Melihat Potensi Blue Carbon Indonesia dari Kawasan Hutan Mangrove

Blue carbon menjadi salah satu topik pembahasan menarik saat ini. Apalagi, Indonesia merupakan negara maritim dan kepulauan yang berkomtimen dalam mencapai target penurunan emisi dalam rangka mitigasi perubahan iklim.

Tentu, potensi besar ekosistem blue carbon tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sebelum lebih jauh, apa itu blue carbon? Berikut ulasan selengkapnya!

Apa yang Dimaksud dengan Blue Carbon?

Sederhananya, karbon biru atau blue carbon adalah karbon yang diserap dan disimpan oleh ekosistem laut dan pesisir. Ekosistem pesisir seperti mangrove, rawa pasang surut, dan padang lamun menyerap serta menyimpan lebih banyak karbon per satuan luas dibandingkan dengan hutan daratan. Kini keberadaan ekosistem karbon biru makin diakui perannya dalam mengurangi dampak perubahan iklim

Jelas, sebab keberadaan ekosistem karbon biru berperan krusial dalam mengurangi dampak perubahan iklim dengan menyerap emisi karbon yang terperangkap di atmosfer, membantu mencapai target perubahan iklim nasional dan global yang telah ditetapkan.

Hutan Mangrove dan Potensi Besar Blue Carbon Indonesia

Salah satu ekosistem alami khas pesisir dan memiliki potensi besar penyimpanan karbon yaitu hutan mangrove.

Faktanya, hasil penelitian para ahli CIFOR (Center for International Forestry Research) tahun 2003 dalam Rahman (2023), hutan mangrove dikategorikan sebagai ekosistem lahan basah dengan potensi penyimpanan karbon 800-1.200 ton/ha. Hasil penelitian pada hutan bakau di Indonesia diperkirakan menyimpan 0,82 -1,09 PgC (Pentagram Karbon per hektare).

“Mangrove sendiri untuk penyimpanan karbon itu hampir 5 kali lipat atau bahkan lebih daripada hutan-hutan tropis lainnya, jadi dibandingkan hutan boreal, ataupun hutan tropis sekalipun, mangrove ini punya potensi penyimpanan karbon yang lebih besar sekitar 5 kalinya dari hutan lain,” jelas Alma Cantika Aristia, Product Manager LindungiHutan.

Salah satu alasan mengapa ekosistem ini sangat efektif dalam menghilangkan dan menyimpan karbon adalah karena spesies tumbuhan yang ada di dalamnya cenderung tumbuh dengan cepat, menyerap CO2 dari atmosfer dengan cepat pula.

Selain itu, mangrove biasanya tumbuh di tanah yang kekurangan oksigen atau “anaerob”. Hal ini memperlambat proses penguraian bahan tanaman (yang dapat melepaskan C02 kembali ke atmosfer), sehingga karbon dapat tersimpan dalam jangka waktu yang lama (WRI, 2023).

Selain kemampuannya yang efektif dalam menyerap karbon, hutan mangrove juga memberikan peran dalam menjaga biodiversitas. Mangrove menjadi habitat bagi berbagai jenis biota, fauna, dan flora yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem pesisir satu ini. Keberadaan makhluk hidup tersebut serta keseimbangan keanekaragaman hayatinya juga berdampak sosial maupun ekonomi bagi masyarakat pesisir. Jadi, semua itu saling berkaitan satu sama lain demi terciptanya lingkungan yang lestari dan berkelanjutan.

Selain carbon stock-nya, jadi ekosistem ini menyerap dan menyimpan emisi karbon dioksida yang ada di udara, kemudian juga penjaga biodiversitas, dia juga mencegah abrasi, dan juga blue carbon ini berpotensi banget untuk meningkatkan perekonomian masyarakat,”  sambung Alma.

Besarnya potensi blue carbon, baik dari sisi mitigasi perubahan iklim, lingkungan, maupun sosial ekonomi, membuat pemerintah Indonesia lebih dalam menginjak gas upaya pelestarian dan rehabilitasi mangrove. Apalagi Indonesia memiliki target NDC (Nationally Determined Contribution) yang salah satunya bisa dicapai melalui sektor kelautan dan karbon biru.

Pada akhirnya, upaya konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove memerlukan kolaborasi berbagai stakeholder untuk mengakselerasi pencapaian target yang ada.  

Konservasi dan Rehabilitasi Hutan Mangrove, Aksi Nyata Mitigasi Perubahan Iklim Melalui Ekosistem Karbon Biru

Baca juga artikel lainnya : Lautan Sebagai Penyerap Karbon Alami

Tahukah kamu, luas hutan mangrove di Indonesia mencapai 3,68 juta hektare (Ha) atau 20,37% dari total dunia. Kendati demikian, bukan berarti tidak memerlukan upaya pelestarian lebih lanjut. Mengingat, kawasan pesisir rentan terhadap berbagai bentuk degradasi lingkungan yang mengancam keberlanjutan ekosistem. Mulai dari alih fungsi lahan hingga bentuk aktivitas eksploitasi lainnya.

Maka dari itu, perlu upaya pelestarian dan reforestasi kawasan hutan mangrove di Indonesia. Hutan-hutan mangrove yang sudah eksis perlu dijaga kelestariannya sembari kita melakukan rehabilitasi kawasan lain yang rusak.

Mengutip dari jurnal Nature Communications, sebuah penelitian menggabungkan hasil pengukuran lapangan langsung lebih dari 370 situs restorasi di seluruh dunia. Hasilnya menunjukkan bahwa reboisasi mangrove (menanam kembali mangrove di lokasi yang sebelumnya pernah ditumbuhi mangrove) memiliki potensi penyimpanan karbon per hektare yang lebih besar dibandingkan aforestasi (menanam mangrove di lokasi yang sebelumnya tidak ditumbuhi mangrove).

Hal tersebut kemudian bisa memperjelas pandangan kita terhadap urgensi pelestarian kawasan hutan mangrove. Sekaligus, menjadi ajakan bagi berbagai pihak untuk bersama-sama menghadapi perubahan iklim serta mendukung pencapaian target NDC. Utamanya melalui sektor-sektor laut dan pesisir salah satunya hutan mangrove.

Referensi:

Song, S., Ding, Y., Li, W. et al. Mangrove reforestation provides greater blue carbon benefit than afforestation for mitigating global climate change. Nat Commun 14, 756 (2023). https://doi.org/10.1038/s41467-023-36477-1

Katie Wood dan Oliver Ashford. (2023). How Blue Carbon Can Tackle the Climate, Biodiversity and Development Crisis. WRI.

Similar Article