15

5 Rekomendasi Tempat Wisata Edukasi Alam

Di tengah kepedulian terhadap lingkungan, tempat wisata yang bertema alam semakin populer di kalangan masyarakat. Tempat-tempat ini tidak hanya menawarkan keindahan alam, tetapi juga memberikan pengalaman belajar atau edukasi yang mendalam tentang konservasi, ekosistem, dan keanekaragaman hayati.  Baca Juga: Aksi Cinta Alam dari Para Pendaki Gunung Artikel ini akan membahas lima rekomendasi tempat wisata edukasi alam yang menggabungkan aspek pembelajaran dan pelestarian lingkungan. Simak ulasannya berikut! 1. Edukasi Alam Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh dan Sumatera Utara Taman Nasional Gunung Leuser merupakan salah satu kawasan konservasi terpenting di Indonesia, dikenal sebagai habitat orangutan Sumatera yang terancam punah. Luas taman nasional ini mencapai 7.927 km² dan menjadi rumah bagi lebih dari 130 spesies mamalia, 325 spesies burung, dan 190 spesies reptil dan amfibi. Kegiatan edukatif di taman nasional ini meliputi tur pengamatan satwa liar, program penanaman pohon, dan pelatihan konservasi. Pengunjung dapat belajar langsung tentang ekosistem hutan hujan tropis dan upaya pelestariannya. Wisata edukasi di Taman Nasional Gunung Leuser memberikan pemahaman tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam dan konservasi satwa langka. 2. Edukasi Alam Kebun Raya Bogor, Jawa Barat Kebun Raya Bogor adalah pusat penelitian botani tertua di Asia Tenggara dan menjadi destinasi wisata edukasi yang menarik. Kebun ini memiliki koleksi lebih dari 15.000 spesies tanaman, termasuk tanaman langka dan endemik. Setiap tahunnya, lebih dari 1 juta pengunjung datang untuk menikmati dan belajar di kebun raya ini. Program edukasi di Kebun Raya Bogor mencakup tur tematik, workshop botani, dan pameran tanaman. Pengunjung dapat memahami peran penting tanaman dalam menjaga ekosistem dan manfaatnya bagi kehidupan manusia. Dengan fasilitas lengkap dan koleksi tanaman yang kaya, Kebun Raya Bogor menawarkan pengalaman belajar yang menyenangkan dan bermanfaat. 3. Edukasi Alam Taman Nasional Komodo, Nusa Tenggara Timur Taman Nasional Komodo terkenal sebagai habitat asli komodo, reptil purba yang hanya ada di Indonesia. Taman ini mencakup area seluas 1.733 km² dan dihuni oleh sekitar 5.700 ekor komodo. Setiap tahun, taman ini dikunjungi oleh lebih dari 100.000 wisatawan domestik dan mancanegara. Program wisata edukasi mencakup tur pengamatan komodo, penjelajahan pulau, dan sesi edukasi tentang konservasi satwa. Pengunjung juga dapat belajar tentang ekosistem laut yang kaya di sekitarnya. Taman Nasional Komodo mengajarkan pentingnya konservasi satwa endemik dan menjaga ekosistem yang rapuh. 4. Edukasi Alam Taman Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk, Jakarta Taman Wisata Alam Mangrove Angke Kapuk di Jakarta Utara menawarkan wisata edukasi tentang ekosistem mangrove dan manfaatnya bagi lingkungan. Kawasan ini mencakup lahan seluas 99,82 hektar dengan berbagai jenis pohon mangrove. Setiap bulan, taman ini menerima lebih dari 10.000 pengunjung. Kegiatan edukatif meliputi penanaman mangrove, tur ekosistem, dan pelatihan tentang peran mangrove dalam mencegah abrasi dan perubahan iklim. Wisata edukasi di sini memberikan pemahaman langsung tentang peran vital mangrove dalam melindungi garis pantai dan keanekaragaman hayati. 5. Edukasi Alam Bali Bird Park, Bali Bali Bird Park adalah destinasi wisata edukasi yang menghadirkan pengalaman interaktif dengan berbagai jenis burung dari Indonesia dan seluruh dunia. Taman ini memiliki lebih dari 1.000 burung dari 250 spesies, dengan pengunjung tahunan mencapai 300.000 orang. Program edukasi mencakup pertunjukan burung, tur taman, dan sesi interaktif untuk mempelajari perilaku serta habitat burung. Pengunjung juga dapat memahami upaya pelestarian burung langka. Bali Bird Park memberikan wawasan tentang pentingnya perlindungan spesies burung dan habitatnya, serta mengedukasi masyarakat tentang keanekaragaman hayati. Tempat-tempat wisata edukasi alam di atas menawarkan kombinasi antara keindahan alam dan pembelajaran yang bermanfaat. Destinasi ini tidak hanya mendukung pelestarian alam tetapi juga memberikan manfaat ekonomi. Investasi dan partisipasi dalam wisata edukasi alam akan menjadi kunci untuk menciptakan kesadaran lingkungan yang lebih luas di masa depan.Seiring dengan hal tersebut, perusahaan dan industri juga dapat menjadikan tempat wisata alam sebagai sasaran inisiatif lingkungan.  Terutama untuk pelaku bisnis dan industri, saat ini, telah hadir Satuplatform.com yang dapat membantu inisiatif lingkungan perusahaan. Sebagai all-in-one solution, Satuplatform.com menyediakan berbagai layanan dan konsultasi bagi perusahaan dari berbagai sektor industri. Mari coba FREE DEMO nya sekarang! Similar Article Waste to Energy (WTE) : Negara Swedia Lakukan Impor Sampah Di tengah kondisi bumi yang semakin ‘overwhelmed’ dengan limbah di lingkungan, impor sampah menjadi suatu mekanisme yang kini mulai semakin diperhitungkan. Impor sampah merujuk pada praktik suatu negara menerima limbah dari negara lain untuk diolah, didaur ulang, atau digunakan sebagai sumber energi.  Beberapa negara-negara di dunia melakukan impor sampah, termasuk Swedia. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana Swedia mengimpor sampah dan apa dampaknya secara lingkungan maupun secara ekonomi.  Baca juga artikel lainnya : Waste to Energy : Kelebihan dan Kekurangan Waste-to-energy (WTE) Swedia telah lama menjadi pelopor dalam pengelolaan limbah yang efisien dan berkelanjutan. Negara ini dikenal dengan sistem waste-to-energy… Bagaimana Kerjasama Sister-City untuk Dukung Fasilitas Kota yang Ramah Lingkungan? Dalam menghadapi tantangan lingkungan perkotaan, banyak kota di dunia menjalin hubungan sister-city guna bertukar pengalaman dan teknologi dalam membangun fasilitas yang lebih ramah lingkungan. Konsep sister-city tidak hanya bertujuan mempererat hubungan diplomatik, tetapi juga menjadi platform untuk berbagi solusi inovatif dalam mengatasi permasalahan perkotaan seperti polusi udara, pengelolaan limbah, dan efisiensi energi.  Artikel ini akan membahas lima aspek utama dari kerjasama sister-city dalam mendukung pembangunan kota yang berkelanjutan. 1. Implementasi Teknologi Hijau dalam Infrastruktur Perkotaan untuk Kota Ramah Lingkungan Melalui kerjasama sister-city, banyak kota mengadopsi teknologi hijau untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Misalnya, Jakarta yang bermitra dengan Rotterdam dalam pengelolaan air… Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment As environmental concerns continue to escalate, Generation Z (Gen Z) has emerged as a driving force in the movement toward sustainability. Characterized by their digital savviness, social consciousness, and commitment to change, Gen Z is leveraging innovation, activism, and business strategies to foster a more sustainable future.  Read other articles : Carbon Market: A New Way for Sustainable Future Gen Z initiatives span from personal lifestyle changes to large-scale advocacy and corporate engagement. This article explores five key areas where Gen Z is making an impactful difference. Sustainable and Ethical Spending Gen Z is reshaping consumer behavior by prioritizing sustainability… Kerjasama Bilateral Indonesia untuk Dukung Keberlanjutan Lingkungan Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan degradasi lingkungan, Indonesia telah menjalin berbagai kerjasama bilateral dengan negara-negara mitra guna mempercepat transisi menuju pembangunan berkelanjutan. Kerjasama ini mencakup berbagai aspek, mulai dari …

16

Carbon Market: A New Way for Sustainable Future

The carbon market has emerged as a pivotal mechanism in addressing climate change while offering new avenues for economic growth. By enabling the trading of carbon credits, it provides businesses with financial incentives to reduce greenhouse gas (GHG) emissions. Read More: Carbon Markets Trend Among ASEAN Countries According to the World Bank’s State and Trends of Carbon Pricing 2023 report, the global carbon market generated over $95 billion in revenue, underscoring its significant economic potential. This article explores how the carbon market fosters a sustainable future by discussing its role, benefits, challenges, and prospects from both environmental and business perspectives. What is Carbon Market? According to The United Nations Development Programme (UNDP) Carbon markets are trading systems in which carbon credits are sold and bought. To hold a carbon market, it can be operated through two main mechanisms, namely compliance markets and voluntary markets. For the compliance market, these are regulated by mandatory national, regional, or international carbon reduction regimes. For example, the European Union Emissions Trading System (EU ETS) remains the largest compliance carbon market globally, covering more than 40% of the EU’s greenhouse gas emissions. For the voluntary market, companies and individuals purchase carbon offsets on a voluntary basis to compensate for their emissions. The voluntary carbon market (VCM) reached a valuation of $2 billion in 2023 and is projected to grow to $50 billion by 2030, according to McKinsey & Company. Environmental Benefits The carbon market has several benefits, and mainly its benefit on the environment. In this case, the carbon market plays a vital role in achieving global climate targets. By assigning economic value to carbon emissions, it incentivizes the adoption of sustainable practices.  Revenue from carbon credits often funds the promotion of renewable energy projects. For example, India’s renewable energy sector received $3 billion in carbon finance between 2015 and 2022, leading to the installation of over 10 GW of clean energy capacity. The environmental benefits of carbon markets demonstrate their potential in aligning corporate goals with broader climate action objectives. Economic Benefits  Not only its benefit on the environment, the carbon market also offers substantial economic advantages for companies. Instead of investing heavily in new technology to reduce emissions, companies can purchase carbon credits. This flexibility lowers the overall cost of meeting emission reduction targets. For example, Shell reported savings of up to $100 million annually by leveraging carbon trading in its global operations. Beside it, companies investing in carbon reduction projects can sell surplus carbon credits, creating additional revenue streams. Especially now financial institutions are increasingly offering favorable terms to companies with robust carbon management strategies. These economic incentives position the carbon market as a critical tool for sustainable business growth, aligning profitability with environmental stewardship. Challenges of Carbon Market Despite its benefits on the environment and economic aspect, the carbon market faces several challenges that need to be addressed. Such as market integrity and transparency to price volatility. In relation to market integrity and transparency, concerns over the credibility of certain carbon offset projects have arisen. The Voluntary Carbon Markets Integrity Initiative (VCMI) emphasizes the need for robust verification standards to prevent greenwashing. Along with this, the price volatility in carbon credit are subject to fluctuations. For example, EU ETS prices ranged from €5 per ton in 2017 to over €100 per ton in 2023. Such volatility can impact long-term planning for businesses. Addressing these challenges is essential to maximize the carbon market’s effectiveness in promoting sustainable practices. The Future of the Carbon Market Looking ahead, the carbon market is poised for significant expansion and evolution. One of the opportunities of the carbon market lies in blockchain technology. Digital carbon market on blockchain technology is being explored to enhance transparency and traceability in carbon trading. Companies like Toucan Protocol are pioneering blockchain-based carbon credits. In relation to corporate initiatives, the carbon market has a potential to support the corporate net-zero strategies. A growing number of corporations are committing to net-zero emissions. According to Net Zero Tracker, over 1,500 companies globally had set net-zero targets by the end of 2023, with carbon markets playing a key role in their strategies. Countries in Africa, Latin America, and Southeast Asia are developing carbon markets. For instance, Indonesia launched its carbon exchange in 2023, potentially becoming a major player in the Asia-Pacific region. The carbon market represents a transformative approach to achieving a sustainable future. By combining environmental responsibility with economic incentives, it creates a win-win scenario for businesses and the planet. With the global carbon market projected to grow exponentially its role in driving sustainable development cannot be overstated. Especially for business, now we have Satuplatform.com as all-in-one solution who provides you with carbon consultancy. Try our FREE DEMO now! Similar Article Waste to Energy (WTE) : Negara Swedia Lakukan Impor Sampah Di tengah kondisi bumi yang semakin ‘overwhelmed’ dengan limbah di lingkungan, impor sampah menjadi suatu mekanisme yang kini mulai semakin diperhitungkan. Impor sampah merujuk pada praktik suatu negara menerima limbah dari negara lain untuk diolah, didaur ulang, atau digunakan sebagai sumber energi.  Beberapa negara-negara di dunia melakukan impor sampah, termasuk Swedia. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana Swedia mengimpor sampah dan apa dampaknya secara lingkungan maupun secara ekonomi.  Baca juga artikel lainnya : Waste to Energy : Kelebihan dan Kekurangan Waste-to-energy (WTE) Swedia telah lama menjadi pelopor dalam pengelolaan limbah yang efisien dan berkelanjutan. Negara ini dikenal dengan sistem waste-to-energy… Bagaimana Kerjasama Sister-City untuk Dukung Fasilitas Kota yang Ramah Lingkungan? Dalam menghadapi tantangan lingkungan perkotaan, banyak kota di dunia menjalin hubungan sister-city guna bertukar pengalaman dan teknologi dalam membangun fasilitas yang lebih ramah lingkungan. Konsep sister-city tidak hanya bertujuan mempererat hubungan diplomatik, tetapi juga menjadi platform untuk berbagi solusi inovatif dalam mengatasi permasalahan perkotaan seperti polusi udara, pengelolaan limbah, dan efisiensi energi.  Artikel ini akan membahas lima aspek utama dari kerjasama sister-city dalam mendukung pembangunan kota yang berkelanjutan. 1. Implementasi Teknologi Hijau dalam Infrastruktur Perkotaan untuk Kota Ramah Lingkungan Melalui kerjasama sister-city, banyak kota mengadopsi teknologi hijau untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Misalnya, …

5

Mengenal Bhutan, Negara Carbon-Negative ‘Tanpa’ Emisi Karbon

Carbon-Negative – Mendengar kata Bhutan, apa yang kamu ketahui tentang negara tersebut? Sebuah negara kecil di Asia Selatan ini luasnya 38,3 km2 dan terletak di antara India dan Republik Rakyat Tiongkok. Dikenal dengan sebutan Negeri Naga Guntur, Bhutan adalah negara berbentuk kerajaan yang posisinya berada di wilayah pegunungan Himalaya. Lanskap geografinya beragam, didominasi pegunungan, perbukitan, dataran, hingga lembah, sebab letaknya sendiri berada di dataran tinggi. Baca Juga: 3 Negara Penghasil Emisi Karbon Terbesar di Dunia Meskipun termasuk negara daerah pegunungan dengan luas yang terbatas, Bhutan menyimpan prestasi yang baik dalam hal pelestarian lingkungan. Tahukah kamu kalau Bhutan juga menjadi satu-satunya negara dengan status “negatif-karbon”atau carbon-negative di dunia? Mari mengenal Bhutan dan memahami statusnya sebagai negara carbon-negative pertama di dunia dalam pembahasan di bawah! Bhutan sebagai Negara Carbon-Negative Bhutan merupakan salah satu negara paling hijau di dunia yang bahkan berstatus negatif karbon. Artinya, negara ini menyerap lebih banyak karbon daripada yang dihasilkannya. Pada dasarnya, Bhutan tetap menghasilkan emisi karbon dan masih memiliki beberapa sumber emisi karbon seperti negara lain. Menurut data Worldometer, emisi CO2 fosil di Bhutan adalah sebesar 1.712.460 ton pada tahun 2022.  Namun, meskipun menghasilkan emisi karbon, jumlah karbon yang diserap kembali lebih besar daripada yang dilepaskannya, sehingga negara ini menjadi negatif-karbon. Kondisi ini bisa terjadi karena geografis Bhutan yang sangat hijau. Sumber Emisi Karbon Negara Bhutan Sumber emisi karbon di Bhutan umumnya berasal dari sektor transportasi, industri dan konstruksi, pemanasan dan energi rumah tangga, serta pariwisata yang sangat dibatasi jumlahnya. Cara Bhutan Mewujudkan Target Netral Karbon Lalu bagaimana cara negara Bhutan mewujudkan target netral karbon dan menjadi negatif karbon? Tidak bisa dipungkiri bahwa siapapun dapat menghasilkan emisi karbon sebagai dampak dari suatu aktivitas yang dilakukan. Akan tetapi, Bhutan berhasil mengimbanginya. Negara dengan jumlah penduduk 786 ribu orang ini diketahui memiliki tutupan pepohonan yang sangat luas. Lebih dari 70 persen wilayah negara ini ditutupi pepohonan yang membantu menyerap lebih banyak karbon daripada yang dihasilkan negara ini. Dilansir dari GVI Planet, Bhutan menyerap sekitar tujuh juta emisi karbon dioksida (CO2) setiap tahunnya dan hanya menghasilkan dua juta emisi karbon dari berbagai aktivitas masyarakat. Kemudian, lingkungan yang amat lestari dan hijau juga menjadi kunci terciptanya alam yang sehat. Pemerintah Bhutan diketahui memiliki berbagai kebijakan keberlanjutan seperti larangan penebangan liar, promosi kendaraan listrik, dan pembangunan hijau. Dilansir dari Data Indonesia, menurut laporan Yale Center for Environmental Law and Policy bertajuk Environmental Performance Index (EPI) 2024, Bhutan menjadi negara dengan kelestarian hutan terbaik di dunia tahun 2024. Negara ini mencatatkan skor indeks sebesar 86,7 poin pada kategori isu hutan dalam laporan tersebut. Sebagian besar listrik Bhutan berasal dari tenaga air (hydropower), yang bebas emisi karbon. Bahkan, Bhutan juga mengekspor listrik bersih ke negara tetangga seperti India, membantu mengurangi emisi regional. Kebijakan ketat dan komitmen yang kuat dalam mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan serta mempromosikan praktik ramah lingkungan membuat negara ini menuai hasil yang indah bagi negara dan seluruh dunia. Bagaimana menurutmu tentang Bhutan dan pencapaiannya?  Tentang Satuplatform Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG management, carbon accounting, dan sustainability reporting. Kami dapat membantu Anda mencapai tujuan keberlanjutan dengan menjadi yang terdepan sesuai regulasi yang berlaku.  Dengan fitur-fitur Satuplatform, Anda dapat: Mengumpulkan dan menganalisis data ESG secara akurat dan efisien Menghitung & mengelola emisi karbon dan menetapkan target pengurangan emisi Menyusun laporan ESG yang memenuhi standar internasional dan nasional Satuplatform juga didukung oleh tim ahli yang berpengalaman di bidang keberlanjutan bisnis. Tim ahli kami akan membantu memahami kebutuhan Anda dan mengimplementasikan solusi yang tepat. Hubungi Satuplatform dan dapatkan FREE DEMO sekarang!  Wujudkan bisnis yang berkelanjutan, berdaya saing, dan bertanggung jawab bersama Satuplatform.  Similar Article Food Loss dan Dampaknya terhadap Iklim dan Lingkungan Food loss atau kehilangan pangan adalah salah satu masalah besar yang sering luput dari perhatian. Food loss mengacu pada makanan yang hilang di sepanjang rantai pasok sebelum mencapai konsumen, seperti saat panen, penyimpanan, transportasi, dan distribusi.  Berbeda dengan food waste, yang merujuk pada makanan yang dibuang oleh konsumen atau ritel, food loss lebih banyak terjadi di hulu rantai pasok. Meski tidak selalu disadari, kehilangan pangan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Baca Juga: Food Loss vs Food Waste Fakta dan Data Mengenai Food Loss Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 14% dari seluruh makanan yang diproduksi… YONO: Tren Gaya Hidup Ala Gen Z Tahun 2025 Di tahun 2025, tren gaya hidup terus berkembang, terutama di kalangan Gen Z yang dikenal adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Salah satu fenomena terbaru yang menjadi perbincangan hangat adalah YONO, sebuah konsep hidup yang semakin populer di berbagai belahan dunia.  YONO, singkatan dari You Only Need One, adalah filosofi hidup yang menekankan kesederhanaan, efisiensi, dan keberlanjutan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari fashion, teknologi, hingga kebiasaan konsumsi. Baca Juga: Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment Asal Usul dan Filosofi YONO Konsep YONO lahir dari kesadaran generasi muda terhadap konsumsi berlebihan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Dibandingkan dengan tren… Penyerap Karbon Luar Biasa: Pohon Mangrove, Petai, dan Durian Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer, peran pohon sebagai penyerap karbon alami menjadi semakin penting. Beberapa spesies pohon memiliki kapasitas luar biasa dalam menyerap dan menyimpan karbon, membantu menyeimbangkan ekosistem serta mengurangi dampak pemanasan global. Di antara banyaknya pohon yang memiliki fungsi ini, mangrove, petai, dan durian menonjol sebagai spesies yang efektif sebagai penyerap karbon. Baca Juga: Program Rehabilitasi Mangrove, Mengapa Penting dan Cerita dari Kampung Laut Cilacap 1. Pohon Penyerap Karbon Mangrove: Sang Penjaga Pesisir Mangrove adalah salah satu jenis pohon yang paling efisien dalam menyerap karbon. Hutan mangrove dapat menyimpan karbon 3–5… Waste to Energy (WTE) : Negara Swedia Lakukan Impor Sampah Di tengah kondisi bumi yang semakin ‘overwhelmed’ dengan limbah di lingkungan, impor sampah menjadi suatu mekanisme yang kini mulai semakin diperhitungkan. Impor sampah merujuk pada praktik suatu negara menerima limbah dari negara lain untuk diolah, didaur ulang, atau digunakan sebagai sumber energi.  Beberapa negara-negara di dunia melakukan impor sampah, termasuk Swedia. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana Swedia mengimpor sampah dan apa dampaknya secara lingkungan maupun secara ekonomi.  Baca juga …

11

3 Negara dengan Emisi Karbon Terendah di Dunia

Tidak dapat disangkal bahwa dampak perubahan iklim semakin sering muncul dan terlihat seiring dengan meningkatnya kerusakan lingkungan, baik karena disebabkan manusia maupun faktor alam. Tingginya produksi emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi salah satu dari sekian banyak hal yang membuat kondisi ini semakin buruk. Oleh karena itu, negara-negara di dunia perlu untuk mengambil tindakan lebih cepat untuk mengatasi masalah ini. Baca Juga: Tertinggi di Dunia, Kenali Sumber Emisi Karbon di China Jika negara-negara besar perlu bertanggung jawab atas emisi karbon yang mereka hasilkan, di lain sisi terdapat negara dengan emisi karbon terendah di dunia yang justru terkena dampak dari perubahan iklim. Berikut adalah 3 negara di dunia yang terpantau paling tidak berpolusi dan menghasilkan sedikit saja emisi karbon.  1. Emisi Karbon Terendah: Tuvalu Tuvalu, sebuah negara kepulauan kecil di Samudra Pasifik ini diketahui menghasilkan sangat sedikit emisi gas rumah kaca setiap tahunnya. Pada tahun 2020 saja, The Global Economy mencatat emisi karbon (CO2) tahunan Tuvalu berada di angka 22 ribu per metrik ton CO2e, turun dari tahun sebelumnya yakni 2019 yang angkanya 24 ribu per metrik ton CO2e.. Menurut Emission Index, Tuvalu merupakan salah satu negara yang kontribusi emisi karbonnya sangat rendah, 0,01 persen terhadap emisi global. Negara ini telah menduduki peringkat ke-190 sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar dunia sejak 1990. Ada banyak faktor yang dapat menjadikan Tuvalu sebagai penghasil emisi terkecil di dunia. Utamanya karena populasinya yang kecil sebab hanya ada sekitar 9.816 jiwa yang tinggal di sini sehingga konsumsi energi pun menjadi rendah. 2. Emisi Karbon Terendah: Kiribati Negara kepulauan kecil di Samudra Pasifik lainnya yaitu Kiribati, menjadi negara lainnya di dunia yang memiliki jejak karbon sangat kecil. Emission Index mencatat bahwa total emisi gas rumah kaca Kiribati pada 2019 adalah sekitar 118 ribu per metrik ton CO2. Jika ditotal sejak tahun 2019, total emisi gas rumah kaca Kiribati sampai adalah sekitar 2,16 juta per metrik ton CO2. Sama seperti Tuvalu, Kiribati menjadi negara yang kontribusi emisi karbonnya sangat rendah, 0,01 persen terhadap emisi global. Menempati peringkat ke-188 sebagai penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia sejak 1990. Dengan populasinya yang kecil, sekitar 120 ribu jiwa, serta karena aktivitas industrinya hampir tidak ada dan sebagian besar penduduknya bergantung pada pertanian dan perikanan, jejak karbon di sini sangat kecil. Sayangnya, Kiribati dihadapkan pada dampak perubahan iklim karena lokasinya yang rentan. Ilmuwan memprediksi bahwa Kiribati bisa tenggelam dalam beberapa dekade ke depan jika perubahan iklim semakin parah. 3. Emisi Karbon Terendah: Bhutan Bhutan adalah salah satu negara paling hijau di dunia yang bahkan dinobatkan menjadi satu-satunya negara karbon negatif di dunia. Apa itu? Jika sebagian besar negara di dunia menghasilkan emisi karbon lebih banyak dibanding yang mampu diserap laut dan tumbuhan, maka Bhutan berbeda dari yang lain.  Wilayah Bhutan yang didominasi pepohonan dan lanskap hijau, justru menjadikannya sebagai penyerap karbon – yang berarti negara ini menyerap lebih banyak karbon dioksida daripada yang dihasilkannya. Worldometer mencatat bahwa emisi karbon yang dihasilkan Bhutan pada tahun 2022 mencapai 1.7 juta per metrik ton CO2e. Namun, karena statusnya sebagai penyerap karbon, Bhutan sama sekali tidak berkontribusi terhadap emisi global, satu-satunya di dunia. Bagaimana menurutmu dengan daftar negara beremisi paling rendah di atas? Kamu juga bisa mulai menerapkan konsep sustainability manajemen dalam kegiatan operasional perusahaan atau organisasi dengan caramu sendiri.  Jalankan rencana tersebut dengan lebih mudah bersama Satuplatform! Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG management, carbon accounting, dan sustainability reporting. Kami dapat membantu Anda mencapai tujuan keberlanjutan dengan menjadi yang terdepan sesuai regulasi yang berlaku.   Dengan fitur-fitur Satuplatform, Anda dapat: Mengumpulkan dan menganalisis data ESG secara akurat dan efisien Menghitung & mengelola emisi karbon dan menetapkan target pengurangan emisi Menyusun laporan ESG yang memenuhi standar internasional dan nasional Satuplatform juga didukung oleh tim ahli yang berpengalaman di bidang keberlanjutan bisnis. Tim ahli kami akan membantu memahami kebutuhan Anda dan mengimplementasikan solusi yang tepat. Hubungi Satuplatform dan dapatkan FREE DEMO sekarang!  Wujudkan bisnis yang berkelanjutan, berdaya saing, dan bertanggung jawab bersama Satuplatform.  Similar Article Food Loss dan Dampaknya terhadap Iklim dan Lingkungan Food loss atau kehilangan pangan adalah salah satu masalah besar yang sering luput dari perhatian. Food loss mengacu pada makanan yang hilang di sepanjang rantai pasok sebelum mencapai konsumen, seperti saat panen, penyimpanan, transportasi, dan distribusi.  Berbeda dengan food waste, yang merujuk pada makanan yang dibuang oleh konsumen atau ritel, food loss lebih banyak terjadi di hulu rantai pasok. Meski tidak selalu disadari, kehilangan pangan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Baca Juga: Food Loss vs Food Waste Fakta dan Data Mengenai Food Loss Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 14% dari seluruh makanan yang diproduksi… YONO: Tren Gaya Hidup Ala Gen Z Tahun 2025 Di tahun 2025, tren gaya hidup terus berkembang, terutama di kalangan Gen Z yang dikenal adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Salah satu fenomena terbaru yang menjadi perbincangan hangat adalah YONO, sebuah konsep hidup yang semakin populer di berbagai belahan dunia.  YONO, singkatan dari You Only Need One, adalah filosofi hidup yang menekankan kesederhanaan, efisiensi, dan keberlanjutan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari fashion, teknologi, hingga kebiasaan konsumsi. Baca Juga: Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment Asal Usul dan Filosofi YONO Konsep YONO lahir dari kesadaran generasi muda terhadap konsumsi berlebihan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Dibandingkan dengan tren… Penyerap Karbon Luar Biasa: Pohon Mangrove, Petai, dan Durian Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer, peran pohon sebagai penyerap karbon alami menjadi semakin penting. Beberapa spesies pohon memiliki kapasitas luar biasa dalam menyerap dan menyimpan karbon, membantu menyeimbangkan ekosistem serta mengurangi dampak pemanasan global. Di antara banyaknya pohon yang memiliki fungsi ini, mangrove, petai, dan durian menonjol sebagai spesies yang efektif sebagai penyerap karbon. Baca Juga: Program Rehabilitasi Mangrove, Mengapa Penting dan Cerita dari Kampung Laut Cilacap 1. Pohon Penyerap Karbon Mangrove: Sang Penjaga Pesisir Mangrove adalah salah satu jenis pohon yang paling efisien dalam menyerap karbon. Hutan mangrove dapat menyimpan karbon 3–5… Waste to Energy (WTE) : Negara Swedia Lakukan Impor Sampah Di tengah kondisi bumi yang semakin ‘overwhelmed’ …

9

Benarkah Menerapkan Remote Working Dapat Mengurangi Jejak Karbon?

Aktivitas manusia setiap harinya, sejak bangun tidur sampai akan beristirahat kembali, dapat menghasilkan jejak karbon yang berperan terhadap kondisi lingkungan. Di Amerika Serikat saja, setiap orang disebut memproduksi sekitar 16 ton emisi karbon per tahun dari seluruh aktivitas mereka, sebagaimana dikutip dari situs University Corporation for Atmospheric Research (UCAR USA). Seiring dengan meningkatnya dampak perubahan iklim, tentu diperlukan peran masyarakat secara global untuk dapat mengurangi jejak karbon. Bisa dilakukan dengan cara apapun dan bekerja jarak jauh (remote working) adalah salah satu yang dianggap dapat mengurangi jejak karbon. Baca Juga: Digital Footprint dan Jejak Karbon: Mengurangi Emisi dari Penggunaan Internet dan Gadget Lalu benarkah hal ini bisa berperan signifikan? Mari kita bahas bersama! Jejak Karbon dari Perjalanan Para Pekerja Jejak karbon yang berasal dari sektor transportasi atau perjalanan memberikan dampak lingkungan paling signifikan di antara faktor lainnya. Dilansir dari artikel Greenly Leaf, menurut Badan Perlindungan Lingkungan AS (US EPA), transportasi menyumbang sekitar 28 persen dari total emisi gas rumah kaca AS.  Hal yang sama juga terjadi di Inggris di mana transportasi turut menyumbang sebesar 26 persen emisi dari total emisi GRK Inggris. Sebagian besarnya berasal dari penggunaan kendaraan pribadi. Dari hal tersebut, bisa dilihat bahwa kegiatan pulang pergi pekerja berkontribusi signifikan terhadap emisi karbon. Akan semakin bertambah jumlah emisinya jika diikuti dengan jarak tempuh yang semakin bertambah. Namun, sebuah penelitian yang dimulai ketika pandemi kemudian menunjukkan adanya upaya yang bisa dilakukan untuk mengurangi jumlah emisi GRK dari aktivitas perjalanan pekerja. Remote Working Mengurangi Jejak Karbon Dikutip dari News Cornell University, industri serta para pekerja sebenarnya dapat mengurangi emisi karbon mereka dengan suatu cara, yakni menerapkan sistem kerja jarak jauh. Kerja jarak jauh atau disebut juga remote working merupakan sistem kerja yang memungkinkan karyawan bekerja di luar kantor bahkan dari lokasi yang jauh sekalipun. Karyawan dapat bekerja dari mana saja, salah satunya work from home, selama didukung koneksi internet yang stabil. Menurut studi baru hasil kerja sama Cornell University dan Microsoft, menerapkan sistem remote working pada pekerja dapat membantu mereka mengurangi emisi sampai dengan 54 persen.  Selain itu, studi lain yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences, juga menjumpai bahwa pekerja hibrida yang bekerja dari rumah dua hingga empat hari per minggu dapat mengurangi jejak karbon mereka sebesar 11-29 persen. Para pekerja dengan sistem kerja work from home disebut cenderung memiliki jarak tempuh yang lebih pendek dan hampir sama sekali tidak melakukan perjalanan kerja. Dengan bekerja dari rumah, orang tidak perlu menggunakan kendaraan bermotor setiap hari, yang mengurangi konsumsi bahan bakar dan emisi CO2 dari transportasi. Remote Working Tidak Sepenuhnya Nol Karbon Studi menunjukkan bahwa work from home dapat mengurangi emisi karbon hingga 54 persen dibandingkan bekerja di kantor setiap hari. Sistem kerja work from home juga dapat mengurangi konsumsi energi kantor karena lebih sedikit karyawan di kantor, konsumsi energi dapat dikurangi secara signifikan. Namun, meski tampaknya langkah ini efektif mengurangi emisi dari sektor transportasi, masih terdapat hal lain yang perlu diperhatikan. Bekerja dari rumah berarti lebih banyak perangkat elektronik menyala sepanjang hari, seperti laptop, WiFi, dan pendingin ruangan, yang meningkatkan konsumsi listrik rumah tangga. Jika rumah menggunakan listrik dari bahan bakar fosil, maka jejak karbon bisa tetap tinggi. Belum lagi dengan penggunaan perangkat elektronik di rumah yang lebih boros energi dibandingkan kantor. Remote work juga bergantung pada cloud computing, video conferencing, dan data storage, yang semuanya memerlukan pusat data besar. yang berkontribusi terhadap emisi karbon digital. Remote working memang bisa lebih ramah lingkungan dibandingkan bekerja di kantor, asalkan kita juga mengurangi emisi digital. Oleh karena itu, perlu diseimbangkan antara efisiensi kerja dan keberlanjutan agar manfaatnya lebih maksimal. Tentang Satuplatform Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG management, carbon accounting, dan sustainability reporting. Kami dapat membantu Anda mencapai tujuan keberlanjutan dengan menjadi yang terdepan sesuai regulasi yang berlaku.  Dengan fitur-fitur Satuplatform, Anda dapat: Mengumpulkan dan menganalisis data ESG secara akurat dan efisien Menghitung & mengelola emisi karbon dan menetapkan target pengurangan emisi Menyusun laporan ESG yang memenuhi standar internasional dan nasional Satuplatform juga didukung oleh tim ahli yang berpengalaman di bidang keberlanjutan bisnis. Tim ahli kami akan membantu memahami kebutuhan Anda dan mengimplementasikan solusi yang tepat. Hubungi Satuplatform dan dapatkan FREE DEMO sekarang!  Wujudkan bisnis yang berkelanjutan, berdaya saing, dan bertanggung jawab bersama Satuplatform.  Similar Article Food Loss dan Dampaknya terhadap Iklim dan Lingkungan Food loss atau kehilangan pangan adalah salah satu masalah besar yang sering luput dari perhatian. Food loss mengacu pada makanan yang hilang di sepanjang rantai pasok sebelum mencapai konsumen, seperti saat panen, penyimpanan, transportasi, dan distribusi.  Berbeda dengan food waste, yang merujuk pada makanan yang dibuang oleh konsumen atau ritel, food loss lebih banyak terjadi di hulu rantai pasok. Meski tidak selalu disadari, kehilangan pangan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Baca Juga: Food Loss vs Food Waste Fakta dan Data Mengenai Food Loss Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 14% dari seluruh makanan yang diproduksi… YONO: Tren Gaya Hidup Ala Gen Z Tahun 2025 Di tahun 2025, tren gaya hidup terus berkembang, terutama di kalangan Gen Z yang dikenal adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Salah satu fenomena terbaru yang menjadi perbincangan hangat adalah YONO, sebuah konsep hidup yang semakin populer di berbagai belahan dunia.  YONO, singkatan dari You Only Need One, adalah filosofi hidup yang menekankan kesederhanaan, efisiensi, dan keberlanjutan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari fashion, teknologi, hingga kebiasaan konsumsi. Baca Juga: Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment Asal Usul dan Filosofi YONO Konsep YONO lahir dari kesadaran generasi muda terhadap konsumsi berlebihan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Dibandingkan dengan tren… Penyerap Karbon Luar Biasa: Pohon Mangrove, Petai, dan Durian Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer, peran pohon sebagai penyerap karbon alami menjadi semakin penting. Beberapa spesies pohon memiliki kapasitas luar biasa dalam menyerap dan menyimpan karbon, membantu menyeimbangkan ekosistem serta mengurangi dampak pemanasan global. Di antara banyaknya pohon yang memiliki fungsi ini, mangrove, petai, dan durian menonjol sebagai spesies yang efektif sebagai penyerap karbon. Baca Juga: Program Rehabilitasi Mangrove, Mengapa Penting dan Cerita dari Kampung Laut …

8

Cloud Computing VS On-Premise, Siapa Lebih Ramah Lingkungan?

Layanan cloud computing atau on-premise merupakan dua pilihan infrastruktur TI (teknologi informasi) yang seringkali dibandingkan dalam hal pengelolaan data perusahaan. Keduanya sama-sama populer. Menawarkan beragam fitur dan manfaat yang bisa membantu industri melakukan transformasi digital melalui langkah migrasi sistem terdahulu ke teknologi terkini yang lebih modern. Baca Juga: Bagaimana Cara Mengurangi Jejak Karbon Digital? Dalam konteks keberlanjutan dan industri hijau, perbandingan antara cloud computing dan on-premise sering dibahas dari aspek efisiensi energi dan pengurangan emisi karbon. Lalu, siapa di antara cloud computing vs. on-premise yang lebih ramah lingkungan? Memahami Cloud Computing Dilansir dari Herza Digital Indonesia, cloud computing atau komputasi awan merupakan suatu perangkat teknologi komputer yang dapat mengubah internet menjadi data center.  Layanan infrastruktur cloud computing dapat berupa database storage, server, jaringan, hingga software yang disediakan pihak ketiga dengan berbasis internet. Cloud computing merupakan layanan yang memungkinkan siapapun mengakses data dan informasi secara praktis serta remote di ‘awan’ – sebuah ruang virtual di internet yang dapat diakses menggunakan sambungan internet. Beberapa contoh layanan ini yang banyak digunakan seperti Infrastructure as a Service (IaaS), Platform as a Service (PaaS), dan Software as a Service (SaaS).  Fungsi Cloud Computing Layanan ini memberikan beragam kemudahan bagi pengguna dalam mengakses data yang disimpan di internet. Komputasi awan juga memungkinkan pengguna membayar apa yang mereka gunakan dengan fungsinya meliputi layanan: Dengan adanya komputasi awan, pengguna dapat meminimalisir risiko terjadinya kehilangan data dan meningkatkan keamanan privasi informasi perusahaan. Karakteristik Cloud Computing Menurut situs Cloud Computing Indonesia, setidaknya terdapat lima ciri khas dasar yang membuat sebuah layanan bisa disebut komputasi awan. Kelima karakteristik tersebut di antaranya: 1. On-demand Self Service Akses mandiri, kemudahan bagi pengguna, pengadaan sumber daya yang cepat dan efisien, otomatisasi, hingga kontrol penuh oleh pengguna dalam mengakses layanan ini merupakan beberapa kriteria yang perlu dipenuhi untuk menciptakan layanan ini. 2. Broad Network Access Cloud computing harus bisa diakses melalui berbagai jenis perangkat dengan bantuan konektivitas jaringan dengan protokol komunikasi yang standar namun tetap aman. 3. Resources Pooling Layanan cloud computing mengubah internet menjadi pusat data. Pusat data tersebut perlu memiliki skalabilitas yang baik dengan pengunaan sumber daya yang efisien yang memudahkan pengguna. 4. Rapid Elasticity Komputasi awan perlu mampu secara cepat dan otomatis menyesuaikan kapasitasnya dengan perubahan permintaan dari pengguna. 5. Measured Service Layanan ini perlu memiliki kemampuan untuk mengukur dan memantau penggunaan sumber daya komputasi secara menyeluruh, melibatkan fungsi pemantauan, kontrol dan juga pelaporan. Memahami On-Premise Jika Cloud Computing melibatkan pihak ketiga di luar perusahaan, on-premise memerlukan peran inhouse sebagai tim khusus yang menangani layanan ini. Dikutip dari Linknet, on-premise adalah sebuah server yang digunakan dan dikelola oleh perusahaan melalui infrastruktur IT buatan sendiri sebagai pusat sumber daya, penyimpanan data, dan sebagainya. On-premise menjadi sistem yang dirancang dan diterapkan oleh perusahaan itu sendiri, didukung sumber daya manusia internal perusahaan dan biasanya akan lebih mudah mengontrol apa saja yang terjadi di dalam server mereka. Fungsi On-Premise Dari segi layanan, cloud computing dan on-premise tidaklah jauh berbeda. Namun, sesuai kondisinya on-premise menyediakan model penyimpanan dan pengelolaan softwate secara lokal di dalam fasilitas perusahaan. Karakteristik On-Premise Sistem TI on-premise biasanya dirancang dan diterapkan sendiri oleh perusahaan, mulai dari server, developer, design, sampai dengan perawatan rutin setelahnya. On-premise bisa dibilang adalah sepenuhnya milik perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu, server on-promise dapat memberikan kemudahan bagi penggunanya untuk mengontrol, mengatur akses, sampai dengan menentukan beragam kebutuhan yang ingin diimplementasikan sesuai hak perusahaan. Beberapa industri, seperti keuangan atau kesehatan, umumnya lebih memilih on-premises karena mereka memiliki persyaratan keamanan yang ketat. Cloud Computing vs. On-Premise dalam Hal Keberlanjutan Dalam konteks keberlanjutan dan ramah lingkungan, perbandingan cloud computing vs. on-premises sering dibahas dari aspek efisiensi energi dan pengurangan emisi karbon. Menurut berbagai sumber, cloud computing dinilai lebih hemat energi karena penyedia layanan cloud menggunakan pusat data skala besar yang dioptimalkan untuk efisiensi daya dan pendinginan. Sementara on-premises cenderung kurang efisien karena server sering berjalan dengan kapasitas tidak maksimal tetapi tetap mengonsumsi daya besar. Kemudian pusat data lokal (on-premises) biasanya masih bergantung pada listrik berbasis bahan bakar fosil, sehingga jejak karbonnya lebih tinggi. Berbeda dengan penyedia layanan cloud yang mungkin beberapa di antaranya telah berkomitmen menggunakan energi terbarukan dalam operasionalnya. Cloud juga memungkinkan perusahaan untuk menyesuaikan kapasitas komputasi sesuai kebutuhan sehingga tidak ada pemborosan sumber daya. Di lain sisi, on-premises sering memiliki kapasitas tetap, yang bisa menyebabkan pemborosan daya jika tidak digunakan secara maksimal. Dari paparan di atas, cloud computing cenderung lebih ramah lingkungan dibandingkan on-premises, terutama jika menggunakan layanan cloud yang berbasis energi hijau. Namun, keputusan tetap bergantung pada kebutuhan spesifik perusahaan, regulasi, dan kebijakan keberlanjutan yang diadopsi. Anda tetap bisa berkomitmen pada keberlanjutan melalui berbagai cara seperti melakukan pencatatan jejak karbon dan menetapkan target pengurangannya melalui metode lain yang bermanfaat. Temukan metodenya dan jalankan rencana tersebut dengan lebih mudah bersama Satuplatform! Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG management, carbon accounting, dan sustainability reporting. Kami dapat membantu Anda mencapai tujuan keberlanjutan dengan menjadi yang terdepan sesuai regulasi yang berlaku.  Dengan fitur-fitur Satuplatform, Anda dapat: Mengumpulkan dan menganalisis data ESG secara akurat dan efisien Menghitung & mengelola emisi karbon dan menetapkan target pengurangan emisi Menyusun laporan ESG yang memenuhi standar internasional dan nasional Satuplatform juga didukung oleh tim ahli yang berpengalaman di bidang keberlanjutan bisnis. Tim ahli kami akan membantu memahami kebutuhan Anda dan mengimplementasikan solusi yang tepat. Hubungi Satuplatform dan dapatkan FREE DEMO sekarang!  Wujudkan bisnis yang berkelanjutan, berdaya saing, dan bertanggung jawab bersama Satuplatform.  Similar Article Food Loss dan Dampaknya terhadap Iklim dan Lingkungan Food loss atau kehilangan pangan adalah salah satu masalah besar yang sering luput dari perhatian. Food loss mengacu pada makanan yang hilang di sepanjang rantai pasok sebelum mencapai konsumen, seperti saat panen, penyimpanan, transportasi, dan distribusi.  Berbeda dengan food waste, yang merujuk pada makanan yang dibuang oleh konsumen atau ritel, food loss lebih banyak terjadi di hulu rantai pasok. Meski tidak selalu disadari, kehilangan pangan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Baca Juga: Food Loss vs Food Waste Fakta dan Data Mengenai Food Loss Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 14% dari seluruh makanan yang diproduksi… …

5

Melihat Implementasi Pajak Karbon di Berbagai Negara

Implementasi Pajak Karbon Pajak karbon menjadi suatu inovasi dalam hal keberlanjutan yang dapat mendorong investasi guna mengatasi perubahan iklim global. Tax Foundation mendefinisikan pajak karbon sebagai istilah yang menggambarkan suatu tindakan penetapan harga karbon pada timbulan emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan pemerintah, bisnis, dan konsumen.  Inisiatif penetapan pajak karbon dilakukan bertujuan mendorong mereka mengurangi produksi emisi GRK ke lingkungan. Dengan adanya insentif, diharapkan jumlah emisi karbon di atmosfer berkurang sehingga mengurangi dampak perubahan iklim. Baca Juga: Begini Simulasi Perhitungan Pajak Karbon di Swedia Di Indonesia sendiri, implementasi pajak karbon dicanangkan untuk diterapkan pada April 2021, menyasar khusus kepada sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara. Akan tetapi, agenda ini sempat ditunda hingga Juli 2022, sebelum akhirnya kembali batal dan direncanakan ulang penerapannya pada tahun 2025 untuk mematangkan kesiapan aturan dan teknis mekanisme. Dilansir dari Earthorg, sampai dengan Agustus 2021, terdapat 27 negara telah menerapkan berbagai bentuk pajak karbon, yang secara total mencakup 5,5 persen emisi GRK global. Sambil menunggu pajak karbon akhirnya dapat diterapkan di Indonesia, mari kita melihat implementasi pajak karbon di negara-negara lainnya di seluruh dunia. 1. 35 Tahun Pajak Karbon di Finlandia Finlandia adalah negara pertama di dunia yang punya inisiatif menerapkan pajak karbon dan telah dilakukan sejak tahun 1990. Tindakan ini pada awalnya ialah sebuah usul ‘coba-coba’ yang kemudian menghasilkan dampak sangat berarti bagi negara dan masyarakat. Pajak karbon pertama kali diperkenalkan sebagai pajak energi dengan menargetkan penggunaan bahan bakar fosil sebagai wajib pajak. Tercatat bahwa tarif pajak karbon yang ditetapkan Finlandia adalah €93.02, setara US$100.02 per metrik ton CO2e, mencakup sekitar 45 persen dari semua gas rumah kaca yang dipancarkan secara nasional. Dilansir dari Ideatax, pajak karbon yang diterapkan Finlandia telah membawa pendapatan senilai USD$800 juta pada tahun 2013.  Secara lingkungan, inisiatif ini berhasil mengurangi emisi karbon sebesar 30 persen pada tahun 2004 dan terus meningkat 20 kali lipat di tahun-tahun berikutnya. 2. 34 Tahun Pajak Karbon di Swedia Jauh sebelum disahkannya Paris Agreement 2016 yang menjadikan pajak karbon sebagai salah satu langkah untuk mengurangi emisi GRK, Swedia telah terlebih dahulu menerapkan inisiatif ini sejak 34 tahun lalu. Pajak karbon di Swedia mulai diterapkan pada tahun 1991, menjadikannya salah satu inisiator pajak karbon pertama di dunia setelah Finlandia yang juga menetapkan aturan tersebut pada 1990. Sebelumnya, Swedia memulai sejarah panjangnya dalam menerapkan pajak energi pada produk-produk energi sejak 1937. Hingga pada akhirnya pajak karbon diterapkan, kedua hal tersebut masih berjalan berdampingan hingga saat ini.  Diketahui, Swedia merupakan negara yang mengenakan tarif pajak karbon tertinggi di dunia saat ini. Dikenakan pada bahan bakar fosil yang digunakan untuk keperluan pemanas dan bahan bakar motor. Tarif pajak karbon di sini mencapai €118.35 atau US$126 per metrik ton CO2e, mencakup sekitar 40 persen dari semua gas rumah kaca yang dipancarkan secara nasional.. Sejak diterapkan 34 tahun lalu, pajak karbon telah membantu Swedia menurunkan emisi GRK di sana sebesar 27 persen sambil mempertahankan pertumbuhan PDB mereka lebih dari 50 persen.  3. Pajak Karbon Singapura Pertama di Asia Tenggara Salah satu negara yang sangat peduli lingkungan yakni Singapura, menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang menerapkan aturan pajak karbon. Dimulai sejak tahun 2019. Tepat di tanggal 1 Januari 2019, Singapura menetapkan tarif pajak karbon sebesar S$5 per metrik ton CO2e selama lima tahun pertama dari 2019 hingga 2023 untuk memberikan masa transisi bagi para penghasil emisi untuk menyesuaikan diri.  Setelahnya , secara bertahap di setiap tahun tarifnya akan naik S$20 sampai dengan tahun 2030 untuk mendukung target nol emisi bersih dan mendorong bisnis turut serta dalam mengurangi jejak karbon sesuai tujuan iklim nasional. Pajak karbon merupakan bagian dari rangkaian lengkap langkah mitigasi Singapura untuk mendukung transisi menuju ekonomi rendah karbon. Mendorong sinyal ekonomi yang efektif dengan meminta pertanggung jawaban industri atas emisi yang mereka hasilkan. Dari total emisi, sekitar 70 persen dicakup oleh pajak karbon yang dikenakan pada sekitar 50 fasilitas di sektor manufaktur, listrik, limbah, dan air. Ini merupakan salah satu cakupan yang terlengkap di dunia. Bagaimana menurutmu? Apakah Indonesia bisa menjadi salah satu negara yang konsisten menerapkan pajak karbon pada para pelaku industri yang berkontribusi besar menghasilkan emisi karbon di negeri ini? Lalu, apakah Anda juga telah mulai menerapkan konsep sustainability manajemen dalam kegiatan operasional perusahaan atau organisasi Anda? Jalankan rencana tersebut dengan lebih mudah bersama Satuplatform! Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG management, carbon accounting, dan sustainability reporting. Kami dapat membantu Anda mencapai tujuan keberlanjutan dengan menjadi yang terdepan sesuai regulasi yang berlaku.  Dengan fitur-fitur Satuplatform, Anda dapat: Mengumpulkan dan menganalisis data ESG secara akurat dan efisien Menghitung & mengelola emisi karbon dan menetapkan target pengurangan emisi Menyusun laporan ESG yang memenuhi standar internasional dan nasional Satuplatform juga didukung oleh tim ahli yang berpengalaman di bidang keberlanjutan bisnis. Tim ahli kami akan membantu memahami kebutuhan Anda dan mengimplementasikan solusi yang tepat. Hubungi Satuplatform dan dapatkan FREE DEMO sekarang!  Wujudkan bisnis yang berkelanjutan, berdaya saing, dan bertanggung jawab bersama Satuplatform.  — Referensi: – Looking Back on 30 Years of Carbon Taxes in Sweden – Carbon Pricing and Carbon Tax in Sweden – Carbon Tax in the World: A Comparison – Carbon Tax in Singapore Similar Article Food Loss dan Dampaknya terhadap Iklim dan Lingkungan Food loss atau kehilangan pangan adalah salah satu masalah besar yang sering luput dari perhatian. Food loss mengacu pada makanan yang hilang di sepanjang rantai pasok sebelum mencapai konsumen, seperti saat panen, penyimpanan, transportasi, dan distribusi.  Berbeda dengan food waste, yang merujuk pada makanan yang dibuang oleh konsumen atau ritel, food loss lebih banyak terjadi di hulu rantai pasok. Meski tidak selalu disadari, kehilangan pangan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Baca Juga: Food Loss vs Food Waste Fakta dan Data Mengenai Food Loss Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 14% dari seluruh makanan yang diproduksi… YONO: Tren Gaya Hidup Ala Gen Z Tahun 2025 Di tahun 2025, tren gaya hidup terus berkembang, terutama di kalangan Gen Z yang dikenal adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Salah satu fenomena terbaru yang menjadi perbincangan hangat adalah YONO, sebuah konsep hidup yang semakin populer di berbagai …

5

Bagaimana UMKM Berperan Mengurangi Emisi Karbon?

Kita seringkali mengira bahwa hanya industri besar dengan produktivitas sangat tinggi yang harus bertanggung jawab terhadap jejak emisi karbon yang ada. Faktanya, semua bisnis bahkan orang juga sama-sama menghasilkan jejak karbon. Begitu pun berlaku sama pada usaha mikro kecil dan menengah atau UMKM. Meskipun UMKM sering dianggap sebagai bisnis skala kecil, secara kolektif mereka memiliki dampak besar terhadap lingkungan. IESR menyebut bahwa timbulan emisi karbon UMKM dapat menyetarai industri besar. Baca Juga: 3 Negara Penghasil Emisi Karbon Terbesar di Dunia Dilansir dari Katadata, menurut laporan Institute for Essential Services Reform (IESR), emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan sektor UMKM sangat tinggi mencapai 216 juta ton CO2 di tahun 2023. Sebanyak 95 persen emisi berasal dari pembakaran energi fosil. Walau cenderung lebih kecil dibandingkan industri besar, perbedaannya tidak terlalu jauh dengan sektor industri menyumbang 238,1 juta ton CO2 pada 2022. Jumlah emisi karbon yang dihasilkan sektor UMKM di atas diperoleh dari survei terhadap 1.000 pelaku UMKM di 10 provinsi. Namun, angkanya mewakili lebih dari 65 juta UMKM di Indonesia. Melihat kondisi di atas, tentu dibutuhkan upaya bersama untuk dapat meminimalkan emisi karbon dan menciptakan bisnis yang ramah lingkungan. Berikut adalah beberapa cara yang bisa dilakukan UMKM dalam membantu mengurangi emisi karbon. 1. UMKM dapat Melakukan Efisiensi Energi Hal pertama yang dapat dilakukan UMKM dalam mendukung pengurangan emisi karbon adalah dengan menerapkan efisiensi energi. Artinya, bisnis dapat mulai dengan bijak dalam penggunaan energi, mengurangi pemborosan yang tidak diperlukan, dan menghemat energi untuk kebutuhan tertentu saja. Aktivitas yang bisa dilakukan untuk mewujudkan efisiensi energi adalah dengan menggunakan peralatan elektronik yang hemat listrik, mengoptimalkan penggunaan AC, mematikan alat yang tidak terpakai, serta mengandalkan cahaya alami di siang hari dan mematikan lampu. UMKM juga dapat memanfaatkan energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan pada listrik berbasis fosil. Langkah kecil melalui upaya menghemat energi ini dapat meningkatkan dampak yang diusahakan dalam mengurangi emisi karbon. 2. Menerapkan Konsep Ekonomi Sirkular bagi UMKM Sampah atau limbah yang dihasilkan setiap harinya dari operasional bisnis juga turut menyumbang emisi gas rumah kaca di lingkungan jika tidak dikelola dengan cara yang berkelanjutan. Untuk mewujudkan pengurangan emisi karbon, bisnis dapat mulai menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) dalam menangani limbah. Mengurangi produksi sampah, menggunakan kembali material yang masih layak pakai, serta melakukan daur ulang pada bahan-bahan tertentu untuk menjadikannya barang baru yang berguna. UMKM juga dapat beralih ke penggunaan kemasan ramah lingkungan, baik yang sifatnya biodegradable atau kemasan daur ulang. Melalui penerapan konsep ekonomi sirkular, bisnis membantu menghemat sumber daya dan bahan baku serta meminimalisir timbulan sampah baru di TPA serta lingkungan. 3. UMKM dapat Menggunakan Bahan Baku Berkelanjutan Sesuai namanya, bahan baku berkelanjutan terdiri dari bahan yang ramah lingkungan, bersifat mudah diperbaharui, serta dapat didaur ulang. Bahan baku jenis ini umumnya berasal dari sumber daya yang berdampak rendah bagi lingkungan dan punya siklus hidup yang lebih panjang untuk mengurangi limbah paska konsumsi. Bisnis skala kecil seperti UMKM dapat mempertimbangkan opsi ini dengan menggunakan bahan baku lokal, memilih produk ramah lingkungan yang tidak menyebabkan emisi karbon tinggi. Bisnis juga dapat bermitra dengan pemasok yang berkomitmen terhadap lingkungan untuk memastikan rantai pasok lebih hijau. 4. UMKM dapat Melibatkan Peran Karyawan dan Konsumen UMKM dapat mengajak karyawan beserta konsumen dan komunitas terkait untuk turut menerapkan budaya peduli lingkungan melalui kampanye kesadaran lingkungan. Beberapa hal yang bisa dilakukan ialah dengan menggerakan upaya memilah sampah, menggunakan peralatan makan guna ulang atau tumblr minum isi ulang, hingga upaya pengurangan emisi karbon. Dapat juga dengan memberikan insentif bagi pelanggan hijau melalui penyediaan diskon bagi pelanggan yang memilih opsi ramah lingkungan. 5. Menetapkan Target Pengurangan dan Melacak Jejak Karbon  Hal yang paling utama di antara semuanya ialah UMKM dapat mulai menetapkan target pengurangan emisi karbon. Jangan lupa untuk konsisten mengukur emisi karbon dari operasional bisnis dan mencari cara menguranginya dengan didukung alat perhitungan karbon untuk memudahkan prosesnya. Jalankan rencana tersebut dengan lebih mudah bersama Satuplatform! Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG management, carbon accounting, dan sustainability reporting. Kami dapat membantu Anda mencapai tujuan keberlanjutan dengan menjadi yang terdepan sesuai regulasi yang berlaku.  Dengan fitur-fitur Satuplatform, Anda dapat: Mengumpulkan dan menganalisis data ESG secara akurat dan efisien Menghitung & mengelola emisi karbon dan menetapkan target pengurangan emisi Menyusun laporan ESG yang memenuhi standar internasional dan nasional Satuplatform juga didukung oleh tim ahli yang berpengalaman di bidang keberlanjutan bisnis. Tim ahli kami akan membantu memahami kebutuhan Anda dan mengimplementasikan solusi yang tepat. Hubungi Satuplatform dan dapatkan FREE DEMO sekarang!  Wujudkan bisnis yang berkelanjutan, berdaya saing, dan bertanggung jawab bersama Satuplatform.  Similar Article Food Loss dan Dampaknya terhadap Iklim dan Lingkungan Food loss atau kehilangan pangan adalah salah satu masalah besar yang sering luput dari perhatian. Food loss mengacu pada makanan yang hilang di sepanjang rantai pasok sebelum mencapai konsumen, seperti saat panen, penyimpanan, transportasi, dan distribusi.  Berbeda dengan food waste, yang merujuk pada makanan yang dibuang oleh konsumen atau ritel, food loss lebih banyak terjadi di hulu rantai pasok. Meski tidak selalu disadari, kehilangan pangan memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan dan perubahan iklim. Baca Juga: Food Loss vs Food Waste Fakta dan Data Mengenai Food Loss Menurut laporan Food and Agriculture Organization (FAO), sekitar 14% dari seluruh makanan yang diproduksi… YONO: Tren Gaya Hidup Ala Gen Z Tahun 2025 Di tahun 2025, tren gaya hidup terus berkembang, terutama di kalangan Gen Z yang dikenal adaptif terhadap perubahan sosial dan teknologi. Salah satu fenomena terbaru yang menjadi perbincangan hangat adalah YONO, sebuah konsep hidup yang semakin populer di berbagai belahan dunia.  YONO, singkatan dari You Only Need One, adalah filosofi hidup yang menekankan kesederhanaan, efisiensi, dan keberlanjutan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari fashion, teknologi, hingga kebiasaan konsumsi. Baca Juga: Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment Asal Usul dan Filosofi YONO Konsep YONO lahir dari kesadaran generasi muda terhadap konsumsi berlebihan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan. Dibandingkan dengan tren… Penyerap Karbon Luar Biasa: Pohon Mangrove, Petai, dan Durian Dalam menghadapi perubahan iklim dan meningkatnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfer, peran pohon sebagai penyerap karbon alami menjadi semakin penting. Beberapa spesies pohon memiliki kapasitas luar biasa dalam …

1

5 Keuntungan Perusahaan yang Bergabung di Investasi Karbon

Investasi karbon kini menjadi strategi penting dalam upaya global mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan menghadapi tantangan perubahan iklim yang semakin ekstrim. Dalam kondisi ini, mulai banyak perusahaan yang bergabung dalam investasi karbon. Hal ini disadari bahwa memang  investasi karbon tidak hanya berkontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan, tetapi juga memiliki keuntungan dari segi bisnis.  Menurut laporan World Bank 2023, pasar karbon global telah menghasilkan lebih dari $95 miliar dalam pendapatan, menunjukkan potensi ekonominya. Artikel ini akan membahas lima keuntungan utama bagi perusahaan yang terlibat dalam investasi karbon, mari simak! Baca juga artikel lainnya : Optimalkan Pengelolaan Karbon: Solusi Cerdas untuk Mengurangi Emisi Scope 1, 2, dan 3 1. Meningkatkan Reputasi dan Citra Perusahaan Perusahaan yang melakukan investasi karbon secara signifikan akan memiliki reputasi yang lebih baik di mata pemangku kepentingan, ketimbang dengan perusahaan lain pada umumnya. Perusahaan yang menunjukkan tanggung jawab lingkungan cenderung lebih dipercaya dan memiliki loyalitas pelanggan yang lebih tinggi. Reputasi yang baik juga membuka peluang kemitraan strategis dengan perusahaan lain yang memiliki visi serupa. Dengan meningkatnya kesadaran konsumen terhadap isu lingkungan, perusahaan yang terlibat dalam investasi karbon akan memiliki keunggulan kompetitif di pasar. 2. Mengurangi Risiko Regulasi Investasi karbon membantu perusahaan mematuhi regulasi lingkungan yang semakin ketat di berbagai negara. Dengan bergabung dalam investasi karbon, perusahaan dapat mengurangi risiko denda dan penalti akibat ketidakpatuhan terhadap regulasi. Selain itu, perusahaan juga lebih siap menghadapi perubahan kebijakan di masa depan, yang dapat mengurangi ketidakpastian bisnis. Regulasi yang dipatuhi dengan baik juga memperkuat hubungan perusahaan dengan pemerintah dan lembaga pengawas. Hal ini juga dapat menjadi awal dibangunnya ‘habit’ perusahaan yang lebih patuh terhadap regulasi, sehingga membantu perusahaan untuk dapat mempertahankan eksistensinya dalam jangka panjang. 3. Menciptakan Peluang Pasar Baru Manfaat berikutnya dari perusahaan yang melakukan investasi karbon adalah dari segi peluang yang lebih terbuka. Investasi karbon dapat membuka akses ke pasar baru, khususnya di sektor energi terbarukan dan teknologi hijau. Perusahaan yang berinvestasi dalam solusi rendah karbon dapat memperkenalkan produk dan layanan baru yang ramah lingkungan. Hal ini tidak hanya memperluas portofolio perusahaan tetapi juga meningkatkan pendapatan dari segmen pasar yang berkembang. Diversifikasi ini juga membantu perusahaan bertahan dalam kondisi pasar yang berubah dengan cepat. 4. Efisiensi Operasional dan Pengurangan Biaya Investasi karbon yang dilakukan secara kontinyu dapat mendorong perusahaan untuk mengadopsi teknologi efisien yang mengurangi biaya operasional. McKinsey & Company melaporkan bahwa perusahaan dapat mengurangi biaya energi hingga 20% dengan menerapkan praktik efisiensi karbon. Penggunaan teknologi efisien seperti energi terbarukan dan proses produksi yang hemat energi tidak hanya mengurangi emisi tetapi juga meminimalkan pengeluaran jangka panjang. Hal ini menciptakan keunggulan biaya yang dapat meningkatkan profitabilitas. Efisiensi operasional yang lebih tinggi juga meningkatkan daya saing perusahaan di pasar global. 5. Akses ke Sumber Pendanaan dan Insentif Selain beberapa manfaat di atas, investasi karbon yang dilakukan perusahaan juga dapat memberikan manfaat dalam hal pembiayaan dan insentif. Perusahaan yang terlibat dalam investasi karbon memiliki akses lebih besar ke sumber pendanaan berkelanjutan dan insentif fiskal. Banyak investor institusi kini memprioritaskan perusahaan dengan portofolio investasi berkelanjutan. Selain itu, pemerintah di berbagai negara menawarkan insentif pajak dan subsidi untuk perusahaan yang berkontribusi pada pengurangan emisi. Akses ke pendanaan hijau ini membantu perusahaan mempercepat transformasi menuju model bisnis yang lebih berkelanjutan. Dengan bergabung dalam investasi karbon, perusahaan tidak hanya berkontribusi pada pelestarian lingkungan, tetapi juga membuka jalan menuju pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan. Keuntungan strategis seperti peningkatan reputasi, pengurangan risiko regulasi, peluang pasar baru, efisiensi operasional, dan akses ke pendanaan hijau membuktikan bahwa investasi karbon adalah pilihan cerdas dan visioner.  Terutama saat ini, telah hadir Satuplatform.com yang dapat membantu inisiatif lingkungan perusahaan. Sebagai all-in-one solution, Satuplatform.com menyediakan berbagai layanan dan konsultasi bagi perusahaan dari berbagai sektor industri. Ayo coba FREE DEMO nya sekarang! Similar Article Waste to Energy (WTE) : Negara Swedia Lakukan Impor Sampah Di tengah kondisi bumi yang semakin ‘overwhelmed’ dengan limbah di lingkungan, impor sampah menjadi suatu mekanisme yang kini mulai semakin diperhitungkan. Impor sampah merujuk pada praktik suatu negara menerima limbah dari negara lain untuk diolah, didaur ulang, atau digunakan sebagai sumber energi.  Beberapa negara-negara di dunia melakukan impor sampah, termasuk Swedia. Dalam artikel ini akan dibahas bagaimana Swedia mengimpor sampah dan apa dampaknya secara lingkungan maupun secara ekonomi.  Waste-to-energy (WTE) Swedia telah lama menjadi pelopor dalam pengelolaan limbah yang efisien dan berkelanjutan. Negara ini dikenal dengan sistem waste-to-energy (WTE) yang memungkinkan mereka mengkonversi sampah menjadi energi listrik dan panas.  Menurut… Bagaimana Kerjasama Sister-City untuk Dukung Fasilitas Kota yang Ramah Lingkungan? Dalam menghadapi tantangan lingkungan perkotaan, banyak kota di dunia menjalin hubungan sister-city guna bertukar pengalaman dan teknologi dalam membangun fasilitas yang lebih ramah lingkungan. Konsep sister-city tidak hanya bertujuan mempererat hubungan diplomatik, tetapi juga menjadi platform untuk berbagi solusi inovatif dalam mengatasi permasalahan perkotaan seperti polusi udara, pengelolaan limbah, dan efisiensi energi.  Artikel ini akan membahas lima aspek utama dari kerjasama sister-city dalam mendukung pembangunan kota yang berkelanjutan. Implementasi Teknologi Hijau dalam Infrastruktur Perkotaan Melalui kerjasama sister-city, banyak kota mengadopsi teknologi hijau untuk meningkatkan kualitas lingkungan. Misalnya, Jakarta yang bermitra dengan Rotterdam dalam pengelolaan air dan tata kota berbasis ekologi.… Gen Z’s Initiatives Towards A Better Environment As environmental concerns continue to escalate, Generation Z (Gen Z) has emerged as a driving force in the movement toward sustainability. Characterized by their digital savviness, social consciousness, and commitment to change, Gen Z is leveraging innovation, activism, and business strategies to foster a more sustainable future.  Gen Z initiatives span from personal lifestyle changes to large-scale advocacy and corporate engagement. This article explores five key areas where Gen Z is making an impactful difference. Sustainable and Ethical Spending Gen Z is reshaping consumer behavior by prioritizing sustainability in their purchasing decisions. Research titled “The State of Consumer Spending: Gen… Kerjasama Bilateral Indonesia untuk Dukung Keberlanjutan Lingkungan Dalam menghadapi tantangan perubahan iklim dan degradasi lingkungan, Indonesia telah menjalin berbagai kerjasama bilateral dengan negara-negara mitra guna mempercepat transisi menuju pembangunan berkelanjutan. Kerjasama ini mencakup berbagai aspek, mulai dari pengelolaan hutan dan energi terbarukan hingga pengurangan emisi karbon serta pendanaan hijau. Artikel ini akan membahas berbagai bentuk kerjasama bilateral Indonesia dalam mendukung keberlanjutan lingkungan dengan data …

3

Carbon Credits: Indonesia’s Path to a Greener Future

Indonesia, an archipelago rich in biodiversity and natural resources, faces a significant challenge in balancing economic growth with environmental sustainability. As one of the world’s top greenhouse gas emitters, Indonesia’s efforts to reduce emissions are crucial for global climate goals.  Carbon credits have emerged as a promising mechanism, allowing the country to monetize its vast forests and renewable energy potential while advancing its green agenda. According to Indonesia’s Ministry of Environment and Forestry, the country aims to reduce its greenhouse gas emissions by 31.89% independently and 43.20% with international assistance by 2030. Carbon credits can be a critical tool in achieving these targets, aligning environmental stewardship with economic benefits. This article will further discuss carbon credits as one of Indonesia’s efforts to create a sustainable environment. Read other similar articles : How Business Contribute to SDG 13: Climate Action Carbon Credits Potential in Indonesia Carbon credits is actually not a whole new concept, it was introduced in 1997 with the Kyoto Protocol, then rapidly became more well-known as global awareness of environmental issues grew. Carbon credits represent a permit allowing the holder to emit one ton of carbon dioxide or equivalent greenhouse gases. Companies or countries that emit less than their allowance can sell the surplus credits to others, fostering a market-driven approach to emission reduction. Indonesia’s carbon credit market holds immense potential. With approximately 120.6 million hectares of forests acting as carbon sinks, Indonesia could generate significant revenue through carbon trading. Estimates suggest that Indonesia’s carbon market could be worth up to USD 82 billion by 2030. The establishment of the Indonesia Carbon Exchange (IDXCarbon) in 2023 further demonstrates the government’s commitment to developing a regulated carbon trading ecosystem. Carbon Credits Regulation in Indonesia One of the key regulations of carbon credits in Indonesia is Presidential Regulation No. 98/2021, which provides a comprehensive legal framework for carbon pricing. This regulation ensures that carbon trading activities are aligned with Indonesia’s national emission reduction targets, helping the country meet its climate commitments. The regulation also outlines mechanisms for carbon trading, carbon offset projects, and emission reduction certifications, providing clear guidance for businesses to participate effectively. According to the Indonesian Chamber of Commerce and Industry (KADIN), the number of businesses that integrate carbon trading into their sustainability portfolios are becoming higher. This growing interest reflects an increasing awareness among businesses of the importance of transitioning to low-carbon operations. As regulations continue to evolve, the carbon market in Indonesia is expected to expand, presenting new opportunities for the private sector to contribute to national and global climate goals. Corporate Involvement in Carbon Credits Nowadays, businesses in Indonesia are increasingly integrating carbon credits into their sustainability strategies. Large corporations, particularly in the energy, forestry, and agriculture sectors, recognize the dual benefits of reducing emissions and generating revenue. For instance, PT Pertamina, Indonesia’s state-owned oil and gas company, has invested in carbon offset projects such as reforestation and renewable energy initiatives. These projects have the potential to offset up to 29 million tons of CO2 annually. Similarly, companies like APRIL Group and Astra Agro Lestari have adopted sustainable land management practices to reduce emissions and generate tradable carbon credits. Economic and Environmental Benefits The potential economic benefits of carbon credits for Indonesia are substantial. The World Bank estimates that Indonesia could potentially earn billions of dollars from carbon trading by 2030 if it optimizes its carbon credit mechanisms. These revenues could be reinvested in sustainable infrastructure, renewable energy, and community development projects. From an environmental perspective, the impact is equally significant. By fully leveraging carbon credit opportunities, Indonesia could reduce its annual greenhouse gas emissions by up to 300 million tons by 2030. This reduction would contribute significantly to meeting Indonesia’s Nationally Determined Contributions (NDCs) under the Paris Agreement. Challenges and the Road Ahead Despite the promising potential, Indonesia faces several challenges in fully realizing the benefits of carbon credits. Such as limited technical capacity, and the need for robust monitoring systems are key barriers. Ensuring transparency and accountability in carbon trading is essential to build trust among investors and stakeholders. Furthermore, aligning national and international standards for carbon credits remains a complex task. Indonesia must ensure that its carbon credit mechanisms are compatible with global frameworks such as the Verified Carbon Standard (VCS) and the Gold Standard to attract international investors. After all, Indonesia’s journey toward a greener future is intrinsically linked to the effective utilization of carbon credits. For companies and businesses who aim to integrate the carbon credit into their environmental initiatives, it has become do-able with the support of government and the wider community. Especially now we have Satuplatform.com as an all-in-one solution who provides you with carbon consultancy. Try our FREE DEMO now! Similar Article 5 Keuntungan Perusahaan yang Bergabung di Investasi Karbon Investasi karbon kini menjadi strategi penting dalam upaya global mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan menghadapi tantangan perubahan iklim yang semakin ekstrim. Dalam kondisi ini, mulai banyak perusahaan yang bergabung dalam investasi karbon. Hal ini disadari bahwa memang  investasi karbon tidak hanya berkontribusi terhadap keberlanjutan lingkungan, tetapi juga memiliki keuntungan dari segi bisnis.  Menurut laporan World Bank 2023, pasar karbon global telah menghasilkan lebih dari $95 miliar dalam pendapatan, menunjukkan potensi ekonominya. Artikel ini akan membahas lima keuntungan utama bagi perusahaan yang terlibat dalam investasi karbon, mari simak! Baca juga artikel lainnya : Optimalkan Pengelolaan Karbon: Solusi Cerdas untuk… Carbon Credits: Indonesia’s Path to a Greener Future Indonesia, an archipelago rich in biodiversity and natural resources, faces a significant challenge in balancing economic growth with environmental sustainability. As one of the world’s top greenhouse gas emitters, Indonesia’s efforts to reduce emissions are crucial for global climate goals.  Carbon credits have emerged as a promising mechanism, allowing the country to monetize its vast forests and renewable energy potential while advancing its green agenda. According to Indonesia’s Ministry of Environment and Forestry, the country aims to reduce its greenhouse gas emissions by 31.89% independently and 43.20% with international assistance by 2030. Carbon credits can be a critical …