2

The Next Era of Sustainable Business: Going from Circular to Regenerative Models

In 2024, companies started to elevate sustainable business through more future-fit models. Global challenges, from resource scarcity to social and workplace welfare, now drive a shift from merely reducing harm to actively enhancing positive impact.This era also necessitates active improvement.  Moving beyond zero emission to achieving net-positive impact for the planet, communities, and economy is evident. Regenerative practice changed the focus of the circular economy for a more sustainable future, serving as a new fitting business model.   Read Another Article: How Indonesian Businesses Are Aligning with SDGs for A Sustainable Future What is Regenerative Business for Sustainable Business?  A regenerative business goes beyond traditional sustainability, aiming to actively create a net-positive effect. It steps from restoration  stepping from restoration to regeneration regenerates entire ecosystems (natural resources, communities, and human well-being). This revolutionary approach is guided by core principles.  1. Systemic Thinking Recognizing profound interconnectedness across environmental, social, and economic elements to achieve net-positive impact. 2. Circularity & Resource Regeneration Actively supporting the continuous renewal and replenishment of natural and social resources, moving towards closed-loop systems where waste becomes a valuable resource. 3. Collaboration & Stakeholder Empowerment Promoting community involvement and equitable practices by collaborating with employees, suppliers, customers, and local communities in co-creating solutions and fostering shared value.  4. Continuous Learning & Adaptive Resilience Embracing innovation, staying agile, and constantly evolving practices to improve environmental, social, and economic impacts, building inherent resilience for long-term viability.  The Business Case for Embracing Regeneration  Adopting a regenerative approach offers multifaceted advantages, impacting environmental, social, and governance (ESG) aspects beyond traditional CSR of sustainable business. 1. Social Well-being and Employee Performance Regenerative models prioritize community well-being, fostering positive relationships and engagement with local communities. They promote fair, inclusive, and responsible labor practices, leading to improved social capital, reduced inequalities, and better social welfare. This also translates into increased productivity and naturally attracting top talent seeking purposeful and meaningful work. 2. Economic Viability and Resilience Investing in ecosystems and communities fosters innovation, strengthens long-term viability, and builds resilience against market and climate disruptions. Regenerative practices alone could generate trillions in economic value. 3. Brand Reputation and Customer Loyalty Since consumers increasingly prefer brands embodying net-positive missions, implementing regenerative practices demonstrates commitment to advanced sustainable principles, driving brand differentiation and fostering strong customer loyalty. 4. Environmental Impact This innovative practice directly improves soil health, sequesters carbon, protects vital ecosystems, and rebuilds biodiversity, integral to creating a more positive environmental state. How to Transform Sustainable Business with Regenerative Practices Transition towards regeneration business practices builds on existing sustainable practices, with the circular economy often serving as a foundational catalyst. 1. Define Your Purpose and Assess Your Impact Begin by understanding your current ESG footprint and clearly articulating your positive impact vision beyond profit. Then, set specific regeneration goals for stakeholder buy-in. 2. Adopt Regenerative Models and Strategies 3. Measure, Learn, and Communicate Transparently Continuously assess progress using tools like carbon footprint audits or B Impact Assessments. Communicate initiatives transparently to inspire others, leveraging digital tools for clarity and avoiding greenwashing.  Regenerative Practices to Cultivate Profound Sustainable Impact The transition to regenerative models marks the essential next step for any sustainable business committed to long-term viability and profound positive impact. Discover how Satuplatform can help simplify your business transformation towards a regenerative future. Learn more about our services through FREE DEMO today! Similar Article The Next Era of Sustainable Business: Going from Circular to Regenerative Models In 2024, companies started to elevate sustainable business through more future-fit models. Global challenges, from resource scarcity to social and workplace welfare, now drive a shift from merely reducing harm to actively enhancing positive impact.This era also necessitates active improvement.  Moving beyond zero emission to achieving net-positive impact for the planet, communities, and economy is evident. Regenerative practice changed the focus of the circular economy for a more sustainable future, serving as a new fitting business model.   Read Another Article: How Indonesian Businesses Are Aligning with SDGs for A Sustainable Future What is Regenerative Business for Sustainable Business?  A regenerative… Sertifikasi Industri Hijau (SIH), Pilar Transformasi Bisnis Berkelanjutan di Indonesia Pemerintah Indonesia telah menegaskan komitmen untuk mencapai Net Zero Emission 2060 melalui transformasi ekonomi hijau. Tiga krisis planet, kerentanan pasokan bahan baku dan air akibat perubahan iklim, hingga kebijakan perlindungan karbon dari pasar global mendorong pengembangan kebijakan ini.  Kondisi ini juga memicu gangguan stabilitas produksi industri, meningkatkan permintaan pasar akan produk hijau dan kebutuhan terhadap bisnis berkelanjutan. Menjawab tantangan tersebut, Pemerintah Indonesia memberikan dukungan strategis berupa Sertifikasi Industri Hijau (SIH), sebuah panduan standarisasi yang esensial bagi bisnis untuk bertahan dan mengembangkan daya saing di masa mendatang. Baca Juga: Sustainable Business dan 5 Pelatihan Online  Standar dan Proses Sertifikasi Industri Hijau… Strategi Konservasi Air di Sektor Bisnis untuk Mengurangi Dampak Jejak Karbon Sadarkah Anda bahwa konservasi air dan manajemen air dapat membantu menekan biaya operasional sekaligus membawa perubahan signifikan pada dampak lingkungan perusahaan?  Setiap entitas bisnis memiliki jejak air, yaitu volume air tawar yang digunakan secara langsung maupun tidak langsung dalam operasionalnya. Tanpa disadari, entitas bisnis mengkonsumsi air dalam jumlah yang sangat besar.  Infrastruktur dan konsumsi air memiliki kaitan erat dengan produksi dan dampak jejak karbon pada lingkungan.  Laman Hydropoint menyampaikan bahwa secara garis besar, jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari konsumsi tiap meter kubik air bersih mencapai kurang lebih 10,5 kg.  Temuan ini menegaskan bahwa upaya dekarbonisasi perlu dilakukan melalui pengelolaan… This Is How Energy Crisis Should Not Get Ignored The global energy landscape is undergoing significant shifts, driven by escalating demand, geopolitical tensions, and the urgent call for sustainable practices. Yet, amid this transformation, many businesses and governments still overlook the looming reality of an energy crisis.  Read other article : Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) Companies Initiatives to Adopt Green Energy Ignoring this issue is not just an environmental mistake, but it is a strategic business risk. The energy crisis is more than an environmental or political concern, but it is an economic and operational challenge that threatens stability, growth, and global sustainability. This article explores why the energy… BMKG: …

2

Sertifikasi Industri Hijau (SIH), Pilar Transformasi Bisnis Berkelanjutan di Indonesia

Pemerintah Indonesia telah menegaskan komitmen untuk mencapai Net Zero Emission 2060 melalui transformasi ekonomi hijau. Tiga krisis planet, kerentanan pasokan bahan baku dan air akibat perubahan iklim, hingga kebijakan perlindungan karbon dari pasar global mendorong pengembangan kebijakan ini.  Kondisi ini juga memicu gangguan stabilitas produksi industri, meningkatkan permintaan pasar akan produk hijau dan kebutuhan terhadap bisnis berkelanjutan. Menjawab tantangan tersebut, Pemerintah Indonesia memberikan dukungan strategis berupa Sertifikasi Industri Hijau (SIH), sebuah panduan standarisasi yang esensial bagi bisnis untuk bertahan dan mengembangkan daya saing di masa mendatang. Baca Juga: Sustainable Business dan 5 Pelatihan Online  Standar dan Proses Sertifikasi Industri Hijau (SIH) untuk Bisnis Berkelanjutan di Indonesia Semenjak tahun 2017, Kementrian Perindustrian (Kemenperin) Indonesia telah menetapkan Standar Industri Hijau bagi perusahaan untuk mencapai status Industri Hijau.  Standar ini menjadi pedoman komprehensif yang mencakup ketentuan pada bahan baku, bahan penyokong, energi, proses produksi, produk, manajemen perusahaan, pengelolaan limbah hingga emisi GRK.  Kepemilikan sertifikasi Industri Hijau tengah diwajibkan secara selektif terhadap jenis sektor industri berikut ini. 1. Semen portland, 2. Ubin dan keramik,  3. Baja lembaran lapis, 4. Pulp dan kertas, 5. Pupuk buatan tunggal hara makro primer, 6. Pengasapan karet, 7. Karet remah, 8. Tekstil pencelupan, pencapan, penyempuranaan, 9. Tekstil pencetakan kain, 10. Batik,  11. Industri elektronik, 12. Industri kendaraan listrik (EV), 13. Pembangkit listrik tenaga uap, 14. Susu bubuk, 15. Pengolahan susu bubuk, 16. Gula kristal putih,  17. Air mineral.  Kriteria Kunci SIH Mengutip dari IESR, perusahaan yang ingin bersertifikasi harus memenuhi sejumlah persyaratan kunci, baik dalam aspek manajemen maupun persyaratan teknis.  Kriteria Manajemen SIH Persyaratan Teknis Tahapan dan Proses SIH Proses memperoleh SIH wajib mengikuti tahapan yang diatur pemerintah. 1. Perusahaan mengajukan permohonan sertifikasi (formulir dan dokumen pra-syarat) kepada lembaga terakreditasi yang pemerintah tunjuk.  2. Lembaga sertifikasi akan memeriksa dokumen permohonan. Proses ini diikuti dengan tahap administrasi ( penerbitan invoice, dan perjanjian kerjasama sertifikasi dengan pihak pemohon, dan penunjukkan auditor).  3. Auditor akan melakukan audit dan penilaian menyeluruh (kecukupan dan kesesuaian) terhadap seluruh kriteria. 4. Selanjutnya, auditor menyusun laporan audit serta melakukan evaluasi hasil audit. 5. Penerbitan sertifikat jika standar terpenuhi. Proses penerbitan SIH memiliki Standar Pelayanan Minimal (SPM) 21 hari kerja. SIH berlaku selama empat tahun dengan audit pengawasan wajib setiap tahun.  Mengapa Bisnis Membutuhkan Sertifikasi Industri Hijau (SIH) Sekarang? Sertifikasi Industri Hijau (SIH) adalah respons strategis bagi entitas bisnis dalam menjawab tantangan pasar dan regulasi global secara sistematis. Langkah proaktif ini menawarkan keuntungan bagi entitas bisnis sekaligus dukungan capaian target nasional (net zero emission 2060). Memenuhi Tuntutan dan Persyaratan Pasar Internasional  Kebijakan perlindungan karbon dari negara-negara tujuan ekspor, seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dan EU Deforestation Regulation (EUDR), serta geliat bursa karbon dan pasar modal berkelanjutan mendesak transformasi bisnis berkelanjutan lebih cepat.  Perusahaan yang memiliki SIH mampu memenuhi standar global yang makin ketat dan menghindari potensi sanksi akibat regulasi ESG dan sustainability di kemudian hari.  Potensi Keuntungan Ekonomis Penerapan industri hijau perlu mematuhi kriteria tertentu yang memfasilitasi perusahaan untuk menurunkan biaya operasional. Di samping itu, Pemerintah juga merencanakan insentif fiskal dan non-fiskal (potongan pajak, kemudahan perizinan) bagi entitas bisnis yang mendapatkan SIH. Memperkuat Keunggulan Kompetitif untuk Akses Pasar yang Lebih Luas SIH mencerminkan kontribusi perusahaan pada kelestarian lingkungan di mata pemangku kepentingan (konsumen, investor, mitra, regulator). Penggunaan Logo Industri Hijau pada produk dan media promosi juga menjadi bukti komitmen pada sustainability sehingga menambah nilai jual dan loyalitas. Dukungan untuk Ketangguhan Lingkungan   SIH mendorong kontribusi perusahaan pada penurunan GRK dan pelestarian lingkungan sesuai prinsip Industri Hijau. Kontribusi ini terwujud melalui efisiensi energi, pengelolaan limbah, pemantauan rantai pasok, dan penjaminan kesehatan pekerja dan selaras dengan kerangka ESG.  Langkah Pasti Menuju Bisnis Berkelanjutan Penerapan SIH  menawarkan pondasi kokoh menuju masa depan bisnis yang lebih tangguh, bertanggung jawab, dan relevan di pasar yang kian berorientasi pada strategi sustainability.  Dengan kompleksitas standar dan prosesnya, memiliki mitra yang tepat adalah langkah yang krusial. Satuplatform hadir sebagai solusi pengelolaan keberlanjutan yang terpercaya. Segera mulai langkah menuju industri Hijau dengan FREE DEMO Satuplatform.   Similar Article The Next Era of Sustainable Business: Going from Circular to Regenerative Models In 2024, companies started to elevate sustainable business through more future-fit models. Global challenges, from resource scarcity to social and workplace welfare, now drive a shift from merely reducing harm to actively enhancing positive impact.This era also necessitates active improvement.  Moving beyond zero emission to achieving net-positive impact for the planet, communities, and economy is evident. Regenerative practice changed the focus of the circular economy for a more sustainable future, serving as a new fitting business model.   Read Another Article: How Indonesian Businesses Are Aligning with SDGs for A Sustainable Future What is Regenerative Business for Sustainable Business?  A regenerative… Sertifikasi Industri Hijau (SIH), Pilar Transformasi Bisnis Berkelanjutan di Indonesia Pemerintah Indonesia telah menegaskan komitmen untuk mencapai Net Zero Emission 2060 melalui transformasi ekonomi hijau. Tiga krisis planet, kerentanan pasokan bahan baku dan air akibat perubahan iklim, hingga kebijakan perlindungan karbon dari pasar global mendorong pengembangan kebijakan ini.  Kondisi ini juga memicu gangguan stabilitas produksi industri, meningkatkan permintaan pasar akan produk hijau dan kebutuhan terhadap bisnis berkelanjutan. Menjawab tantangan tersebut, Pemerintah Indonesia memberikan dukungan strategis berupa Sertifikasi Industri Hijau (SIH), sebuah panduan standarisasi yang esensial bagi bisnis untuk bertahan dan mengembangkan daya saing di masa mendatang. Baca Juga: Sustainable Business dan 5 Pelatihan Online  Standar dan Proses Sertifikasi Industri Hijau… Strategi Konservasi Air di Sektor Bisnis untuk Mengurangi Dampak Jejak Karbon Sadarkah Anda bahwa konservasi air dan manajemen air dapat membantu menekan biaya operasional sekaligus membawa perubahan signifikan pada dampak lingkungan perusahaan?  Setiap entitas bisnis memiliki jejak air, yaitu volume air tawar yang digunakan secara langsung maupun tidak langsung dalam operasionalnya. Tanpa disadari, entitas bisnis mengkonsumsi air dalam jumlah yang sangat besar.  Infrastruktur dan konsumsi air memiliki kaitan erat dengan produksi dan dampak jejak karbon pada lingkungan.  Laman Hydropoint menyampaikan bahwa secara garis besar, jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari konsumsi tiap meter kubik air bersih mencapai kurang lebih 10,5 kg.  Temuan ini menegaskan bahwa upaya dekarbonisasi perlu dilakukan melalui pengelolaan… This Is How Energy Crisis Should Not Get Ignored The global energy landscape is undergoing …

1

Strategi Konservasi Air di Sektor Bisnis untuk Mengurangi Dampak Jejak Karbon

Sadarkah Anda bahwa konservasi air dan manajemen air dapat membantu menekan biaya operasional sekaligus membawa perubahan signifikan pada dampak lingkungan perusahaan?  Setiap entitas bisnis memiliki jejak air, yaitu volume air tawar yang digunakan secara langsung maupun tidak langsung dalam operasionalnya. Tanpa disadari, entitas bisnis mengkonsumsi air dalam jumlah yang sangat besar.  Infrastruktur dan konsumsi air memiliki kaitan erat dengan produksi dan dampak jejak karbon pada lingkungan.  Laman Hydropoint menyampaikan bahwa secara garis besar, jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari konsumsi tiap meter kubik air bersih mencapai kurang lebih 10,5 kg.  Temuan ini menegaskan bahwa upaya dekarbonisasi perlu dilakukan melalui pengelolaan dan penggunaan air yang lebih bijak.  Oleh sebab itu, memahami jejak air  merupakan langkah penting bagi perusahaan untuk mengidentifikasi pemborosan dan area perbaikan.Baca Juga: Memahami Dampak Jejak Karbon Tersembunyi di Balik Jejak Air Keuntungan Konservasi Air di Sektor Bisnis  Meskipun membutuhkan waktu dan konsistensi, konservasi air membawa serangkaian keuntungan ganda bagi perusahaan.  1. Keuntungan Ekonomi Strategi ini memfasilitasi penurunan biaya operasional, seperti tagihan air dan biaya pembuangan air limbah. Bisnis yang mengelola konsumsi air dengan lebih efisien juga akan terlindungi dari potensi kenaikan harga air di masa depan seiring prediksi kelangkaan sumber daya. Bahkan, pemerintah Indonesia telah mengatur insentif bagi pelaku penghemat air.   2. Kontribusi pada Lingkungan & Sustainability Penggunaan air yang bijak membantu meminimalkan dampak negatif terhadap ekosistem, mengurangi kerusakan habitat, dan melestarikan keanekaragaman hayati. Melalui upaya ini, perusahaan dapat mencapai tujuan sustainability yang lebih luas dan berkontribusi pada kelangsungan lingkungan yang lebih hijau lewat penekanan dampak jejak karbon melalui sektor air entitas bisnis. 3. Citra Merek, Keunggulan Kompetitif & Kepatuhan Regulasi Komitmen bisnis pada konservasi air berpotensi meningkatkan daya saing dengan nilai tambah yang akan meningkatkan reputasi publik, dan menjangkau konsumen maupun investor yang lebih sadar akan lingkungan.  Konservasi proaktif juga memposisikan perusahaan lebih baik untuk menghadapi potensi regulasi air yang lebih ketat di masa depan. 4. Peningkatan Citra Internal Pengembangan strategi konservasi air di lingkungan perusahaan akan mendorong kepedulian dan kontribusi pegawai. Memupuk kontribusi mereka dapat menumbuhkan rasa kepemilikan dan kepuasan di tempat kerja. Strategi Konkret Konservasi Air bagi Perusahaan Entitas bisnis perlu mempraktikkan strategi yang menyeluruh, mulai dari audit hingga pengembangan kebijakan konservasi air untuk menekan jejak dan dampak jejak karbon serta meraih manfaat yang lebih besar. 1. Lakukan Audit dan Pemeliharaan 2. Efisiensi Peralatan dan Proses 3. Pengelolaan Lanskap yang Bertanggung Jawab 4. Otomasi dengan Teknologi 5. Kembangkan Kebijakan Konservasi Air: Investasi Keberlanjutan Perusahaan  Konservasi air merupakan komponen integral dari bisnis yang berkelanjutan dan respons terhadap perubahan iklim. Strategi konservasi air yang menyeluruh mendukung entitas bisnis untuk mengurangi dampak jejak karbon untuk masa depan yang lebih hijau dan mengoptimalkan potensi keuntungan jangka panjang. Maksimalkan strategi sustainability bisnis Anda dengan solusi pengelolaan karbon dan ESG komprehensif Satuplatform. Tinjau layanan kami melalui FREE DEMO.  Similar Article The Next Era of Sustainable Business: Going from Circular to Regenerative Models In 2024, companies started to elevate sustainable business through more future-fit models. Global challenges, from resource scarcity to social and workplace welfare, now drive a shift from merely reducing harm to actively enhancing positive impact.This era also necessitates active improvement.  Moving beyond zero emission to achieving net-positive impact for the planet, communities, and economy is evident. Regenerative practice changed the focus of the circular economy for a more sustainable future, serving as a new fitting business model.   Read Another Article: How Indonesian Businesses Are Aligning with SDGs for A Sustainable Future What is Regenerative Business for Sustainable Business?  A regenerative… Sertifikasi Industri Hijau (SIH), Pilar Transformasi Bisnis Berkelanjutan di Indonesia Pemerintah Indonesia telah menegaskan komitmen untuk mencapai Net Zero Emission 2060 melalui transformasi ekonomi hijau. Tiga krisis planet, kerentanan pasokan bahan baku dan air akibat perubahan iklim, hingga kebijakan perlindungan karbon dari pasar global mendorong pengembangan kebijakan ini.  Kondisi ini juga memicu gangguan stabilitas produksi industri, meningkatkan permintaan pasar akan produk hijau dan kebutuhan terhadap bisnis berkelanjutan. Menjawab tantangan tersebut, Pemerintah Indonesia memberikan dukungan strategis berupa Sertifikasi Industri Hijau (SIH), sebuah panduan standarisasi yang esensial bagi bisnis untuk bertahan dan mengembangkan daya saing di masa mendatang. Baca Juga: Sustainable Business dan 5 Pelatihan Online  Standar dan Proses Sertifikasi Industri Hijau… Strategi Konservasi Air di Sektor Bisnis untuk Mengurangi Dampak Jejak Karbon Sadarkah Anda bahwa konservasi air dan manajemen air dapat membantu menekan biaya operasional sekaligus membawa perubahan signifikan pada dampak lingkungan perusahaan?  Setiap entitas bisnis memiliki jejak air, yaitu volume air tawar yang digunakan secara langsung maupun tidak langsung dalam operasionalnya. Tanpa disadari, entitas bisnis mengkonsumsi air dalam jumlah yang sangat besar.  Infrastruktur dan konsumsi air memiliki kaitan erat dengan produksi dan dampak jejak karbon pada lingkungan.  Laman Hydropoint menyampaikan bahwa secara garis besar, jumlah emisi karbon yang dihasilkan dari konsumsi tiap meter kubik air bersih mencapai kurang lebih 10,5 kg.  Temuan ini menegaskan bahwa upaya dekarbonisasi perlu dilakukan melalui pengelolaan… This Is How Energy Crisis Should Not Get Ignored The global energy landscape is undergoing significant shifts, driven by escalating demand, geopolitical tensions, and the urgent call for sustainable practices. Yet, amid this transformation, many businesses and governments still overlook the looming reality of an energy crisis.  Read other article : Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) Companies Initiatives to Adopt Green Energy Ignoring this issue is not just an environmental mistake, but it is a strategic business risk. The energy crisis is more than an environmental or political concern, but it is an economic and operational challenge that threatens stability, growth, and global sustainability. This article explores why the energy… BMKG: Fase Kritis Dunia, Apa yang Dapat Kita Lakukan? Setiap hari, kita merasakan cuaca yang semakin sulit diprediksi. Pada pagi atau siang hari, cuaca sangat panas namun kemudian menjelang sore atau malam hari tiba-tiba bisa turun hujan. Di samping itu, bencana alam juga terus datang silih berganti. Mulai dari banjir, kekeringan, kebakaran hutan, sampai dengan gelombang panas ekstrem yang kini bukan lagi menjadi fenomena asing. Semua itu merupakan tanda bahwa dunia sudah memasuki fase kritis perubahan iklim. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) baru-baru ini memberikan penegasan bahwa krisis iklim kini bukan hanya sekedar isu global yang jauh …

2

This Is How Energy Crisis Should Not Get Ignored

The global energy landscape is undergoing significant shifts, driven by escalating demand, geopolitical tensions, and the urgent call for sustainable practices. Yet, amid this transformation, many businesses and governments still overlook the looming reality of an energy crisis.  Read other article : Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) Companies Initiatives to Adopt Green Energy Ignoring this issue is not just an environmental mistake, but it is a strategic business risk. The energy crisis is more than an environmental or political concern, but it is an economic and operational challenge that threatens stability, growth, and global sustainability. This article explores why the energy crisis demands immediate attention from business leaders and stakeholders alike, and how proactive engagement is not only necessary for planetary survival but also critical for future-proofing business resilience. Let’s go through it! The Growing Threat of Global Energy Crisis All of us are aware that for decades, the world has depended heavily on fossil fuels such as coal, oil, and natural gas to meet its growing energy needs. However, this dependence comes at a cost. Fossil fuel reserves are finite, and their extraction and consumption contribute massively to greenhouse gas emissions, exacerbating climate change. Recent geopolitical conflicts, such as the Russia-Ukraine war, have also highlighted how global supply chains for energy can be weaponized, disrupting markets and driving up costs. Meanwhile, emerging economies, particularly in Asia and Africa, are facing energy access gaps, while developed countries are encountering unprecedented price volatility and supply insecurity. If current trends continue unchecked, we are heading toward a situation where energy shortages could derail economic growth, deepen poverty, and lead to social unrest. Businesses must acknowledge that an unstable energy market is no longer a distant or theoretical risk which is actually happening now. Indonesia itself, still has a very high dependency on fossil energy, with fossil fuels accounting for 94% of the country’s total energy mix. This consists of 32.2% petroleum, 18.9% natural gas, and 37.2% coal. Why Businesses Can’t Afford to Ignore the Crisis All parties, including businesses can not ignore the crises. Because ignoring the energy crisis poses direct risks to business continuity. Energy is the lifeblood of virtually every industry such as manufacturing, transportation, logistics, and even digital services rely on consistent energy availability. Fluctuating energy prices can wreak havoc on supply chains, increase production costs, and shrink profit margins. Beyond operational risks, companies that fail to act will face mounting reputational damage. Today’s investors, consumers, and regulators are increasingly holding businesses accountable for their environmental and social impacts. Companies that ignore sustainability and energy efficiency will likely face higher regulatory scrutiny, lose investor confidence, and fail to attract sustainability-conscious consumers. Moreover, forward-thinking organizations recognize that addressing the energy crisis offers not just risk mitigation, but also a significant business opportunity. Clean energy investments, circular business models, and technological innovations are opening new markets, creating jobs, and unlocking long-term growth potential. Integrating Renewable Energy Throughout this situation, one of the most effective ways for businesses to mitigate the energy crisis is by transitioning to renewable energy sources. Solar, wind, hydro, and geothermal power are not only abundant and increasingly cost-competitive but also aligned with global sustainability goals such as the UN Sustainable Development Goals (SDGs) and national commitments to the Paris Agreement. Large multinational corporations have already paved the way. Companies like Google, Apple, and IKEA have committed to renewable energy operations. These efforts reduce exposure to volatile fossil fuel markets, stabilize operational costs, and enhance brand reputation among environmentally conscious stakeholders. However, the responsibility does not lie solely with large enterprises. Small and medium-sized businesses (SMEs, or Indonesian UMKM) must also begin their transition, whether by installing solar panels, purchasing renewable energy certificates, or participating in collaborative renewable energy projects. Embracing Technology for Energy Efficiency Transitioning to renewable energy is only one part of the solution. Energy efficiency is equally vital in addressing the crisis. Fortunately, digital technology has made significant strides in enabling smarter, more efficient energy use across sectors. The adoption of  Internet of Things (IoT), artificial intelligence (AI), and big data analytics now allow businesses to monitor energy consumption in real-time, identify waste, and optimize operations for maximum efficiency. Additionally, businesses can explore circular economy practices, where waste from one process becomes input for another, reducing total energy demand across value chains. Combining energy efficiency with renewable energy not only cuts emissions but also delivers significant cost savings over time. ESG Reporting: Turning Responsibility into Advantage After all, the ESG reporting should not be left behind. Environmental, Social, and Governance (ESG) frameworks have evolved from being optional to essential for businesses that want to remain relevant in today’s economy. Energy use and emissions reduction are at the heart of the environmental pillar of ESG. Investors, especially institutional ones, are increasingly screening portfolios based on ESG performance. Transparent ESG reporting not only demonstrates responsibility but also strengthens a company’s access to capital, as sustainability-focused investors favor companies that show clear environmental stewardship. In markets like Europe, mandatory ESG disclosures are already standard, and similar trends are growing globally. Businesses that integrate energy transition strategies within their ESG frameworks will not only mitigate risks related to climate change but also capture the trust of customers, partners, and investors. If your business is ready to take proactive steps toward energy transition and sustainability leadership, Satuplatform is here to help. With environmental management solutions, expert guidance on ESG frameworks, and a commitment to driving measurable environmental impact, Satuplatform.com provides an all-in-one solution for responsible businesses. Visit satuplatform today and build your pathway toward a smarter, cleaner, and more resilient business future.! Similar Article The Next Era of Sustainable Business: Going from Circular to Regenerative Models In 2024, companies started to elevate sustainable business through more future-fit models. Global challenges, from resource scarcity to social and workplace welfare, now drive a shift from merely reducing harm to actively enhancing positive impact.This era also necessitates active improvement.  Moving beyond zero emission to achieving net-positive impact for the planet, communities, and economy …

1

BMKG: Fase Kritis Dunia, Apa yang Dapat Kita Lakukan?

Setiap hari, kita merasakan cuaca yang semakin sulit diprediksi. Pada pagi atau siang hari, cuaca sangat panas namun kemudian menjelang sore atau malam hari tiba-tiba bisa turun hujan. Di samping itu, bencana alam juga terus datang silih berganti. Mulai dari banjir, kekeringan, kebakaran hutan, sampai dengan gelombang panas ekstrem yang kini bukan lagi menjadi fenomena asing. Semua itu merupakan tanda bahwa dunia sudah memasuki fase kritis perubahan iklim. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) baru-baru ini memberikan penegasan bahwa krisis iklim kini bukan hanya sekedar isu global yang jauh dari kehidupan, namun telah menjadi ancaman nyata yang menyentuh berbagai aspek dalam kehidupan. Oleh sebab itu, akan sangat bijak apabila setiap dari kita menyadari apa tindakan yang dapat dilakukan dalam menghadapi situasi ini. Baca juga artikel lainnya : Pemanfaatan AI dalam Upaya Pelestarian Lingkungan Isu Lingkungan dan Fase Kritis Dunia Pada Peringatan Hari Meteorologi Dunia (HMD) ke 75 di bulan Maret 2025, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memberikan peringatan akan pentingnya pemahaman mendalam terkait pengaruh iklim dan cuaca terhadap kehidupan manusia. Pada Webinar Nasional yang bertajuk ‘Refleksi Banjir JABODETABEK: Strategi Tata Ruang dan Mitigasi Cuaca Ekstrem’, BMKG menyampaikan bahwa perubahan iklim telah mencapai tahap kritis. Berdasarkan data dari BMKG selama periode 2015 – 2024, bumi mengalami suhu terpanas dalam sejarah dengan tahun 2024 tercatat bahwa anomali suhu mencapai 1,55 derajat celcius di atas rata-rata pra industri. Hal ini berarti anomali suhu telah melampaui Paris Agreement, suatu kesepakatan dunia untuk menurunkan kenaikan suhu global agar tidak melebihi ambang 1,5 derajat Celcius Fakta yang Tak Terbantahkan Seiring dengan kenyataan bahwa anomali suhu sudah mencapai titik yang mengkhawatirkan, kondisi kritis ini juga dibuktikan oleh beberapa fakta lingkungan yang tengah terjadi. BMKG mengacu pada sejumlah indikator ilmiah yang menunjukkan bahwa planet ini tengah memasuki fase yang bisa disebut sebagai titik kritis iklim (climate tipping point). Beberapa indikator utama tersebut di antaranya adalah: Mitigasi Infrastruktur pada Fase Kritis Di tengah fase kritis seperti ini, maka penting untuk dapat melakukan pembangunan infrastruktur yang tangguh dan berkelanjutan. Dalam hal ini, Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan menekankan pentingnya pertimbangan aspek ketahanan iklim dan bencana. Sebab, pendekatan ini akan sangat penting dalam mendukung pembangunan nasional di era kritis seperti saat ini.   Di samping itu, Pemprov DKI Jakarta juga melihat bahwa infrastruktur memang merupakan hal yang penting dalam mitigasi bencana. Khususnya, pembangunan sistem peringatan dini berbasis teknologi, seperti BMKG Signature, juga menjadi infrastruktur yang dapat mendukung keselamatan di era kritis seperti saat ini. Teknologi semacam ini mempunyai berbagai keunggulan seperti dalam hal memberikan informasi cuaca secara akurat dan tepat waktu. Sehingga, nantinya dapat juga dirancang kebijakan tata ruang yang lebih adaptif. Tanggung Jawab Bersama di Fase Kritis Menghadapi kenyataan bahwa Indonesia kini berada dalam fase kritis perubahan iklim, penguatan kolaborasi lintas sektor menjadi kunci utama dalam menghadapi ancaman bencana yang semakin kompleks. Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menekankan bahwa pengalaman banjir besar yang melanda Jabodetabek pada Maret lalu merupakan contoh nyata perlunya sistem kebencanaan yang lebih kokoh dan terintegrasi.  Sistem ini mencakup tiga lapisan penting: BMKG sebagai penyedia informasi dini di hulu, kemudian diikuti oleh jajaran pemerintah daerah, BNPB, Badan SAR, TNI, Polri, media massa, hingga komunitas sebagai jembatan informasi, dan masyarakat sebagai pihak paling akhir yang menerima informasi dan bertindak. Namun, kekuatan mata rantai tersebut tidak akan maksimal jika dijalankan secara parsial. Semua elemen harus saling terhubung dan berkolaborasi sesuai perannya masing-masing agar pesan-pesan peringatan dini benar-benar sampai kepada masyarakat secara utuh dan tepat waktu. Sinergi antara lembaga pemerintah, media, komunitas lokal, dan masyarakat adalah langkah fundamental untuk meminimalisir risiko bencana yang bisa semakin sering terjadi. Lebih dari itu, perubahan iklim yang telah memasuki fase genting menuntut pendekatan yang lebih adaptif. Tidak cukup lagi mengandalkan cara-cara lama, diperlukan langkah-langkah inovatif dan konkret agar penanganan bencana menjadi lebih efektif. Seluruh upaya ini harus berorientasi pada satu tujuan besar: melindungi keselamatan masyarakat dan membangun ketahanan yang lebih tangguh di tengah ancaman perubahan iklim yang semakin nyata. Peran Khusus bagi Pelaku Industri Sektor industri, sebagai salah satu penyumbang terbesar emisi karbon dan penggunaan sumber daya alam, memegang peranan strategis dalam menentukan arah masa depan lingkungan. Oleh karena itu, dunia usaha diharapkan agar tidak sekadar berorientasi pada pertumbuhan keuntungan semata, melainkan juga harus menempatkan aspek keberlanjutan sebagai fondasi utama dalam setiap kebijakan dan operasional bisnisnya. Salah satu pendekatan yang kini menjadi standar global dalam praktik bisnis berkelanjutan adalah penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG). ESG adalah kerangka kerja yang dirancang untuk membantu perusahaan mengukur dan mengelola dampak mereka terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola perusahaan yang baik. Melalui penerapan ESG, perusahaan diharapkan tidak hanya berkontribusi dalam penurunan emisi karbon, tetapi juga turut menciptakan dampak sosial yang positif dan memperkuat transparansi tata kelola. Selain sebagai bentuk tanggung jawab moral, penerapan ESG juga memiliki nilai strategis secara bisnis. Semakin banyak investor global yang kini memprioritaskan perusahaan dengan kinerja ESG yang baik. Bahkan, sejumlah lembaga keuangan dan institusi multinasional telah memasukkan kriteria ESG sebagai syarat utama dalam penyaluran pendanaan. Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan lagi sekadar tren, melainkan telah menjadi standar baru dunia bisnis. Dengan kondisi dunia yang berada dalam fase kritis iklim, kontribusi aktif dari sektor industri melalui penerapan ESG bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Perusahaan yang mampu bertransformasi menjadi bagian dari solusi akan menjadi garda terdepan dalam menjaga keberlanjutan bumi, sekaligus memperkuat daya saing bisnis di tengah tantangan global yang semakin kompleks. Krisis iklim nyata terjadi, jangan tunggu sampai bencana berikutnya datang tanpa persiapan. Kini, Satuplatform.com hadir untuk membantu bisnis mengambil langkah konkret. Satuplatform  mendampingi perusahaan dalam merancang strategi keberlanjutan, mitigasi risiko iklim, dan penyusunan laporan yang kredibel sesuai standar global. Pelajari lebih lanjut layanan kami, disini! Similar Article The Next Era of Sustainable Business: Going from Circular to Regenerative Models In 2024, companies started to elevate sustainable business through more future-fit models. Global challenges, from resource scarcity to social and workplace welfare, now drive a shift from merely reducing harm to actively enhancing positive impact.This era also necessitates active improvement.  Moving beyond zero emission to achieving net-positive impact for the planet, communities, and economy is evident. …

2

Memahami Dampak Jejak Karbon Tersembunyi di Balik Jejak Air

Dalam upaya menerapkan strategi keberlanjutan, jejak karbon dan jejak air (water footprint) merupakan dua metrik penting untuk mengukur dampak ekologis. Keduanya terhubung erat dengan besarnya dampak jejak karbon dari siklus hidup air, dari sumber hingga pembuangan.  Memahami keduanya sangat penting untuk meninjau bagaimana pengelolaan serta penggunaan air mempengaruhi emisi gas rumah kaca. Baca juga artikel lainnya : Menekan Dampak Jejak Karbon: Panduan bagi Perusahaan di Indonesia Jejak Karbon dan Jejak Air: Dua Sisi yang Berkesinambungan Jejak karbon mengukur total emisi gas rumah kaca (GRK) hasil aktivitas individu, organisasi, atau produk dan umumnya dalam bentuk ekuivalen karbon dioksida.  Cakupannya meliputi emisi dari konsumsi energi, transportasi, dan berbagai proses produksi.  Di sisi lain, jejak air menawarkan pandangan komprehensif tentang seberapa banyak air tawar yang “diambil” oleh aktivitas manusia, termasuk jumlah air yang dikonsumsi dan/atau dicemari dalam setiap proses pembuatan barang dan jasa.  Pengukuran jejak air sangat spesifik, mulai dari air yang dibutuhkan untuk menanam beras hingga jejak air keseluruhan sebuah perusahaan atau negara. Dampaknya pengukuran signifikan, terutama jika air berasal dari wilayah yang mengalami krisis air.  Jejak air memiliki tiga komponen penting yang memberikan gambaran lengkap tentang penggunaan air yaitu: Perbedaan utama jejak karbon dan jejak air terletak pada dampaknya: jejak karbon berkontribusi pada pemanasan global, sementara jejak air mempengaruhi ketersediaan sumber daya air di tingkat lokal dan global. Untuk mengoptimalkan penerapan dan pencapaian upaya keberlanjutan, keduanya harus ditangani. Pemahaman mendalam tentang jejak air, termasuk penggunaan langsung maupun tidak langsung di sepanjang rantai pasok global, menunjukkan bagaimana konsumsi dan polusi air saling terkait dan berkaitan dengan dampak ekologis yang lebih besar. Profesor Arjen Y. Hoekstra, penggagas konsep jejak air, bahkan menyoroti bagaimana eratnya kaitan masalah air dengan struktur ekonomi global. Banyak negara tanpa sadar “mengimpor” jejak air dengan mengonsumsi produk padat air dari wilayah lain.  Dampak Jejak Karbon dari Pengelolaan Air  Penyediaan dan pengelolaan air bersih, mulai dari pemompaan, pengolahan, distribusi, hingga penanganan limbah, adalah proses yang sangat intensif energi dan menghasilkan emisi karbon besar dan berdampak pada lingkungan.   Studi kasus Wint AI menerangkan bahwa sekitar 13% dari seluruh listrik di Amerika Serikat dialokasikan untuk pengiriman dan pengolahan air bersih. Setiap meter kubik air yang dikonsumsi rata-rata menghasilkan antara 10.5 hingga 10.6 kilogram emisi karbon. Emisi gas rumah kaca dari sektor air dikelompokkan menjadi 3 kategori berikut.  1. Emisi Langsung (Scope 1) Berasal dari aktivitas di lokasi seperti pengolahan air limbah (menghasilkan metana dan dinitrogen oksida). 2. Emisi Tidak Langsung dari Energi (Scope 2) Hasil konsumsi listrik oleh fasilitas air dengan energi dari pembakaran bahan bakar fosil untuk menggerakkan mesin pengolahan dan memindahkan air ke seluruh jaringan. 3. Emisi Tidak Langsung Lainnya (Scope 3) Meliputi emisi dari energi yang digunakan rumah tangga dan bisnis untuk memanaskan atau mendinginkan air, terutama jika energi bersumber dari bahan bakar fosil.  Polusi Air sebagai Pemicu Emisi Gas Rumah Kaca  Selain konsumsi energi dalam siklus air, polusi air juga secara langsung memicu emisi gas rumah kaca, terutama metana dan CO2. Proses ini terjadi di perairan daratan dan estuari ketika akumulasi sedimen, nutrisi, dan bakteri menciptakan kondisi pelepasan GRK.  Saat air mengendap di dasar danau atau estuari, lingkungan menjadi miskin oksigen. Di sinilah bahan organik diurai oleh bakteri, menghasilkan metana (GRK yang 25x lebih kuat daripada CO2 saat dilepaskan ke atmosfer). Akar pemicu emisi ini biasanya bermula dari penggunaan lahan, praktik pertanian, pembangunan perkotaan, dan proyek waduk. Lingkungan terbangun, seperti permukaan beraspal dan infrastruktur air yang tidak memadai, memperparah erosi serta limpasan air, menumpuk sedimen hingga mempercepat pelepasan metana dan CO2. Kondisi-kondisi tersebut menunjukkan bahwa polusi sumber daya air berpotensi menjadi kontributor utama masalah iklim kita selain masalah emisi bahan bakar fosil.  Kerugian Ganda bagi Planet dari Pemborosan Air Pemborosan air juga merupakan pendorong signifikan dampak jejak karbon bagi lingkungan. Diperkirakan 25% air yang masuk ke bangunan dan fasilitas terbuang sia-sia akibat kebocoran, teknologi usang, atau kesalahan manusia dan meningkatkan kebutuhan energi yang terkait dengan air sehingga memperbesar emisi gas rumah kaca.  Tantangan Jejak Air Tidak Boleh Diabaikan Dampak ekologis dari jejak air adalah tantangan lingkungan yang multidimensional dan saling terkait, dan tidak bisa lagi diabaikan. Setiap aspek turut menyumbang pada krisis iklim global. Individu dan dunia bisnis patut menyadari potensi besar dalam mengelola air secara efisien demi membangun masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan.  Siap untuk mengurangi jejak karbon Anda? Jelajahi solusi ESG digital inovatif melalui FREE DEMO dari Satuplatform untuk efisiensi terukur dan sustainability yang nyata.   Similar Article The Next Era of Sustainable Business: Going from Circular to Regenerative Models In 2024, companies started to elevate sustainable business through more future-fit models. Global challenges, from resource scarcity to social and workplace welfare, now drive a shift from merely reducing harm to actively enhancing positive impact.This era also necessitates active improvement.  Moving beyond zero emission to achieving net-positive impact for the planet, communities, and economy is evident. Regenerative practice changed the focus of the circular economy for a more sustainable future, serving as a new fitting business model.   Read Another Article: How Indonesian Businesses Are Aligning with SDGs for A Sustainable Future What is Regenerative Business for Sustainable Business?  A regenerative… Sertifikasi Industri Hijau (SIH), Pilar Transformasi Bisnis Berkelanjutan di Indonesia Pemerintah Indonesia telah menegaskan komitmen untuk mencapai Net Zero Emission 2060 melalui transformasi ekonomi hijau. Tiga krisis planet, kerentanan pasokan bahan baku dan air akibat perubahan iklim, hingga kebijakan perlindungan karbon dari pasar global mendorong pengembangan kebijakan ini.  Kondisi ini juga memicu gangguan stabilitas produksi industri, meningkatkan permintaan pasar akan produk hijau dan kebutuhan terhadap bisnis berkelanjutan. Menjawab tantangan tersebut, Pemerintah Indonesia memberikan dukungan strategis berupa Sertifikasi Industri Hijau (SIH), sebuah panduan standarisasi yang esensial bagi bisnis untuk bertahan dan mengembangkan daya saing di masa mendatang. Baca Juga: Sustainable Business dan 5 Pelatihan Online  Standar dan Proses Sertifikasi Industri Hijau… Strategi Konservasi Air di Sektor Bisnis untuk Mengurangi Dampak Jejak Karbon Sadarkah Anda bahwa konservasi air dan manajemen air dapat membantu menekan biaya operasional sekaligus membawa perubahan signifikan pada dampak lingkungan perusahaan?  Setiap entitas bisnis memiliki jejak air, yaitu volume air tawar yang digunakan secara langsung maupun tidak langsung dalam operasionalnya. Tanpa disadari, …

1

Good Agricultural Practices (GAP): Fondasi Pertanian Modern yang Aman dan Berkelanjutan

GAP – Isu terkait ketahanan pangan kian menyita perhatian masyarakat global. Konsumen makin memperhatikan kualitas dan keamanan produk pertanian hingga praktik bertani yang lebih bertanggung jawab. Sebagai konsekuensinya, standar pertanian yang menyeluruh dinilai penting untuk era modern. Good Agricultural Practices (GAP) hadir sebagai rangkaian standar yang mendasar untuk memastikan produksi pangan yang aman dalam keseluruhan prosesnya, berkualitas tinggi, dan berkelanjutan. Penerapannya diharapkan membawa manfaat yang signifikan dari hulu ke hilir, bagi produsen, bisnis, konsumen dan tentunya lingkungan.  Baca juga artikel lainnya : Solusi Berkelanjutan Emisi Metana dalam Pertanian Apa yang Dimaksud dengan GAP? Good Agricultural Practices merupakan sekumpulan standar acuan, aturan, dan sistem untuk memastikan produksi tanaman dan hewan ternak yang aman dan berkelanjutan. Secara global standar mencakup seluruh proses pertanian, mulai dari pemilihan dan pengolahan lahan serta pengairan hingga pasca-panen dan distribusi  ini diverifikasi serta disertifikasi oleh pihak ketiga.   Sederhananya, sistem ini dapat diartikan sebagai upaya untuk melakukan praktik pertanian yang baik dan menjamin praktik tersebut telah diterapkan.   Tujuan utama sistem terverifikasi ini adalah mengurangi risiko kontaminasi mikroba, meningkatkan kualitas, keamanan, dan keberlanjutan produk pertanian. Implementasinya turut berkontribusi pada pembangunan nasional, memperbaiki kualitas hidup produsen dan ekonomi lokal. Di Indonesia, praktik ini sudah diterapkan semenjak tahun 2003 pada komoditas sayuran. Pada tahun 2022, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Komoditas Hortikultura Kementerian Pertanian meluncurkan pedoman terbaru dengan penerapan melalui Sekolah Lapang.  Empat Pilar Utama GAP  Pada berbagai proyek, FAO secara aktif mempromosikan prinsip-prinsip dasar Good Agricultural Practices dalam bentuk empat pilar utama yang perlu dipenuhi setiap produsen untuk memastikan kualitas produk yang tinggi.  1. Kelayakan Ekonomi (Economic Viability) Bertujuan menjaga keberlangsungan usaha tani dan berkontribusi pada mata pencaharian berkelanjutan, yaitu keuntungan dari pengelolaan lahan produktif.  2. Stabilitas Lingkungan (Environmental Stability) Mempertahankan dan meningkatkan basis sumber daya alam, termasuk pengelolaan limbah, penggunaan air dan energi yang efisien, serta kepatuhan terhadap regulasi perlindungan spesies.  3. Penerimaan Sosial (Social Acceptability) Memenuhi tuntutan budaya dan sosial masyarakat, meliputi perlindungan kesehatan dan keselamatan pekerja pertanian, serta pelatihan yang memadai.  4. Keamanan dan Kualitas Pangan (Food Safety and Quality) Memproduksi pangan yang cukup, aman, dan bergizi secara efisien, dengan fokus pada pengurangan risiko kontaminasi mulai dari lapangan.  Mengapa Pertanian Modern Membutuhkan Good Agricultural Practices (GAP) Kesadaran dan keinginan konsumen lokal maupun global untuk mengkonsumsi produk yang lebih berkualitas serta aman untuk kesehatan, lingkungan, kualitas hidup keseluruhan. Praktik ini juga dinilai esensial untuk mendorong praktik sustainability yang lebih optimal.   1. Bagi Petani dan Produsen Praktik pertanian dengan standar yang lebih menyeluruhan memaksimalkan hasil panen, mengoptimalkan produk dan menambah nilai jual sehingga dapat mengakses pasar baru dengan lebih mudah. Kondisi turut berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan pekerja dan keluarga petani, serta memberikan kontrol produksi dan potensi pendapatan lebih tinggi.  2. Bagi Konsumen Sistem Good Agricultural Practices diharapkan mampu memandu petani menghasilkan produk pangan secara aman dan diproduksi dengan lebih bertanggung jawab. Dengan begitu, kualitas dan nutrisi pangan yang sampai pada konsumen lebih baik  menjamin keamanan, kualitas, dan nutrisi pangan yang lebih baik.  3. Bagi Lingkungan Praktik pertanian yang terstandar dan terverifikasi ini membantu mencegah kontaminasi air dan tanah, mendorong pengelolaan agro-kimia rasional juga efisiensi air/energi, sehingga meminimalisasi dampak negatif bagi lingkungan dan mendukung konservasi keanekaragaman hayati.  4. Bagi Perusahaan (Klien B2B) dan Wholesaler GAP membantu mencegah penarikan produk (recall) yang merugikan produsen akibat kualitas yang kurang sesuai atau buruk dan secara otomatis membangun kepercayaan konsumen. Penerapannya turut menciptakan keunggulan kompetitif bagi produk dan  memungkinkan produsen mengembangkan kontrol produksi di rantai pasok.  5. Bagi Kesejahteraan Hewan Good Agricultural Practices menekankan pula pentingnya praktik perawatan hewan yang memadai, mulai dari lingkungan tumbuh hingga pemberian pakan yang sesuai. Praktik ini berpengaruh pada penyebaran dan kontrol penyakit yang akan berdampak pada hasil akhir produk.  Bagaimana GAP Diterapkan dan Disertifikasi? Penerapan Good Agricultural Practice secara mendasar melibatkan standar dan praktik di setiap langkah pertanian, dari pemilihan plot, pengujian kualitas air, manajemen hama yang proaktif, pencatatan penggunaan bahan kimia dan pupuk yang tercatat dan terstruktur, hingga sanitasi lapangan serta fasilitas dan peralatan pekerja.  Dalam implementasinya, produsen perlu memperhatikan elemen kunci seperti penilaian risiko, pencegahan masalah, komitmen keamanan pangan, dan pelatihan wajib karyawan. Meskipun bersifat sukarela, pemerintah Indonesia turut mengupayakan kegiatan sertifikasi GAP melalui Pangan Segar Asal Tumbuhan (PSAT), Prima 1-3, dan SNI IndoGAP dengan tahapan asesmen, permohonan sertifikasi, audit di lapangan, dan penerbitan sertifikat.  Investasi Bisnis untuk Keberlanjutan Good Agricultural Practices adalah fondasi esensial bagi pertanian modern dalam memastikan produk yang aman, berkualitas, dan diproduksi secara bertanggung jawab. Praktik ini juga merupakan investasi dalam keberlanjutan jangka panjang dan kesejahteraan semua pihak dalam rantai pasok. Di samping menerapkan GAP bagi bisnis, Anda juga dapat memanfaatkan solusi terintegrasi yang efisien untuk membantu bisnis mencapai tujuan keberlanjutan dan ESG, termasuk pengelolaan jejak karbon. Jadwalkan Demo Gratis dengan Satuplatform segera. Similar Article The Next Era of Sustainable Business: Going from Circular to Regenerative Models In 2024, companies started to elevate sustainable business through more future-fit models. Global challenges, from resource scarcity to social and workplace welfare, now drive a shift from merely reducing harm to actively enhancing positive impact.This era also necessitates active improvement.  Moving beyond zero emission to achieving net-positive impact for the planet, communities, and economy is evident. Regenerative practice changed the focus of the circular economy for a more sustainable future, serving as a new fitting business model.   Read Another Article: How Indonesian Businesses Are Aligning with SDGs for A Sustainable Future What is Regenerative Business for Sustainable Business?  A regenerative… Sertifikasi Industri Hijau (SIH), Pilar Transformasi Bisnis Berkelanjutan di Indonesia Pemerintah Indonesia telah menegaskan komitmen untuk mencapai Net Zero Emission 2060 melalui transformasi ekonomi hijau. Tiga krisis planet, kerentanan pasokan bahan baku dan air akibat perubahan iklim, hingga kebijakan perlindungan karbon dari pasar global mendorong pengembangan kebijakan ini.  Kondisi ini juga memicu gangguan stabilitas produksi industri, meningkatkan permintaan pasar akan produk hijau dan kebutuhan terhadap bisnis berkelanjutan. Menjawab tantangan tersebut, Pemerintah Indonesia memberikan dukungan strategis berupa Sertifikasi Industri Hijau (SIH), sebuah panduan standarisasi yang esensial bagi bisnis untuk bertahan dan mengembangkan daya saing di masa mendatang. Baca Juga: Sustainable Business dan 5 Pelatihan Online  Standar dan Proses Sertifikasi Industri Hijau… Strategi Konservasi Air di …

7

Low GHG Emission, High Impact: Everyday Materials That Could Reshape Green Manufacturing

The shift toward sustainable production practices has spurred growing interest in low-carbon materials that support greener industrial processes. Emerging  materials, like fungi-based building panels and plastics sourced from oceans, are less in GHG emission, being  no longer niche innovations materials but are stepping into real-world manufacturing pipelines.  Several materials types stand out and are gaining traction in sustainable manufacturing: mycelium-based composites, agricultural waste-derived biocomposites, and recycled ocean plastics. Other article: Mikroorganisme dan Perannya dalam Menyeimbangkan Daur Karbon Mycelium-Based Composites: Organic Growth with Industrial Potential Mycelium, the root structure of fungi, can be used as a natural binder to create lightweight, durable, and compostable materials. When grown with agro-industrial waste such as bamboo sawdust and corn pericarp, mycelium forms composites that are ideal for insulation, packaging, and interior building materials.  A 2024 study by Aiduang et al. found that different species of fungi could effectively convert biomass waste into green composites, offering a sustainable alternative to synthetic materials in interior construction and design. Not only are these materials biodegradable, but they also reduce waste streams by utilizing agricultural by-products, making them a circular and low-impact solution.  Their adoption in construction and product design could reduce reliance on carbon-intensive materials like plastics and foams. Beyond construction, experimental uses are emerging in fashion accessories, furniture design, and event booth architecture, showing how flexible this biomaterial could become in replacing harmful synthetics. Agricultural Waste-Based Biocomposites: Turning Trash into Industrial Treasure with Less GHG Emission Beyond fungi, another promising material innovation comes from agricultural waste. Biocomposites developed from residues such as rice husk, coconut shells, and sugarcane bagasse are being used to reinforce biodegradable polymer matrices. These composites find applications in packaging, automotive parts, and lightweight construction materials. This approach not only diverts waste from landfills but also cuts down the need for virgin raw materials, aligning with green manufacturing goals. With mechanical properties comparable to conventional materials, these biocomposites represent an important leap forward in combining sustainability with industrial performance. Their relatively low cost, especially in regions with abundant agricultural activity, makes them highly scalable. As the demand for green materials grows, companies can also take advantage of regional biomass availability to localize production, cut transport emissions, and support rural economic development through inclusive value chains. Recycled Ocean Plastics: Closing the Loop on Marine Waste Recycled plastics, particularly those retrieved from ocean and coastal waste, are becoming a hallmark of responsible manufacturing. Oceanworks, a global marketplace for ocean plastic solutions, connects businesses with verified sources of recycled ocean plastics. These plastics are reprocessed into pellets and resins that can be used for packaging, textiles, and even consumer electronics. The environmental impact of such practices is twofold: reducing plastic pollution in marine ecosystems and lowering the GHG emissions associated with virgin plastic production.. Building the Future with Smarter Materials The path to low GHG emission manufacturing isn’t just about cutting emissions. Instead, it’s about rethinking what materials we use and where they come from. Mycelium composites, agricultural waste biopolymers, and recycled ocean plastics demonstrate that sustainable materials can also be high-performing and commercially viable.  For businesses aiming to transition toward greener practices, adopting these materials offers not only environmental benefits but also a strategic edge in an increasingly eco-conscious market. About Satuplatform Satuplatform offers a holistic service with comprehensive features to achieve your sustainability goals by staying ahead of the game and supporting measurable climate management strategies. Satuplatform’s features enable companies to: Satuplatform’s team of experts are experienced in the field of business sustainability and are ready to help understand your needs and implement solutions Find more information through FREE DEMO and get ready to make a more optimal contribution in decarbonization.  Similar Article Low GHG Emission, High Impact: Everyday Materials That Could Reshape Green Manufacturing The shift toward sustainable production practices has spurred growing interest in low-carbon materials that support greener industrial processes. Emerging  materials, like fungi-based building panels and plastics sourced from oceans, are less in GHG emission, being  no longer niche innovations materials but are stepping into real-world manufacturing pipelines.  Several materials types stand out and are gaining traction in sustainable manufacturing: mycelium-based composites, agricultural waste-derived biocomposites, and recycled ocean plastics. Other article: Mikroorganisme dan Perannya dalam Menyeimbangkan Daur Karbon Mycelium-Based Composites: Organic Growth with Industrial Potential Mycelium, the root structure of fungi, can be used as a natural binder to create lightweight,… Does “Eco-friendly” Labels Mean Green Product in Green Industry? Businesses and consumers alike are navigating a flood of products claiming to be “eco-friendly” or “green.” These labels, often used interchangeably, are not always clear in what they truly represent. In most cases, it reflects that the brand practices a sustainability effort or is part of the green industry. Understanding the distinction is crucial, especially for businesses aiming to align with genuine sustainability efforts and avoid unintentional greenwashing. Read Other article : The Future of Eco-Conscious Consumerism and What It Means for Your Business Defining “Eco-Friendly” and “Green” The term “eco-friendly” typically describes products or practices that do not cause… Dilema Biomassa: Transisi Energi Berkelanjutan atau Perusakan Lingkungan? Dalam upaya mencapai target net-zero emission pada 2060, Indonesia mendorong transisi energi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan. Salah satu solusi yang diandalkan adalah biomassa, energi yang berasal dari bahan organik seperti limbah pertanian, kayu, dan sampah organik. Namun, di balik potensi besar ini, muncul kekhawatiran serius terkait dampak lingkungan yang ditimbulkan. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi biomassa di Indonesia diperkirakan mencapai 146 juta ton per tahun, yang dapat menghasilkan energi setara dengan 56,97 gigawatt (GW).  Baca Juga: Jenis Energi Biomassa yang Lebih Ramah Lingkungan: Solusi dari Limbah, Bukan dari Hutan Pemanfaatan Biomassa dalam… Energi Terbarukan di Indonesia: Mengapa Surya dan Hidro Menjadi Pilihan Utama? Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan energinya. Di tengah komitmen untuk mencapai net zero emission pada 2060, transisi ke energi terbarukan menjadi kunci penting. Di antara berbagai sumber energi terbarukan yang tersedia, energi surya (solar) dan energi air (hidro) kini menjadi pilihan utama …

7

Does “Eco-friendly” Labels Mean Green Product in Green Industry?

Businesses and consumers alike are navigating a flood of products claiming to be “eco-friendly” or “green.” These labels, often used interchangeably, are not always clear in what they truly represent. In most cases, it reflects that the brand practices a sustainability effort or is part of the green industry. Understanding the distinction is crucial, especially for businesses aiming to align with genuine sustainability efforts and avoid unintentional greenwashing. Read Other article : The Future of Eco-Conscious Consumerism and What It Means for Your Business Defining “Eco-Friendly” and “Green” The term “eco-friendly” typically describes products or practices that do not cause harm to the environment. This may include using recycled materials, minimizing waste, or reducing pollution during manufacturing.  On the other hand, “green” is a broader concept that relates to holistic environmental responsibility, which covers everything from ethical sourcing and energy use to waste management and carbon reduction strategies. Thus, a product may be labeled as “eco-friendly” because of its material or packaging, while the company that makes it may not adopt broader green practices. This distinction matters because it separates isolated product features from comprehensive environmental strategies. The Scope and Implications of Each Term While “eco-friendly” often refers to individual products, their ingredients, or limited production impacts, “green” implies alignment with a larger movement toward sustainability.  Green practices can include circular economy strategies, renewable energy adoption, and long-term climate impact reduction as the principles of the green industry framework.  In contrast, eco-friendly labeling might simply point to a biodegradable component or non-toxic ingredient, without accounting for upstream or downstream environmental effects . For example, a single-use compostable item may be labeled eco-friendly, but without proper end-of-life systems (e.g., composting infrastructure), its net benefit could be negligible. Both businesses and consumers must understand the utilization of these terms to avoid confusion. For businesses, it’s part of a corporate responsibility effort as it impacts their brand reputation.  The Risk of Misleading Labels The blurred lines between “green” and “eco-friendly” labels can open the door to greenwashing. Many companies use these terms for marketing purposes without fully meeting the environmental standards they imply. This creates confusion and may certainly mislead well-intentioned consumers or business clients into supporting unsustainable choices. Cco-friendly claims should avoid vague or general language. Without specific metrics or verified sustainability performance, these claims become difficult to trust. Even common packaging terms like “recyclable” or “natural” can be ambiguous if not backed by transparent information. The Importance of Third-Party Certifications for Green Industry One of the most effective ways to verify whether a product or practice is truly eco-friendly or green is through third-party certification. These certifications evaluate whether environmental claims meet established standards. For example, certifications related to biodegradability, carbon neutrality, or sustainable sourcing are granted by accredited organizations and provide greater transparency. In Indonesia, 17 industries are now required to get SIH (Sertifikasi Industri Hijau/Green Industry Certification). As for European countries, the EU Parliament had already put a proposal for a directive on green claims. Businesses, especially those targeting environmentally conscious clients, should prioritize verified labels over self-declared eco claims. This not only enhances credibility but also contributes to more informed purchasing and policy decisions. Consciousness about the Foundational Sustainability Implementation is Necessary In conclusion, not all eco-friendly products are truly “green,” and not all green practices are easy to identify at the product level. Businesses and consumers can avoid misleading claims and contribute more meaningfully to sustainability goals by first building honest awareness of these concepts, which have long-term implications for the future of the green industry, both at the regulatory and consumer levels.  About Satuplatform Satuplatform provides end-to-end solutions for corporate sustainability strategies, including aspects of climate technology. From planning and implementation to monitoring and reporting, Satuplatform empowers businesses to achieve their ESG goals efficiently and effectively.  Interested in enhancing your sustainability strategy? Schedule a complimentary FREE DEMO with Satuplatform immediately.   Similar Article Low GHG Emission, High Impact: Everyday Materials That Could Reshape Green Manufacturing The shift toward sustainable production practices has spurred growing interest in low-carbon materials that support greener industrial processes. Emerging  materials, like fungi-based building panels and plastics sourced from oceans, are less in GHG emission, being  no longer niche innovations materials but are stepping into real-world manufacturing pipelines.  Several materials types stand out and are gaining traction in sustainable manufacturing: mycelium-based composites, agricultural waste-derived biocomposites, and recycled ocean plastics. Other article: Mikroorganisme dan Perannya dalam Menyeimbangkan Daur Karbon Mycelium-Based Composites: Organic Growth with Industrial Potential Mycelium, the root structure of fungi, can be used as a natural binder to create lightweight,… Does “Eco-friendly” Labels Mean Green Product in Green Industry? Businesses and consumers alike are navigating a flood of products claiming to be “eco-friendly” or “green.” These labels, often used interchangeably, are not always clear in what they truly represent. In most cases, it reflects that the brand practices a sustainability effort or is part of the green industry. Understanding the distinction is crucial, especially for businesses aiming to align with genuine sustainability efforts and avoid unintentional greenwashing. Read Other article : The Future of Eco-Conscious Consumerism and What It Means for Your Business Defining “Eco-Friendly” and “Green” The term “eco-friendly” typically describes products or practices that do not cause… Dilema Biomassa: Transisi Energi Berkelanjutan atau Perusakan Lingkungan? Dalam upaya mencapai target net-zero emission pada 2060, Indonesia mendorong transisi energi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan. Salah satu solusi yang diandalkan adalah biomassa, energi yang berasal dari bahan organik seperti limbah pertanian, kayu, dan sampah organik. Namun, di balik potensi besar ini, muncul kekhawatiran serius terkait dampak lingkungan yang ditimbulkan. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi biomassa di Indonesia diperkirakan mencapai 146 juta ton per tahun, yang dapat menghasilkan energi setara dengan 56,97 gigawatt (GW).  Baca Juga: Jenis Energi Biomassa yang Lebih Ramah Lingkungan: Solusi dari Limbah, Bukan dari Hutan Pemanfaatan Biomassa dalam… Energi Terbarukan di Indonesia: Mengapa Surya dan Hidro Menjadi Pilihan Utama? Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi …

biomassa

Dilema Biomassa: Transisi Energi Berkelanjutan atau Perusakan Lingkungan?

Dalam upaya mencapai target net-zero emission pada 2060, Indonesia mendorong transisi energi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan. Salah satu solusi yang diandalkan adalah biomassa, energi yang berasal dari bahan organik seperti limbah pertanian, kayu, dan sampah organik. Namun, di balik potensi besar ini, muncul kekhawatiran serius terkait dampak lingkungan yang ditimbulkan. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi biomassa di Indonesia diperkirakan mencapai 146 juta ton per tahun, yang dapat menghasilkan energi setara dengan 56,97 gigawatt (GW).  Baca Juga: Jenis Energi Biomassa yang Lebih Ramah Lingkungan: Solusi dari Limbah, Bukan dari Hutan Pemanfaatan Biomassa dalam Mengurangi Emisi Karbon Pemanfaatan biomassa, seperti limbah pertanian, kayu, atau produk samping industri, tidak hanya membantu mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil tetapi juga mendorong perekonomian masyarakat.  Selain itu, penggunaan biomassa dapat mengurangi emisi karbon dibandingkan dengan bahan bakar fosil, serta memanfaatkan limbah organik yang sebelumnya tidak termanfaatkan. ​ Permintaan Biomassa vs Deforestasi Namun, peningkatan permintaan biomassa, terutama untuk co-firing di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), menimbulkan kekhawatiran akan deforestasi. Program co-firing biomassa di PLTU berpotensi memicu deforestasi hingga 1 juta hektar, terutama jika pasokan biomassa berasal dari hutan tanaman energi (HTE) yang menggantikan hutan alam. ​ Lebih lanjut, laporan Associated Press mengungkapkan bahwa hutan-hutan Indonesia ditebang untuk memenuhi permintaan biomassa dari negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan.  Sejak 2021, sebagian besar biomassa dari hutan yang dihancurkan untuk produksi pelet kayu telah dikirim ke kedua negara tersebut, yang telah memberikan dukungan finansial untuk pengembangan biomassa di Indonesia. Para ahli dan pemerhati lingkungan khawatir bahwa permintaan biomassa yang meningkat, ditambah dengan regulasi domestik yang lemah, akan mempercepat deforestasi dan memperpanjang penggunaan bahan bakar fosil yang sangat mencemari. Meskipun biomassa dianggap sebagai energi terbarukan, pembakaran biomassa menghasilkan tingkat emisi CO₂ yang serupa dengan batu bara. Faktor utama dalam jejak ekologisnya adalah sumber biomassa tersebut.  Biomassa Untuk Solusi Energi Berkelanjutan Jika biomassa berasal dari limbah organik atau residu pertanian, dampak lingkungannya lebih rendah. Namun, jika berasal dari penebangan hutan alam, maka manfaat pengurangan emisi menjadi dipertanyakan.​ Agar biomassa benar-benar menjadi solusi energi berkelanjutan, diperlukan kebijakan dan regulasi yang ketat untuk memastikan:​ Pemanfaatan limbah organik dan residu pertanian sebagai sumber utama biomassa.​ Pengawasan ketat terhadap konversi hutan alam menjadi hutan tanaman energi. Transparansi dalam rantai pasok biomassa, termasuk asal-usul bahan baku.​ Evaluasi menyeluruh terhadap dampak lingkungan dari proyek-proyek biomassa.​ Dengan pendekatan yang hati-hati dan berkelanjutan, biomassa dapat menjadi bagian dari solusi transisi energi Indonesia tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan.​ Tentang Satuplatform Satuplatform merupakan platform all-in-one yang menyediakan solusi komprehensif untuk ESG management, carbon accounting, dan sustainability reporting. Kami dapat membantu Anda mencapai tujuan keberlanjutan dengan menjadi yang terdepan sesuai regulasi yang berlaku.  Dengan fitur-fitur Satuplatform, Anda dapat: Mengumpulkan dan menganalisis data ESG secara akurat dan efisien Menghitung & mengelola  emisi karbon dan menetapkan target pengurangan emisi Menyusun laporan ESG yang memenuhi standar internasional dan nasional Satuplatform juga didukung oleh tim ahli yang berpengalaman di bidang keberlanjutan bisnis. Tim ahli kami akan membantu memahami kebutuhan Anda dan mengimplementasikan solusi yang tepat. Hubungi Satuplatform dan dapatkan FREE DEMO sekarang!  Wujudkan bisnis yang berkelanjutan, berdaya saing, dan bertanggung jawab bersama Satuplatform.  Similar Article Dilema Biomassa: Transisi Energi Berkelanjutan atau Perusakan Lingkungan? Dalam upaya mencapai target net-zero emission pada 2060, Indonesia mendorong transisi energi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan. Salah satu solusi yang diandalkan adalah biomassa, energi yang berasal dari bahan organik seperti limbah pertanian, kayu, dan sampah organik. Namun, di balik potensi besar ini, muncul kekhawatiran serius terkait dampak lingkungan yang ditimbulkan. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi biomassa di Indonesia diperkirakan mencapai 146 juta ton per tahun, yang dapat menghasilkan energi setara dengan 56,97 gigawatt (GW).  Baca Juga: Jenis Energi Biomassa yang Lebih Ramah Lingkungan: Solusi dari Limbah, Bukan dari Hutan Pemanfaatan Biomassa dalam… Energi Terbarukan di Indonesia: Mengapa Surya dan Hidro Menjadi Pilihan Utama? Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan energinya. Di tengah komitmen untuk mencapai net zero emission pada 2060, transisi ke energi terbarukan menjadi kunci penting. Di antara berbagai sumber energi terbarukan yang tersedia, energi surya (solar) dan energi air (hidro) kini menjadi pilihan utama pemerintah dan sektor swasta. Mengapa kedua sumber ini yang paling diprioritaskan? Baca Juga: Energi Terbarukan untuk Atasi Krisis Bahan Bakar Fosil Potensi Energi Terbarukan Surya di Indonesia Indonesia, yang terletak di garis khatulistiwa, memiliki potensi energi surya yang luar biasa. Menurut data Kementerian ESDM (2024), potensi teknis energi surya nasional… Emisi Karbon Penerbangan Meningkat: Tantangan Baru bagi Industri Aviasi Emisi Karbon Sektor Penerbangan Setelah mengalami penurunan drastis selama pandemi COVID-19, industri penerbangan global kini menunjukkan pemulihan yang signifikan. Namun, kebangkitan ini disertai dengan lonjakan emisi karbon penerbangan yang mengkhawatirkan, menimbulkan tantangan baru dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. Data terbaru menunjukkan bahwa pada tahun 2024, aktivitas penerbangan di 78 negara menghasilkan emisi CO₂ lebih tinggi dibandingkan kondisi pada 2019. Secara global, emisi karbon dioksida dari sektor penerbangan mencapai 915 juta ton pada 2019, dan angka ini diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2050 jika tidak ada intervensi signifikan. Di Indonesia, sektor transportasi menyumbang sekitar 27% dari total… Adaptasi Bisnis di Era Krisis Energi Pasokan bahan bakar menjadi semakin terbatas, dengan harga yang melambung tinggi, merupakan salah satu bukti bahwa dunia sedang mengalami krisis energi. Kondisi krisis energi yang saat ini tengah melanda berbagai belahan dunia bukan hanya berdampak pada sektor energi itu sendiri, tetapi juga memberikan tekanan besar terhadap keberlanjutan operasional dunia usaha.  Baca juga artikel lainnya : Masa Depan Bisnis Adalah Bertanggung Jawab, Benarkah? Ketergantungan pada bahan bakar fosil, fluktuasi harga energi, hingga ketidakpastian geopolitik membuat banyak perusahaan menghadapi tantangan serius dalam menjaga efisiensi biaya dan stabilitas pasokan. Untuk itu, adaptasi strategis menjadi suatu keharusan, terutama dalam konteks transisi menuju ekonomi rendah… The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry In an era when sustainability has become a defining trend across industries, the beauty sector does not want to be left-behind. From biodegradable packaging to cruelty-free testing and vegan formulas, brands are racing to meet the growing consumer demand for environmentally responsible products. However, …