besarnya sampah yang dihasilkan dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi, dengan estimasi total kerugian mencapai Rp 213-551 Triliun/Tahun atau setara dengan 4-5% PDB di Indonesia.

Kendati demikian, terdapat sebuah fakta yang cukup ironi yakni, tingkat kelaparan di Indonesia menurut Global Hunger Index 2021 menempati peringkat ketiga di Asia Tenggara. Hal tersebut cukup kontras dengan jumlah sampah yang dihasilkan, yang semestinya bisa membantu masyarakat yang membutuhkan. 

Selain mendapat kerugian secara materi, terdapat potensi kerugian ekologi yang akan menghantui. Hal ini dikarenakan, sampah makanan atau organik yang terbuang di tanah dapat menyebabkan Gas Metana yang 23 kali lebih berbahaya daripada Karbondioksida (CO2) yang dapat menimbulkan ledakan seperti peristiwa yang terjadi di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat. 

Sampah Dapur dan Jejak Karbon

1

Sejatinya, limbah makanan yang tidak terkelola dengan baik dapat berkontribusi untuk menghasilkan jejak karbon (carbon footprint). Dimulai dari produksi bahan makanan, pengolahan, hingga penyajian makanan yang siap disantap di meja makan tidak luput dari jejak karbon yang dihasilkan.

Baca juga artikel lainnya : Daur Ulang Sampah: Pengertian, Cara, hingga Manfaatnya

Salah satu contoh yang bisa kita telisik bersama yakni produksi Daging Merah. Di peternakan, penggembalaan hewan ternak dapat menghasilkan emisi karbon dari gas yang berasal kotoran hewan tersebut misal, Sapi. Bahkan, menurut OurWorldinData.org, aktivitas peternakan menyumbang paling banyak karbon dari kotoran sapi dalam kategori produksi daging.

Kemudian proses distribusi makanan juga menghasilkan jejak karbon dari penggunaan kendaraan selama perjalanan. Tidak jarang bahan makanan mengalami kerusakan, bahkan sebelum makanan tersebut sampai ke konsumen, sehingga menyebabkan food loss. Sedangkan sampah dapur seperti sisa makanan yang tidak dioptimalkan dengan baik, kulit buah yang tidak terpakai, sayur yang membusuk, hingga sisa makanan yang tidak dihabiskan dapat menyebabkan food waste. 

Mengenal Food Loss dan Food Waste

Menurut Food and Agriculture Organization (FAO) yang dimaksud dengan food loss yakni penurunan kualitas atau kuantitas makanan akibat keputusan dan perilaku pemasok makanan di luar retail, penyedia jasa makanan dan konsumen. Sedangkan, food waste adalah penurunan kualitas atau kuantitas makanan akibat keputusan perilaku retail, jasa makanan, dan konsumen. 

Meskipun begitu, memang tidak semua makanan dapat dihindari untuk menjadi food waste. Masih ada beberapa bagian makanan yang memang tidak bisa dikonsumsi seperti, tulang, atau kulit. Sedangkan, sisa-sia konsumsi, makanan yang hanya dikonsumsi sebagian, makanan yang tidak dimakan (masih utuh, belum dibuka) bisa menjadi sampah makanan yang dapat dihindari, serta pengelolaan sampah dapur khususnya sampah organik juga perlu ditangani dengan benar.

Pencegahan dan Penanganan Limbah Dapur

Semestinya, setiap sampah yang dihasilkan merupakan tanggung jawab bagi semua Individu. Ungkapan “Sampahmu Tanggung Jawabmu” menjadi frasa yang harus digaungkan agar semua pihak memiliki kesadaran untuk mengelola sampah yang dihasilkan, termasuk juga dengan sampah dapur. Berikut beberapa hal yang bisa diterapkan untuk mengurangi sampah dapur (sampah organik).

Pencegahan: 

  1. Belanja dan masak kebutuhan dapur secukupnya untuk meminimalisir sisa konsumsi yang terbuang secara berlebihan.  
  2. Membeli imperfect fruits or vegetables. Buah atau sayur yang kurang baik secara tampilan tetap memiliki nutrisi yang sama baiknya dengan yang memiliki tampilan bagus. 
  3. Menyimpan bahan makanan dengan tepat, seperti tidak menggabungkan sayur dan buah pada tempat yang sama karena akan menimbulkan gas etilen yang mempercepat pembusukan. 
  4. Gunakan metode FIFO (First in First Out) yakni menggunakan bahan makanan yang dimasukan lebih awal akan digunakan terlebih dahulu. Hal ini bertujuan untuk menghindari batas konsumsi (expired) dari bahan konsumsi tersebut. 
  5. Menghabiskan makanan sehingga tidak ada sisa konsumsi yang terbuang.

Penanganan: 

  1. Kompos menjadi salah satu upaya untuk meminimalisir sampah terbuang ke TPA. Hasil dari kompos berupa pupuk organik dapat dijadikan pupuk untuk tanaman. 
  2. Eco-Enzyme juga menjadi opsi agar kulit buah tidak terbuang secara percuma. Cairan multiguna ini bisa menunjang kegiatan bebersih di rumah. 
  3. Memberikan ke hewan. Tidak jarang, sisa konsumsi yang tidak habis dijadikan pakan ternak agar dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup lainnya.


Tentang Greeneration Foundation

Greeneration Foundation adalah adalah NGO yang berperan sebagai hub/katalisator di bidang ekosistem lingkungan. Kami mengelola program-program dengan dua pendekatan: sebagai perantara berbagai pihak, serta sebagai pelaksana langsung. Fokus utama kami adalah mengubah perilaku terkait isu-isu pengelolaan sampah, perubahan iklim, dan penerapan ekonomi sirkular.

Narahubung Media
Fitria Budiyanti
Communication and Media Officer
Email: fitria@greeneration.org
Website: www.greeneration.org