4

Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global

Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya terhadap jejak karbon global sangat besar.  Scientific American menyebutkan bahwa militer global bertanggung jawab atas sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Jika dianggap sebagai entitas negara, angka tersebut menempati posisi keempat terbesar di dunia Baca Juga: Menekan Dampak Jejak Karbon: Panduan bagi Perusahaan di Indonesia Sumber Emisi Langsung dan Tidak Langsung sebagai Kontributor Jejak Karbon dalam Konflik Bersenjata Konflik bersenjata menghasilkan emisi karbon melalui berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung: 1. Operasi Militer Langsung Mencakup pembakaran bahan bakar jet dan diesel oleh pesawat, tank, serta kapal perang,produksi senjata, amunisi, dan peralatan militer, serta pembangunan benteng dan instalasi militer yang berkontribusi besar terhadap emisi. 2. Perusakan Infrastruktur dan Kebakaran Kebakaran besar dan tumpahan minyak akibat serangan ke infrastruktur utama melepaskan GRK. Perusakan bangunan dan kota juga menghasilkan puing yang penanganannya padat energi, sementara kebakaran vegetasi, baik disengaja maupun tidak, turut membebaskan karbon yang tersimpan 3. Perubahan Penggunaan Lahan Penghancuran vegetasi seperti hutan atau lahan pertanian untuk tujuan militer atau akibat konflik, mengakibatkan pelepasan karbon yang terperangkap dalam biomassa dan tanah. 4. Dampak Krisis Kemanusiaan Logistik pengiriman bantuan kemanusiaan membutuhkan konsumsi bahan bakar yang tinggi. Selain itu, dampak lingkungan dari kamp-kamp pengungsi, seperti Deforestasi di area sekitarnya, juga menambah jejak karbon. Emisi Terkunci dan Dampak Pasca-Konflik yang Berkelanjutan Emisi karbon dapat menjadi “terkunci” dalam situasi konflik yang berkepanjangan dan bahkan setelah konflik mereda. 1. Teknologi Usang dan Infrastruktur Rusak Konflik menghambat investasi dan pemeliharaan, menyebabkan terus digunakannya teknologi lama yang lebih berpolusi. Infrastruktur vital yang tidak terawat, seperti sistem pengelolaan limbah dan air, juga melepaskan emisi tambahan . 2. Dampak Rekonstruksi Upaya pembangunan kembali pasca-konflik, terutama kota-kota yang hancur, sangat padat energi dan bahan. Estimasi menunjukkan bahwa rekonstruksi Gaza dan Ukraina akan menghasilkan puluhan hingga ratusan juta ton emisi karbon, dengan produksi bahan seperti semen menjadi kontributor utama jejak karbon yang besar. 3. Perubahan Penggunaan Lahan Pasca-Konflik Peningkatan deforestasi akibat pemulihan ekonomi atau relokasi populasi, terutama di wilayah dengan tata kelola yang lemah. 4. Sisa Perang Proses pembersihan ranjau dan sisa-sisa perang lainnya juga merupakan proses yang padat energi dan berkontribusi pada emisi selama beberapa dekade. Tantangan dalam Pengukuran dan Akuntabilitas Emisi Militer Mengukur dan melaporkan emisi militer menghadapi hambatan signifikan berikut ini. 1. Minimnya Transparansi dan Data Sektor militer cenderung tertutup, membuat data sulit diakses. Hanya segelintir negara yang secara sukarela melaporkan emisi ini. 2. Kerangka Pelaporan yang Lemah Perjanjian iklim internasional tidak mewajibkan pelaporan emisi militer secara eksplisit, menjadikannya opsional. 3. Pengukuran yang Rumit  Metodologi yang ada seringkali tidak mencakup emisi dari rantai pasokan militer, industri senjata, atau dampak tidak langsung dari konflik. Terdapat kebutuhan untuk kategori perhitungan yang lebih komprehensif seperti “Scope 3 Plus”. 4. Akuntabilitas Hingga kini, belum ada mekanisme internasional yang jelas untuk meminta pertanggungjawaban atas kerusakan iklim yang diakibatkan oleh perang. Pentingnya Kondisi Ini bagi Bisnis dan Agenda Iklim Global Memahami emisi dari perang dan militer sebagai kontributor jejak karbon global sangat relevan bagi perusahaan dan agenda iklim secara luas. 1. Integritas Tujuan Iklim Global Target iklim global tidak dapat dicapai secara efektif tanpa menghitung dan mengatasi seluruh sumber emisi, termasuk dari militer dan konflik sehingga perusahaan yang sungguh berkomitmen pada keberlanjutan perlu berkontribusi. 2. Manajemen Risiko Bisnis Ketidakstabilan global yang diakibatkan oleh konflik bersenjata dan dampak lingkungannya memengaruhi rantai pasokan, pasar energi, dan prioritas investasi. Mengidentifikasi dan mengelola risiko-risiko ini menjadi penting bagi strategi bisnis yang tangguh. 3. Transparansi dan Tanggung Jawab  Terdapat desakan yang berkembang dari masyarakat sipil dan ilmuwan untuk transparansi dan akuntabilitas yang lebih besar terkait emisi militer. Dunia usaha yang berinvestasi pada keberlanjutan perlu menyadari lanskap yang berubah ini. 4. Peluang Investasi Hijau Konflik menciptakan peluang untuk transisi yang lebih berkelanjutan dalam produksi energi, penggunaan lahan, dan pembangunan urban pasca-konflik. Sektor swasta memiliki peran potensial dalam mendukung inisiatif pembangunan kembali dengan pendekatan ramah lingkungan tersebut. Menghadapi Realitas Perang sebagai Kontributor Jejak Karbon  Kesadaran mendalam dan pengukuran yang lebih baik terhadap dampak  kontributor jejak karbon global  ini sangat penting untuk mencapai target iklim global dan membangun masa depan yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan. Untuk memahami dan mengelola jejak karbon organisasi Anda secara komprehensif, termasuk yang terkait dengan faktor-faktor global yang kompleks, jadwalkan demo gratis dengan pakar Satuplatform melalui situs web utama kami hari ini.   Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya terhadap jejak karbon global sangat besar.  Scientific American menyebutkan bahwa militer global bertanggung jawab atas sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Jika dianggap sebagai entitas negara, angka tersebut menempati posisi keempat terbesar di dunia Baca Juga: Menekan Dampak Jejak Karbon: Panduan bagi Perusahaan di Indonesia Sumber Emisi Langsung dan Tidak Langsung dalam Konflik Bersenjata Konflik bersenjata menghasilkan emisi karbon melalui berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung:… Why Product Lifespan Is the Next Frontier for Sustainable Business Embracing product longevity and extending product lifespan emerges as a current and indispensable strategic priority for cultivating sustainable business growth and securing a responsible future for modern enterprises. Longer product life span represents a fundamental shift in how businesses approach sustainability, moving decisively from a conventional linear consumption model (single use) to a circular one.  This strategy is vital for minimizing environmental strain, preserving valuable inputs, and fostering both innovation and financial viability within organizations.  Related Article: The Next Era of Sustainable Business: Going from Circular to Regenerative Model How Product Longevity Becomes a Core Strategic Shift in the Circular… Green Building sebagai Cara Mengurangi Jejak Karbon, Ini yang Perlu Dilakukan! Di tengah isu perubahan iklim yang semakin mendesak, bisnis dan masyarakat global mulai sadar pentingnya pembangunan yang lebih ramah lingkungan. Salah satu langkah konkret yang semakin banyak diadopsi adalah konsep green building atau bangunan hijau. Tidak hanya menghemat …

1

Why Product Lifespan Is the Next Frontier for Sustainable Business

Embracing product longevity and extending product lifespan emerges as a current and indispensable strategic priority for cultivating sustainable business growth and securing a responsible future for modern enterprises. Longer product life span represents a fundamental shift in how businesses approach sustainability, moving decisively from a conventional linear consumption model (single use) to a circular one.  This strategy is vital for minimizing environmental strain, preserving valuable inputs, and fostering both innovation and financial viability within organizations.  Related Article: The Next Era of Sustainable Business: Going from Circular to Regenerative Model How Product Longevity Becomes a Core Strategic Shift in the Circular Economy (Sustainable Business) Product Longevity signifies a product’s extended usable life, defined by its durability, effectiveness, and continued repairability over time. This concept positions itself as a direct strategic lever for businesses operating within a Circular Economy.  It shifts companies beyond merely selling new items to actively retaining the embedded value in existing ones, fundamentally transforming how resources flow and enabling systemic business resilience.  This strategic choice compels businesses to compete on the basis of long-term value delivery and resource efficiency, rather than perpetuating continuous material extraction and disposal. It fosters a paradigm where value is maximized through extended use and comprehensive recovery throughout the product lifecycle. Sustainable Business Practical Strategies for Extending Product Lifespans  Maximizing product longevity requires integrating sustainability across the entire product lifecycle through the three steps below.  1. Design for Durability & Circularity Applying eco-design principles like biomimicry (emulating nature), the cradle-to-cradle philosophy (ensuring infinite recyclability), and systems thinking (considering broad ecosystem impact).  In material selection, prioritize recycled, renewable, bio-based, and low-impact resources, with local sourcing also reducing environmental footprints. Designing products with modular, easy-to-replace components also further enhances their lifespan  2. Use Phase & Maintenance Businesses can offer accessible maintenance and repair services, including spare parts, repair guides, and service centers. Encouraging consumer mindset shifts through education and incentives (like warranties or trade-ins) promotes valuing quality over quantity. Furthermore, fostering intense and shared product use through models like bike sharing optimizes resource utilization. 3. End-of-Life Management Refurbishment and remanufacturing restore used products to a like-new state, creating valuable secondary markets. Implementing product take-back and recycling programs enables the reclaiming of materials, encouraging consumer participation. Reverse logistics streamlines the handling of returns, repairs, and end-of-life collection, maximizing resource recovery. Recognizing Challenges in Embracing Product Longevity (Sustainable Business) Implementing product longevity strategies for sustainable business comes with specific challenges in diverse aspects, tied to circular business models. 1. Consumer Culture of Convenience A prevalent preference for cheap, disposable products often requires strategic shifts in consumer education and effective incentives to promote durability. 2. Technological Obsolescence Rapid advancements, particularly in electronics, can quickly render products outdated. Mitigating this involves designing for modularity and providing consistent software updates. 3. Supply Chain Complexity Circular practices demand robust management for reverse logistics, refurbishment, and recycling. Collaboration across the supply chain and leveraging technologies like blockchain are critical enablers 4. Data Scarcity & Measurement Nuances Limited data on actual product lifespans and the complexities of measuring multi-dimensional sustainability impacts (environmental, social, economic) pose hurdles for accurately quantifying success.   Such measurement often requires methodologies like Lifecycle Assessment (LCA), which analyzes impacts from raw material extraction to end-of-life, alongside other vital metrics like material footprint, waste generation, and repair rates. Considering Product Lifespan for Circular Consumption Practice (Sustainable Business) Product longevity is a powerful strategic choice for businesses, propelling them towards greater sustainability and seamless circular economy integration. By reducing resource consumption and waste, companies may unlock new revenue streams through innovative models like remanufacturing and build supply chain resilience, which secures competitive advantage and future-proof operations. Accelerate your sustainable business contribution to the circular economy using an integrated digital solution for carbon management from Satuplatform. Schedule a free demo via our main website today.    Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya terhadap jejak karbon global sangat besar.  Scientific American menyebutkan bahwa militer global bertanggung jawab atas sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Jika dianggap sebagai entitas negara, angka tersebut menempati posisi keempat terbesar di dunia Baca Juga: Menekan Dampak Jejak Karbon: Panduan bagi Perusahaan di Indonesia Sumber Emisi Langsung dan Tidak Langsung dalam Konflik Bersenjata Konflik bersenjata menghasilkan emisi karbon melalui berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung:… Why Product Lifespan Is the Next Frontier for Sustainable Business Embracing product longevity and extending product lifespan emerges as a current and indispensable strategic priority for cultivating sustainable business growth and securing a responsible future for modern enterprises. Longer product life span represents a fundamental shift in how businesses approach sustainability, moving decisively from a conventional linear consumption model (single use) to a circular one.  This strategy is vital for minimizing environmental strain, preserving valuable inputs, and fostering both innovation and financial viability within organizations.  Related Article: The Next Era of Sustainable Business: Going from Circular to Regenerative Model How Product Longevity Becomes a Core Strategic Shift in the Circular… Green Building sebagai Cara Mengurangi Jejak Karbon, Ini yang Perlu Dilakukan! Di tengah isu perubahan iklim yang semakin mendesak, bisnis dan masyarakat global mulai sadar pentingnya pembangunan yang lebih ramah lingkungan. Salah satu langkah konkret yang semakin banyak diadopsi adalah konsep green building atau bangunan hijau. Tidak hanya menghemat energi, konsep ini juga menjadi cara efektif untuk menurunkan jejak karbon dan mendukung keberlanjutan jangka panjang. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang peran green building dalam pengurangan emisi karbon serta langkah-langkah penting yang bisa dilakukan. Apa Itu Green Building? Baca juga artikel lainnya : Green Building: Pengertian, Konsep, Kriteria, dan Manfaat  Green building adalah konsep bangunan yang dirancang, dibangun, dioperasikan, dan… Unveiling the Environmental Impact of Children’s Toys Industry The global toy industry plays a significant role in early childhood development, creativity, and education. Toys bring joy, imagination, and learning into a child’s life. From soft …

1

Green Building sebagai Cara Mengurangi Jejak Karbon, Ini yang Perlu Dilakukan!

Di tengah isu perubahan iklim yang semakin mendesak, bisnis dan masyarakat global mulai sadar pentingnya pembangunan yang lebih ramah lingkungan. Salah satu langkah konkret yang semakin banyak diadopsi adalah konsep green building atau bangunan hijau. Tidak hanya menghemat energi, konsep ini juga menjadi cara efektif untuk menurunkan jejak karbon dan mendukung keberlanjutan jangka panjang. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang peran green building dalam pengurangan emisi karbon serta langkah-langkah penting yang bisa dilakukan. Apa Itu Green Building? Baca juga artikel lainnya : Green Building: Pengertian, Konsep, Kriteria, dan Manfaat  Green building adalah konsep bangunan yang dirancang, dibangun, dioperasikan, dan dirawat dengan mempertimbangkan efisiensi sumber daya, kesehatan penghuni, dan dampak lingkungan. Tujuannya adalah meminimalkan penggunaan energi, air, dan material serta mengurangi polusi dan limbah selama siklus hidup bangunan tersebut. Konsep Green Building menjadi penting karena sektor bangunan menyumbang emisi karbon yang sangat besar. Di banyak negara, termasuk Indonesia, bangunan menyumbang lebih dari 30% konsumsi energi dan emisi karbon secara keseluruhan. Dengan menerapkan prinsip green building, kita bisa menekan angka ini secara signifikan. Tidak hanya berdampak positif bagi lingkungan, green building juga membawa manfaat ekonomi. Misalnya, pengurangan biaya operasional, nilai jual bangunan yang lebih tinggi, dan kenyamanan serta produktivitas penghuni yang meningkat. Secara Bertahap Terapkan Green Building Menerapkan konsep green building bukan berarti harus membongkar dan membangun ulang dari nol. Banyak langkah yang bisa dilakukan secara bertahap, bahkan untuk bangunan yang sudah berdiri. Berikut beberapa cara penting yang bisa diterapkan secara bertahap: Desain adalah tahap paling awal dan paling krusial. Dengan merancang bangunan yang memaksimalkan pencahayaan alami, sirkulasi udara, dan orientasi terhadap matahari, konsumsi energi bisa ditekan sejak awal. Penggunaan kaca hemat energi, insulasi termal pada dinding dan atap, serta ventilasi silang alami adalah beberapa contoh desain efisien energi. Jika dilakukan dengan baik, bangunan bisa mengurangi kebutuhan akan AC dan lampu hingga 30–50%. Pilih bahan bangunan yang rendah emisi karbon dan mudah didaur ulang. Kayu bersertifikat, bata ringan, beton ramah lingkungan, dan cat berbasis air adalah beberapa contoh material yang mendukung konsep green building. Selain itu, menggunakan material lokal juga mengurangi emisi dari proses transportasi. Ini bukan hanya lebih ramah lingkungan, tapi juga mendukung ekonomi lokal. Air adalah sumber daya yang seringkali terlupakan dalam desain bangunan. Padahal, pengelolaan air yang baik bisa menghemat konsumsi dan mencegah pemborosan. Penerapan sistem rainwater harvesting (penampungan air hujan), penggunaan alat sanitasi hemat air, dan sistem daur ulang air limbah bisa menurunkan jejak air dan energi yang digunakan untuk memompa serta mengolah air. Pemasangan panel surya di atap bangunan kini menjadi pilihan yang semakin populer. Meski investasi awal bisa terasa besar, dalam jangka panjang penggunaannya akan mengurangi tagihan listrik dan ketergantungan pada energi fosil. Selain itu, menggunakan sistem pengatur energi cerdas seperti smart grid atau sensor otomatis bisa membuat konsumsi listrik menjadi lebih efisien dan responsif terhadap kebutuhan aktual bangunan. Peroleh Sertifikat Green Building Untuk memastikan bahwa sebuah bangunan benar-benar ramah lingkungan, banyak negara termasuk Indonesia telah mengadopsi sistem sertifikasi green building. Di Indonesia, sistem yang paling dikenal adalah Greenship, yang dikembangkan oleh Green Building Council Indonesia (GBCI). Sertifikasi ini bertujuan untuk menilai dan mendorong penerapan prinsip-prinsip bangunan hijau sejak tahap perencanaan hingga operasional. Memiliki sertifikat green building seperti Greenship bukan hanya menjadi bentuk pengakuan terhadap komitmen lingkungan sebuah perusahaan, tetapi juga dapat meningkatkan reputasi bisnis. Sertifikasi ini menjadi nilai tambah di mata konsumen yang semakin sadar akan pentingnya keberlanjutan. Selain itu, bangunan yang efisien secara energi dan ramah lingkungan juga berpotensi mengurangi biaya operasional dalam jangka panjang. Mengapa Bisnis Harus Ikut Berperan Aktif? Penerapan green building bukan hanya menjadi tanggung jawab arsitek atau pengembang, tetapi juga merupakan bagian penting dari strategi bisnis yang berkelanjutan. Berbagai jenis usaha, mulai dari kantor, restoran, pabrik, hingga ruang ritel, dapat mengadopsi prinsip bangunan ramah lingkungan untuk mendukung operasional yang lebih efisien dan bertanggung jawab. Partisipasi aktif dunia usaha dalam green building menunjukkan kesadaran akan pentingnya kontribusi terhadap isu lingkungan. Di samping itu, sebetulnya ada banyak sekali keuntungan yang bisa didapatkan bisnis dari keterlibatan ini. Pertama, pengurangan biaya operasional melalui efisiensi energi, air, dan perawatan. Kedua, peningkatan citra perusahaan, karena konsumen semakin menghargai brand yang peduli terhadap keberlanjutan. Ketiga, mendukung target ESG (Environmental, Social, and Governance) yang kini menjadi standar penting dalam penilaian kinerja bisnis. Kemudian yang tak kalah penting, banyak lembaga keuangan menawarkan pembiayaan lebih mudah atau bunga rendah untuk proyek-proyek hijau, membuka peluang lebih luas bagi bisnis untuk tumbuh secara berkelanjutan. Bangunan Ramah Lingkungan, Langkah Menuju Masa Depan ‘Hijau’ Green building bukan hanya tren sesaat. Ini adalah jawaban nyata terhadap kebutuhan dunia akan pembangunan yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan. Di tengah tantangan krisis iklim dan meningkatnya tuntutan konsumen terhadap bisnis yang peduli lingkungan, konsep ini memberikan solusi yang win-win, baik untuk bumi maupun untuk keberlangsungan bisnis. Dengan menerapkan desain hemat energi, memilih bahan ramah lingkungan, memanfaatkan energi terbarukan, serta mendapatkan sertifikasi bangunan hijau, perusahaan bisa berkontribusi langsung dalam menurunkan jejak karbon.  Jika perusahaan Anda ingin menerapkan prinsip green building ke dalam strategi keberlanjutan, mari konsultasikan bersama satuplatform dan mulai perjalanan hijau bisnis Anda sekarang! Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya terhadap jejak karbon global sangat besar.  Scientific American menyebutkan bahwa militer global bertanggung jawab atas sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Jika dianggap sebagai entitas negara, angka tersebut menempati posisi keempat terbesar di dunia Baca Juga: Menekan Dampak Jejak Karbon: Panduan bagi Perusahaan di Indonesia Sumber Emisi Langsung dan Tidak Langsung dalam Konflik Bersenjata Konflik bersenjata menghasilkan emisi karbon melalui berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung:… Why Product Lifespan Is the Next Frontier for Sustainable Business Embracing product longevity and extending product lifespan emerges as a current and indispensable strategic priority for cultivating sustainable business growth and securing a responsible future for modern enterprises. Longer product life span represents a fundamental shift in how businesses approach sustainability, moving decisively from a conventional linear consumption model (single …

2

Unveiling the Environmental Impact of Children’s Toys Industry

The global toy industry plays a significant role in early childhood development, creativity, and education. Toys bring joy, imagination, and learning into a child’s life. From soft plush animals to blinking plastic robots, the toy industry continues to grow rapidly as global consumer demand rises. But while toys are made for fun, the environmental impact they leave behind is no child’s play. Let’s explore this further in the article as we uncover the hidden impact behind the fun. A World of Play, A Hidden Footprint The children’s toy industry is a multi-billion-dollar market, with millions of new products hitting the shelves every year. However, many of these toys are made from plastic and synthetic materials, wrapped in layers of packaging, and often designed for short-term use. Behind the bright colors and cheerful branding lies a long chain of production, transportation, and disposal. Each step is leaving a carbon and ecological footprint. The problem isn’t just how toys are made, but also how they’re used and discarded. Most toys are not biodegradable, and many end up in landfills or the ocean. It’s time we look deeper into how this industry affects our environment and what businesses and consumers can do to change it for the better. The Plastic Problem in Toy Production One of the biggest environmental concerns in the toy industry is plastic. It is estimated up to 90% of toys on the market are made from plastic, especially types like PVC (polyvinyl chloride), which are not easily recyclable and can release harmful chemicals during production or breakdown. Read other article : Reducing Carbon Footprint: A Comprehensive Guide for Companies to Begin Plastic is chosen because it’s cheap, colorful, durable, and moldable into endless shapes. But the downside is significant, plastic is a fossil-fuel-based material, and its production contributes to greenhouse gas emissions. Moreover, plastic waste doesn’t degrade naturally; instead, it breaks down into microplastics that pollute ecosystems and harm marine life. In many cases, even wooden or fabric toys are treated with paints, coatings, or synthetic fillers that reduce their sustainability. The combination of these materials often makes recycling difficult, meaning most toys are destined for landfills after a short period of use. Packaging Waste and Overproduction Toys are often marketed through attractive packaging, such as bright boxes, plastic windows, zip ties, and foil wraps. While these elements make products eye-catching on store shelves, they significantly contribute to environmental waste. In fact, the packaging for toys can sometimes weigh more than the toy itself. Additionally, the toy industry is known for seasonal trends and short product life cycles. Think about how many toys are released to match holiday seasons, movie tie-ins, or trending characters. These toys are produced in large quantities, sometimes with overstocked inventory that ends up unsold and discarded. This cycle of overproduction and short-term demand leads to resource waste, energy use, and increased emissions from transportation and disposal. When toys are discarded, they rarely get recycled. Most municipal recycling centers aren’t equipped to handle mixed materials or small, intricate parts. As a result, a large percentage of toys end up in trash bins rather than recycling facilities. The Human and Environmental Cost of Manufacturing Many toys are manufactured in developing countries, where labor is cheaper and regulations may be less strict. While this helps companies keep prices low, it also raises concerns about environmental practices and workers’ welfare. Toy factories may use outdated machinery, emit pollutants, or improperly dispose of waste. Toxic chemicals such as phthalates or heavy metals used in certain plastic toys can also pose health risks, not only to children who play with them but to the workers who produce them. In regions where environmental laws are weak, rivers and soil near factories may become polluted, affecting local communities and ecosystems. The carbon footprint of transporting toys across the globe, from manufacturing centers to consumer markets is another contributor to climate change that is often overlooked. These issues highlight how the environmental impact of toys is not only about the physical product, but also about the global systems of production and labor that support them. Moving Toward Greener Toys Despite the challenges, the toy industry holds significant potential to drive innovation and set a positive example in sustainable manufacturing. Encouragingly, more companies are beginning to adopt environmentally responsible practices, a trend that must continue to gain momentum. To move in this direction, businesses can start by designing toys for durability and reuse, ensuring they last longer and can be passed down rather than discarded.  Choosing eco-friendly materials is also key, such as replacing petroleum-based plastics with bioplastics, recycled content, sustainably sourced wood, or organic fabrics, while avoiding mixed materials that are difficult to recycle. In addition, companies should simplify packaging by eliminating excess layers and opting for recyclable or compostable alternatives. Offering recycling or take-back programs can further reduce waste, giving consumers a responsible option for disposing of old toys. ESG in Toys Industry In this situation, integrating Environmental, Social, and Governance (ESG) principles into the toy industry is becoming increasingly essential as stakeholders demand more accountability and sustainability from brands. By embedding ESG into core strategies, toy manufacturers not only enhance their long-term resilience but also align with the growing expectations of today’s socially conscious market. If you’re a business aiming to transition toward greener practices, consult with satuplatform. Together, we can build an industry that brings joy not just to children, but to the planet as well. Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya terhadap jejak karbon global sangat besar.  Scientific American menyebutkan bahwa militer global bertanggung jawab atas sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Jika dianggap sebagai entitas negara, angka tersebut menempati posisi keempat terbesar di dunia Baca Juga: Menekan Dampak Jejak Karbon: Panduan bagi Perusahaan di Indonesia Sumber Emisi Langsung dan …

2

ESG as Sustainability Initiatives for Modern Industry

In today’s world, sustainability is no longer just a “nice-to-have”, but it’s a must. With rising concerns about climate change, environmental degradation, and social inequality, businesses are being called to do more than just make profits. They are expected to take responsibility for their impact on people and the planet. One of the most powerful tools that companies now use to align with this expectation is ESG, short for Environmental, Social, and Governance. Read other article : Sustainability as a Competitive Advantage: An Investment in Your Business’s Future This article will explore what ESG really means, why it matters for modern industry, and how companies can start or strengthen their ESG journey in practical and meaningful ways. Understanding ESG ESG stands for Environmental, Social, and Governance, three fundamental pillars used to evaluate a company’s broader impact beyond just profits. The Environmental component assesses how a business affects the planet, including its carbon footprint, energy consumption, water use, and waste management. The Social aspect examines how a company interacts with people, focusing on employee welfare, diversity and inclusion, community involvement, and customer relations. Meanwhile, Governance evaluates how a business is run, emphasizing transparency, ethical leadership, anti-corruption efforts, and clear decision-making structures. At its core, ESG is about embedding sustainable and ethical values into the daily operations of a business. By aligning with ESG principles, companies can build stronger trust with stakeholders, reduce potential risks, and enhance long-term resilience. In an era of growing global challenges, adopting ESG practices isn’t just good ethics, but it’s also smart business. Why ESG Matters in Modern Industry For many years, business success was primarily measured by profit margins and shareholder returns. However, that mindset is shifting. Today’s consumers, investors, and regulators expect more from the companies they support. They want assurance that businesses are contributing positively to society and the environment. This growing demand for corporate responsibility is making Environmental, Social, and Governance (ESG) practices more important than ever. Consumer expectations are a major driving force behind this change. People, especially younger generations, are more selective about the brands they support, often favoring those that align with their values. A strong ESG track record can attract loyal customers who care deeply about sustainability, ethical labor practices, and social fairness. On the investor side, ESG performance is increasingly seen as a marker of long-term stability and reduced risk. Many investors now prioritize companies that are transparent and responsible, leading to a surge in “green” or “sustainable” investment funds. At the same time, regulatory pressures are increasing. Governments and international organizations are setting stricter rules on emissions, human rights, and corporate accountability. Businesses that adopt ESG frameworks early can stay ahead of these regulations and avoid legal pitfalls.  Beyond compliance, strong ESG practices also enhance a company’s ability to handle crises, whether environmental, operational, or social. Companies that prioritize ESG tend to build stronger brands, gain public trust, and create more resilient, future-proof operations. ESG in Action: Real-World Practices ESG doesn’t have to be complicated or costly. In fact, many companies may already be practicing ESG principles without even realizing it. Across various industries, businesses are finding practical, meaningful ways to integrate Environmental, Social, and Governance elements into their operations, often resulting in both positive impact and improved efficiency. For example, on the environmental front, a manufacturing company might install solar panels to cut electricity costs and reduce emissions. A coffee shop could partner with local farmers for sustainable sourcing, while a tech company redesigns its packaging to minimize plastic use and incorporate recycled materials. Social initiatives might include a retail brand hiring from underserved communities and offering training, a logistics company improving worker safety and wages, or a startup providing mental health resources to employees. Governance improvements are just as critical. Companies can update anti-bribery policies, diversify their leadership, or ensure suppliers meet ethical labor standards. Others publish annual sustainability reports to maintain transparency with stakeholders. While the approach may vary depending on industry and scale, each of these efforts strengthens a company’s ESG profile and demonstrates a commitment to doing business responsibly. Starting an ESG Strategy: Step-by-Step If your business hasn’t adopted ESG yet, don’t worry, it’s never too late to start. Here’s a simple guide to help companies begin their ESG journey: ESG Is a Long-Term Commitment, Not a One-Time Project Business should be clear, ESG is not about greenwashing or doing something for show. It’s about building a better, more responsible business for the long run. That means it requires continuous effort, honest reflection, and a willingness to improve. Some businesses may feel overwhelmed or unsure where to start, but the key is to begin with intention and take consistent steps. Even small changes, when done collectively and consistently, can have a significant impact. Whether you’re a startup, a growing SME, or a large corporation, now is the time to make ESG part of your business strategy. Need help building or refining your ESG strategy? Visit satuplatform to connect with our team of sustainability consultants. We’re here to guide your business toward a more responsible and resilient future! Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya terhadap jejak karbon global sangat besar.  Scientific American menyebutkan bahwa militer global bertanggung jawab atas sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Jika dianggap sebagai entitas negara, angka tersebut menempati posisi keempat terbesar di dunia Baca Juga: Menekan Dampak Jejak Karbon: Panduan bagi Perusahaan di Indonesia Sumber Emisi Langsung dan Tidak Langsung dalam Konflik Bersenjata Konflik bersenjata menghasilkan emisi karbon melalui berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung:… Why Product Lifespan Is the Next Frontier for Sustainable Business Embracing product longevity and extending product lifespan emerges as a current and indispensable strategic priority for cultivating sustainable business growth and securing a responsible future for modern enterprises. Longer product life span …

3

ESG Strategies for Business Growth in Developing Countries

In today’s fast-changing world, businesses are no longer only measured by profits. Companies are now expected to be responsible for their impact on people and the planet. This is where ESG comes in, aspects of Environmental, Social, and Governance. Especially for businesses in developing countries, adopting ESG strategies isn’t just about doing good, it’s a smart way to grow sustainably, earn trust, and attract investment. Read other article : Understanding the Risk Assessment in the ESG Framework for Business In this article, we’ll explore five practical ESG strategies that can help businesses in developing countries grow stronger while also making a positive difference. Start with Environmental Responsibility In many developing countries, environmental issues such as pollution, deforestation, and water scarcity are serious challenges. Businesses can play a big role in creating solutions. One of the easiest places to start is by managing waste and using resources more efficiently. For example, manufacturers can reduce emissions by upgrading to energy-efficient machines. Restaurants or food businesses can minimize food waste by improving inventory management or donating unsold food. Retailers can switch to eco-friendly packaging to reduce plastic use. Another impactful step is to track your carbon footprint, like how much carbon dioxide your operations release into the air. There are many free or low-cost tools to help with this. Even small changes, like switching to LED lighting or sourcing local materials, can reduce your environmental impact and save money in the long run. Furthermore, environmental responsibility is not only about nature, it’s also about business resilience. Companies that prepare for environmental risks, like floods or droughts, are more likely to survive and grow in the future. Support and Empower Local Communities The “S” in ESG stands for Social, which focuses on how a business treats people, employees, customers, and the wider community. In developing countries, strong social strategies can help businesses grow faster and gain local support. For example, offering fair wages, safe working conditions, and training opportunities for employees creates a loyal and motivated workforce. Hiring locally and promoting from within can also boost team morale and reduce turnover costs. Going beyond employees, businesses can also support their communities. This might mean partnering with local farmers, sponsoring school programs, or supporting women-owned small businesses in the supply chain. These efforts build goodwill and show that your business cares about more than just profit. Build Good Governance from the Ground Up Governance is about how a company is run, its values, leadership, decision-making, and transparency. In developing countries, where issues like corruption or weak regulation can be a challenge, strong governance builds trust with investors, partners, and customers. Good governance starts with having clear policies and values. This means defining what your business stands for, honesty, accountability, fairness, or sustainability. These values should guide your daily operations and decision-making. Creating transparent reporting systems is also important. Regularly share updates on company performance, employee welfare, or environmental impact, especially with stakeholders like investors or government agencies. Even if your business is small, showing you take accountability seriously will boost your reputation. Also, ensure that leadership is inclusive and diverse. Companies with diverse leadership often make better decisions because they bring more perspectives to the table. Use ESG to Attract Investors and Customers Many international investors are now looking to fund businesses that follow ESG principles. For developing countries, this opens up new opportunities for funding, partnerships, and market access. If your business wants to attract investors, clearly communicate your ESG goals. Have written policies, track your progress, and share reports, even simple ones. You don’t need to be perfect, but you should show commitment and transparency. The same goes for customers, especially in export markets. More global buyers now require proof of ethical sourcing, fair labor, and environmental care. If your company can show that it meets ESG standards, you’ll be more competitive and trusted. For example, a textile business that uses organic cotton and treats its workers well can appeal to global fashion brands looking for responsible suppliers. A coffee producer with a fair-trade certificate can access premium markets and better prices. Adapt ESG to Local Realities One of the most important things for businesses in developing countries is to apply ESG in a way that fits their local context. What works in a big European company might not make sense for a small Indonesian farm or a Nigerian tech startup, and that’s okay. Start small. Business can focus on areas where you can make real change. If water is a local issue, find ways to use or recycle water wisely. If unemployment is high, invest in training young workers. Tailoring your ESG strategy to local needs shows your business is both practical and purpose-driven. You don’t have to do this alone. There are many NGOs, consultants, and government programs ready to support small businesses in building ESG capacity. Platforms likesatuplatform can also connect you with tools, partners, and advice to make your journey easier! The key is to take the first step, stay consistent, and always keep improving. ESG is not a one-time project—it’s a long-term mindset. Final Thoughts: ESG as a Pathway to a Better Future For businesses in developing countries, ESG is more than just a buzzword. It’s a powerful framework to grow responsibly, attract opportunities, and create long-term value for both business and society. Whether you’re running a small local enterprise or aiming for international expansion, applying ESG strategies will help you stand out and stay strong in the face of global challenges. Remember, you don’t have to do everything at once. Start with what you can, learn along the way, and stay committed. Sustainable growth is possible—and with ESG, it’s within your reach. Need help designing your ESG strategy? Visit Satuplatform to connect with experts and tools tailored to your business and local context. Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan …

3

Matcha’s Hype and Its Environmental Cost

Environmental – Matcha has rapidly emerged as a global phenomenon, making its way from traditional tea ceremonies in Japan to premium cafés and wellness brands around the world. Its presence extends beyond beverages, appearing in a wide range of consumer products including desserts, skincare, and health supplements.  Read other article : Unveiling the Environmental Impact of Children’s Toys Industry However, like many fast-growing global trends, the matcha industry carries environmental implications that are often overlooked. As demand continues to rise, it is crucial for businesses and consumers alike to examine the sustainability challenges associated with matcha production, and to consider actionable steps toward more responsible sourcing and consumption. What Is Matcha and Why Is It So Popular? Matcha is a finely ground powder made from specially grown green tea leaves. Unlike regular green tea, which you steep and then discard the leaves, with matcha people consume the entire leaf, which means more nutrients and a stronger flavor. Health-wise, matcha is celebrated for being rich in antioxidants, especially a compound called EGCG, which may help with inflammation, metabolism, and heart health. It also contains caffeine, but because of the presence of L-theanine (an amino acid), the energy boost is calmer and more sustained compared to coffee. For businesses, matcha has become a golden ingredient. Its striking color looks great on social media. Its association with wellness appeals to health-conscious consumers. As demand continues to grow, matcha is becoming a must-have menu item in cafés and restaurants around the world. Read other article : The Environmental Impact of Silicones in Beauty Industry The Environmental Footprint of Matcha Farming Despite its traditional roots and artisanal image, the production of matcha comes with notable environmental challenges. The farming process demands substantial resources, including significant water usage, skilled labor, and, in many cases, synthetic fertilizers to meet increasing global demand. While tea plants can be cultivated sustainably, the push for mass production has led to practices that risk degrading soil health and over-relying on chemical inputs. Additionally, in key producing countries such as Japan and China, the expansion of tea plantations sometimes involves clearing natural landscapes, resulting in habitat loss and a decline in local biodiversity. Beyond production, the environmental impact of matcha is further compounded by its global distribution. As most matcha is cultivated in Asia, transporting it to major consumer markets in Europe, North America, and beyond contributes to a growing carbon footprint through air and maritime shipping. These cumulative effects reveal a more complex reality, although matcha appears small and sustainable on the surface, its environmental footprint tells a much heavier story. Business Growth Comes with a Responsibility The global matcha market is experiencing rapid growth, with cafés, food and beverage companies, cosmetics brands, and even pharmaceutical firms tapping into its rising popularity. As demand increases across sectors, businesses must take a closer look at how their sourcing and production practices align with ethical and sustainable standards. Capitalizing on a trend is one thing; ensuring long-term responsibility and integrity is another. To maintain credibility and meet the expectations of today’s conscientious consumers, companies must move beyond superficial marketing claims. Labels such as “natural” or “organic” are no longer sufficient. Businesses that aim to build a sustainable and reputable brand must invest in traceability, fair trade practices, and partnerships that prioritize both environmental stewardship and social responsibility throughout the supply chain. Toward a Greener Cup: What Can Be Done? Both businesses and consumers have meaningful roles to play in minimizing the environmental impact of matcha. For companies, this begins with responsible sourcing, partnering with certified organic or fair-trade farms that prioritize sustainable agricultural practices. Transparency is also essential; sharing the story behind the product, from cultivation to processing, helps build consumer trust. Reducing packaging waste through the use of minimal, recyclable materials is another practical step, especially for retail and e-commerce. Additionally, businesses can further mitigate their environmental footprint by investing in verified carbon offset programs to address emissions from production and global distribution. On the consumer side, mindful purchasing habits can make a significant difference. Opting for high-quality matcha from ethical producers rather than low-cost, mass-produced alternatives supports more sustainable supply chains. Supporting local cafés that prioritize responsible sourcing is another way to encourage better practices. Consumers should also approach matcha-related trends with a critical eye, not every new product infused with matcha is necessary or beneficial. By questioning overconsumption and prioritizing quality over novelty, individuals can help reduce unnecessary demand and the waste that often accompanies it. Rethinking Trendy Ingredients in a Climate-Conscious World Matcha isn’t the only trendy ingredient with a hidden environmental cost. The same applies to items like avocados, quinoa, or almond milk. Just because something is “plant-based” or “superfood” doesn’t automatically make it sustainable. Businesses and marketers often ride the wave of health and wellness trends without fully considering the consequences. That’s why it’s important to build environmental responsibility into business models, not as an afterthought, but as a foundation. Matcha can be part of a sustainable lifestyle, but only if approached mindfully. Businesses have a responsibility to source and market it ethically, while consumers have the power to support those who do it right. Looking for guidance on building an environmentally responsible business? Visit satuplatform, your partner in sustainability-driven growth. Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya terhadap jejak karbon global sangat besar.  Scientific American menyebutkan bahwa militer global bertanggung jawab atas sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Jika dianggap sebagai entitas negara, angka tersebut menempati posisi keempat terbesar di dunia Baca Juga: Menekan Dampak Jejak Karbon: Panduan bagi Perusahaan di Indonesia Sumber Emisi Langsung dan Tidak Langsung dalam Konflik Bersenjata Konflik bersenjata menghasilkan emisi karbon melalui berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung:… Why Product Lifespan Is the Next Frontier for Sustainable Business Embracing product longevity …

Green and Yellow Illustrative Weekly Team Update Presentation

5 Carbon Offset Projects in Indonesia That Help Fight Climate Change

Indonesia, with its rich biodiversity and vast forest coverage, plays a vital role in the global fight against climate change. But while carbon emissions continue to rise worldwide, there is also growing momentum behind initiatives that aim to balance out those emissions, through what’s called carbon offset projects. Carbon offsetting means compensating for your carbon emissions by investing in environmental projects that reduce or absorb CO₂. Indonesia is home to some of the most impactful carbon offset projects in the world. Whether it is preserving rainforests, restoring mangroves, or protecting peatlands, these projects not only store carbon but also support local communities and ecosystems. Read other article : Carbon Market: A New Way for Sustainable Future In this article, we will go through 5 inspiring carbon offset projects in Indonesia! #1 Carbon Offset Project: Katingan Mentaya Project  The Katingan Mentaya Project is one of the largest nature-based carbon offset projects in the world, located in Central Kalimantan, Borneo. This project protects over 150,000 hectares of tropical peatland forest, a type of ecosystem that stores up to 30 times more carbon than regular forests. By preventing illegal logging and deforestation, the Katingan Mentaya Project avoids the release of millions of tonnes of CO₂ into the atmosphere. But the benefits of this project go beyond climate impact. This project also provides alternative livelihoods to over 40 villages through eco-agriculture, small businesses, and education. For businesses looking for a high-quality offset, this project is verified under the Verra VCS and CCBA standards, ensuring transparency and long-term environmental impact. #2 Carbon Offset Project: Rimba Raya Biodiversity Reserve Another major carbon offset project in Indonesia is the Rimba Raya Biodiversity Reserve, which is also located in Central Kalimantan. This project protects nearly 65,000 hectares of tropical forest that were once slated for palm oil plantations. What makes Rimba Raya stand out is its strong biodiversity focus. The area is home to the endangered Bornean orangutan, along with hundreds of bird and plant species. By preserving this land, Rimba Raya not only avoids carbon emissions from deforestation but also safeguards some of the most threatened wildlife in Southeast Asia. In addition to climate and conservation goals, Rimba Raya supports local health, education, and clean water initiatives. It’s a prime example of how carbon offset projects can contribute to sustainable development on multiple levels. #3 Carbon Offset Project: Yagasu Mangrove Restoration Carbon offset projects of Indonesia are also found in North Sumatra and Aceh, with the Yagasu Foundation leading a large-scale mangrove restoration project. Mangroves are coastal trees that store enormous amounts of carbon in both their biomass and underwater soil. This makes them key players in what’s known as “blue carbon” offsetting. Yagasu has already restored over 10,000 hectares of degraded mangrove forests, which helps absorb carbon, prevent coastal erosion, and protect marine life. These projects are community-driven, involving local fishers and farmers in both planting and monitoring activities. For businesses wanting to support carbon offsets that also tackle ocean conservation, food security, and community resilience, this is a great place to start. #4 Carbon Offset Project: BIOMA Agroforestry Project  The next carbon offset project of Indonesia is the BIOMA Project in East Nusa Tenggara. This project offers a unique approach to carbon offsetting by combining reforestation with sustainable agriculture. Instead of focusing solely on protecting existing forests, the BIOMA project helps farmers plant trees alongside their crops, this method known as agroforestry. This approach not only draws carbon from the atmosphere but also improves soil health, boosts food production, and diversifies farmers’ income. Crops like coffee, cacao, and spices are grown under the shade of fast-growing native trees, creating an ecosystem that’s both productive and climate-resilient. For companies involved in agriculture or food industries, supporting projects like BIOMA aligns well with both environmental and supply chain sustainability goals. #5 Carbon Offset Project: Wehea Forest Conservation Located in East Kalimantan, the Wehea Forest is a 38,000-hectare rainforest managed by the Dayak Wehea people. The area is rich in biodiversity and serves as an important carbon sink. What makes this project unique is its indigenous leadership model, where the local community takes charge of forest management, protection, and patrols. By engaging the community directly, the project has succeeded in reducing illegal logging and encroachment. It also includes youth education programs, wildlife monitoring, and cultural preservation efforts. Carbon offset credits generated from this forest conservation are now being used by eco-conscious businesses and even local governments to meet their carbon neutrality targets. Why Businesses Should Support Verified Offset Projects in Indonesia Indonesia stands at the frontline of climate change, but it also holds immense potential to be part of the global solution. By supporting certified carbon offset projects in the country, businesses can effectively compensate for their unavoidable emissions, strengthen ESG and sustainability strategies, and contribute to both environmental conservation and social development. These efforts not only help protect Indonesia’s rich biodiversity and forest ecosystems but also build stronger relationships with climate-conscious customers and partners. However, it’s crucial to recognize that not all carbon offsets deliver the same impact. To ensure real and measurable benefits, businesses should prioritize verified projects, those certified by reputable standards such as Verra (VCS), Gold Standard, or Plan Vivo. Verified projects guarantee that your contributions go beyond surface-level branding; they ensure actual emissions reduction, community support, and long-term sustainability. Explore how your business can offset its carbon footprint meaningfully through sustainable projects in Indonesia. Get started with reliable environmental partners at Satuplatform, your trusted platform for climate action and green business consultation! Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya terhadap jejak karbon global sangat besar.  Scientific American menyebutkan bahwa militer global bertanggung jawab atas sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Jika dianggap sebagai entitas negara, angka tersebut menempati posisi keempat terbesar di dunia Baca Juga: …

2

How Excessive Consumerism Drives Climate Change

In today’s fast-moving world, we’re constantly being encouraged to buy more, a phenomenon known as consumerism. Such as buying new gadgets, trendier clothes, faster cars, and the latest home decor, until the point it feels endless. But behind the glossy advertisements and shiny packaging lies a darker truth. Excessive consumerism is quietly fueling one of the biggest challenges of our time which is climate change.  Read other article : Indonesia’s Company Partnership to Tackle Climate Change Issues Let’s explore how our shopping habits, lifestyle choices, and demand for “more” are putting pressure on the planet, and what businesses and individuals can do to change the story. 1. The Psychology Behind Overconsumption Why do we buy so much? A big part of the answer lies in psychology and culture. In many societies, owning more is equated with success, happiness, and status. We are bombarded with images of what our lives should look like, with big houses, luxury cars, advanced technology, and we often feel pressure to keep up. Retail therapy is real, too. Shopping can give us a temporary dopamine boost, but that feeling fades quickly. To maintain it, we often keep buying more. This creates a cycle of consumption that’s hard to break, even when we know it’s not sustainable. Furthermore, the rise of social media has intensified this. Influencers promote products, trends change rapidly, and we’re constantly comparing ourselves to others. It’s easy to feel like we need to buy more just to keep up. Unfortunately, this comes at a high cost to the planet. 2. The Chain Reaction of “More” Every product we buy has a story long before it reaches the shelf. That story includes raw material extraction, manufacturing, packaging, and transportation. All of which generate carbon emissions. The more we consume, the more resources are extracted, processed, and shipped. For instance, when you buy a new phone, the carbon footprint includes mining rare metals (often in environmentally sensitive areas), factory production powered by fossil fuels, and international shipping via planes or cargo ships. Multiply that by millions of consumers doing the same thing every year, and the emissions add up quickly. Clothing is another major culprit. Fast fashion encourages us to buy cheap clothes often, only to throw them away after a few wears. The fashion industry alone contributes around 10% of global carbon emissions. That’s a big price to pay for a cheap T-shirt. 3. Waste: The Hidden Cost of Consumption Not only does consumerism lead to more production and emissions, it also creates massive amounts of waste. Landfills are filling up with discarded clothes, electronics, furniture, packaging, and single-use plastics. As we know, many of these items take hundreds of years to break down and release harmful greenhouse gases like methane in the process. Besides, e-waste is particularly dangerous. Old electronics often contain toxic chemicals that can leak into soil and water. Plus, they’re often not recycled properly, meaning the valuable metals inside are lost, and more must be mined to produce new products. This waste cycle doesn’t just harm the environment but it is also incredibly energy-intensive. It takes a lot more energy (and emissions) to produce new products than it does to recycle or reuse existing ones. Yet our consumption habits still lean heavily toward new rather than sustainable. 4. The Role of Businesses in Feeding the Fire Businesses play a huge role in promoting consumerism. Marketing strategies often create a sense of urgency or insecurity: “Limited stock available!”, “You need this to stay relevant!”, “New and improved!” These tactics are designed to trigger impulse buying and repeat purchases. Many companies prioritize short-term profits over long-term sustainability. They produce goods cheaply, often in countries with low environmental regulations, and design products with a short lifespan. This forces consumers to replace rather than repair, increasing demand and emissions even further. On the other hand, many businesses are beginning to recognize the climate crisis and are shifting toward more sustainable models. Brands that offer durable, repairable, and recyclable products are gaining popularity, signaling a new wave of sustainable marketing. Companies that are transparent about their supply chains and carbon emissions are also earning greater trust from environmentally conscious consumers. 5. From Consumption to Consciousness: What We Can Do Both consumers and businesses have the power to drive meaningful change by adopting more thoughtful, sustainable habits. For individuals, this means buying less but choosing better, investing in high-quality items that last longer. It also involves supporting brands that prioritize sustainability and transparency, repairing and reusing instead of discarding, saying no to fast fashion and impulsive purchases, and embracing minimalism and mindful living. For businesses, the shift begins with rethinking how products are designed, packaged, and marketed. Are your products built to last? Can packaging waste be reduced or replaced with biodegradable materials? Can your messaging encourage conscious consumption instead of promoting overbuying? Many companies are also exploring circular business models, where products are reused, refurbished, or repurposed. All of these efforts are helping reduce emissions and build stronger loyalty in an increasingly eco-conscious world. Climate change is a complex challenge, but excessive consumerism is one driver we can all take action against. Ready to make your business part of the solution? Visit satuplatform for expert guidance on building sustainable, eco-conscious strategies that meet today’s environmental demands and tomorrow’s opportunities! Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya terhadap jejak karbon global sangat besar.  Scientific American menyebutkan bahwa militer global bertanggung jawab atas sekitar 5,5% dari total emisi gas rumah kaca global. Jika dianggap sebagai entitas negara, angka tersebut menempati posisi keempat terbesar di dunia Baca Juga: Menekan Dampak Jejak Karbon: Panduan bagi Perusahaan di Indonesia Sumber Emisi Langsung dan Tidak Langsung dalam Konflik Bersenjata Konflik bersenjata menghasilkan emisi karbon melalui berbagai cara, baik secara langsung maupun tidak langsung:… Why Product Lifespan …

1

Antara Tisu Basah dan Tisu Kering, Mana yang Lebih Ramah Lingkungan?

Saat ini, kesadaran masyarakat terhadap lingkungan semakin meningkat. Banyak orang mulai mempertanyakan produk-produk yang mereka gunakan sehari-hari, apakah ramah lingkungan atau justru berkontribusi pada kerusakan alam. Salah satu barang yang cukup sering digunakan namun jarang dipikirkan dampaknya adalah tisu. Baik tisu basah maupun tisu kering digunakan hampir setiap hari; di rumah, di kantor, saat bepergian, hingga untuk kebutuhan bayi.  Tapi, mana di antara keduanya yang lebih ramah lingkungan? Mari kita bahas bersama dalam artikel ini! Mengenal Perbedaan Tisu Basah dan Tisu Kering Secara umum, tisu kering adalah lembaran tipis dari serat kayu yang digunakan untuk menyeka atau mengeringkan sesuatu, seperti tisu toilet, tisu wajah, atau tisu makan. Tisu kering biasanya hanya sekali pakai dan langsung dibuang. Meskipun terlihat sederhana, tisu kering diproduksi melalui proses yang cukup intensif karena melibatkan penggunaan kayu, air, dan energi dalam jumlah besar. Sementara itu, tisu basah adalah tisu kering yang diberi cairan tambahan seperti air, alkohol, pelembap, atau bahan kimia lainnya. Tisu basah sering digunakan untuk membersihkan tangan, wajah, bahkan area sensitif seperti saat mengganti popok bayi. Karena mengandung cairan, tisu basah juga membutuhkan bahan tambahan seperti plastik atau poliester agar tidak mudah sobek saat digunakan. Baca juga artikel lainnya : Sustainable Marketing: Strategi Pemasaran Ramah Lingkungan untuk Bisnis Modern  Perbedaan kandungan inilah yang membuat dampak lingkungannya pun berbeda. Proses Produksi dan Jejak Karbon Dari sisi proses produksi, tisu kering dan tisu basah sama-sama memiliki jejak karbon. Namun, tisu basah cenderung memberikan dampak lingkungan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh penggunaannya yang melibatkan lebih banyak bahan kimia seperti pengawet, alkohol, atau parfum. Selain itu, tisu basah juga sering mengandung serat sintetis seperti polyester atau polipropilena, bukan hanya serat alami, yang membuatnya lebih sulit terurai.  Untuk menjaga kelembapannya, tisu basah membutuhkan kemasan plastik yang rapat, yang pada akhirnya menambah beban sampah plastik. Kombinasi antara bahan kimia dan plastik tersebut membuat tisu basah tidak mudah terurai di alam.  Di sisi lain, tisu kering umumnya hanya berbahan dasar pulp kayu. Meskipun tetap berpotensi menyumbang deforestasi jika tidak berasal dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan, tisu kering lebih mudah terurai secara alami. Bahkan, beberapa merek telah mulai menggunakan bahan daur ulang serta menerapkan proses produksi yang lebih ramah lingkungan. Oleh karena itu, jika membandingkan jejak karbon dari sisi bahan dan proses produksi, tisu kering masih lebih unggul dalam hal keberlanjutan. Apa yang Terjadi Setelah Dibuang? Isu lingkungan berikutnya dalam penggunaan tisu adalah saat tisu telah selesai digunakan dan menjadi limbah. Bukan hanya terletak pada proses produksinya saja, tetapi juga pada pengelolaan limbah tisu perlu diperhatikan. Banyak orang tidak menyadari bahwa tisu basah sering kali dibuang ke toilet, padahal jenis ini tidak bisa ter-urai seperti tisu toilet. Akibatnya, tisu basah dapat menyumbat saluran pembuangan dan menimbulkan masalah sanitasi.  Selain itu, karena mengandung unsur plastik, tisu basah dapat bertahan selama bertahun-tahun di tempat pembuangan akhir. Jika dibakar di tempat pembuangan sampah terbuka, tisu basah bahkan bisa menghasilkan emisi berbahaya yang mencemari udara dan membahayakan kesehatan manusia.  Sementara itu, tisu kering lebih mudah terurai secara alami, terutama jika tidak mengandung pewangi atau pemutih tambahan. Bila dibuang dengan cara yang benar, tisu kering akan terurai lebih cepat dibandingkan tisu basah. Meski demikian, penting untuk diingat bahwa kedua jenis tisu tetap merupakan produk sekali pakai. Berapapun jumlahnya, tisu tetap akan menambah beban sampah, terutama di kota-kota besar yang sistem pengelolaan limbahnya masih belum optimal. Oleh karena itu, sebagai konsumen perlu untuk lebih ‘mindful’ dalam hal jumlah tissue yang digunakan. Produk Tisu dan Tanggungjawab Bersama Tisu adalah produk yang digunakan hampir setiap hari oleh banyak orang, namun dalam konteks Environmental, Social, and Governance (ESG), perusahaan yang memproduksinya memikul tanggung jawab besar terhadap dampak lingkungan dan sosial dari produk tersebut.  Tanggung jawab ini mencakup berbagai aspek, mulai dari pemilihan bahan baku, apakah berasal dari hutan yang dikelola secara lestari atau tidak, hingga transparansi dalam penggunaan bahan kimia selama proses produksi. Selain itu, desain kemasan juga menjadi perhatian penting, apakah kemasannya dapat didaur ulang atau justru menambah limbah plastik sekali pakai.  Tidak kalah penting, perusahaan juga diharapkan memberikan edukasi kepada konsumen tentang cara pembuangan produk yang benar agar tidak menambah beban lingkungan. Sebagai konsumen, kita juga bisa menerapkan prinsip sustainability dalam keputusan belanja sehari-hari. Memilih produk dengan sertifikasi lingkungan, mendukung merek yang memiliki komitmen terhadap keberlanjutan, serta mengurangi penggunaan produk sekali pakai adalah langkah-langkah nyata yang bisa kita ambil. Kita tidak harus langsung berhenti menggunakan tisu, tetapi bisa mulai mempertanyakan kebutuhan kita dan alternatif yang lebih ramah lingkungan. Solusi dan Alternatif yang Lebih Baik Jika ingin mengurangi dampak lingkungan, ada beberapa solusi praktis yang bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, menggunakan kain lap serbaguna yang bisa dicuci dan digunakan ulang, terutama untuk kebutuhan di rumah atau kantor. Kita juga bisa memilih tisu yang terbuat dari bahan daur ulang atau yang memiliki label “eco-friendly” sebagai bentuk dukungan terhadap produk yang lebih bertanggung jawab.  Selain itu, sebaiknya hindari penggunaan tisu basah untuk keperluan yang bisa diselesaikan dengan air atau sabun, dan jangan pernah membuang tisu basah ke dalam toilet. Di rumah, jika memungkinkan, penggunaan bidet atau semprotan air sebagai pengganti tisu toilet juga bisa menjadi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Lalu, mana yang lebih ramah lingkungan, tisu basah atau tisu kering? Jawabannya adalah tisu kering, terutama jika kita memilih merek yang bertanggung jawab dan menggunakannya dengan bijak. Namun, pilihan yang paling ramah lingkungan sebenarnya adalah dengan mengurangi konsumsi produk sekali pakai secara keseluruhan. Sebagai bagian dari masyarakat modern yang setiap hari menggunakan produk-produk konsumsi, kita memiliki peran penting dalam membentuk arah permintaan pasar. Dengan memilih produk yang berkelanjutan, kita turut mendorong industri untuk berubah.  Jika bisnis Anda ingin ikut mendorong perubahan ke arah yang lebih hijau, baik dalam produk maupun dalam gaya operasional, kami siap membantu dengan pendekatan berbasis ESG dan keberlanjutan. Hubungi satuplatform untuk memulai perjalanan bisnis yang lebih ramah lingkungan, dimulai hari ini! Similar Article Bagaimana Peran Perang dan Militer sebagai Kontributor Jejak Karbon Global Konflik dan perang menciptakan kontributor jejak karbon baru dengan dampak signifikan dan sayangnya, sebagian besar tidak dihitung. Emisi ini jarang dilaporkan secara transparan, kadang tidak diwajibkan, walaupun skala dampaknya …